Jangan sampai kota-kota kita dilukai kemacetan parah yang memicu pelambatan ekonomi. Maka, persoalan mobilitas, termasuk kemacetan, harus dituntaskan dengan komprehensif.

Oleh REDAKSI

Jakarta semakin macet. Kondisi tersebut akhir-akhir ini dirasakan warga. Kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19 yang memudar membuat hidup kembali normal.

Kepadatan lalu lintas, berdasarkan data, sesungguhnya belum kembali ke era sebelum Covid-19. Namun, karena kita telah mengalami kondisi lengang hampir tiga tahun, antrean kendaraan sependek apa pun sangat mendera kita.

Surutnya pandemi akhirnya memulihkan perekonomian. Volume penjualan kendaraan bermotor merangkak mendekati sebelum krisis. Bagaimanakah kebijakan mobilitas bagi warga Ibu Kota? Bagaimana agar mobilitas menjadi efisien, berbiaya rendah, dan tentunya nyaman bagi semua.

Harus dipahami, kita tidak anti-industri otomotif. Menjadi hak warga negara, jika memenuhi syarat, untuk membeli kendaraan pribadi. Di banyak negara, dengan rasio kepemilikan kendaraan bermotor yang lebih tinggi daripada Indonesia, penjualan kendaraan bermotor juga terus naik.

Persoalannya, dari liputan mendalam Kompas, kita menjadi paham bahwa pembelian kendaraan pribadi tak hanya memacetkan kota, tetapi juga menggerus keuangan warga. Seorang tenaga pemasaran mengaku pernah melayani pembeli bergaji Rp 10 juta per bulan yang rela membayar cicilan mobil setengah dari penghasilannya.

Dengan begitu besarnya cicilan, bagaimana kualitas hidupnya ataupun keluarganya? Jangan lupa, ada biaya ”tersembunyi” lain berupa ongkos perawatan, pajak, hingga sewa lahan parkir bagi mereka yang memiliki rumah tanpa garasi.

Di sisi lain, untuk Jakarta, misalnya, layanan angkutan umum sudah menjangkau 83 persen populasi warga dalam radius 500 meter. Maka, sangat memprihatinkan pengguna transportasi umum massal harian di Jabodetabek baru 30 persen dari 88 juta perjalanan harian (data BPTJ 2019).

Apa yang salah dengan warga kita? Apa yang harus dilakukan untuk mendorong warga agar beralih menggunakan angkutan umum? Tentu saja, diperlukan survei lebih mendalam disertai langkah-langkah penajaman di sana-sini.

Dibutuhkan ”duta-duta besar” pengguna angkutan umum yang dapat diteladani warga. Mereka seharusnya bekerja secara berkelanjutan seperti tenaga pemasar otomotif yang tiap hari mengisi ruang-ruang digital kita, dan tiap minggu di mal membujuk warga untuk membeli kendaraan.

Insentif dan disinsentif juga harus diputuskan dengan matang. Jangan sampai insentif bagi pembelian kendaraan pribadi tak setara dengan insentif bagi pembelian angkutan umum. Jangan sampai pembelian kendaraan pribadi memicu parkir liar di permukiman, perkantoran, dan pusat perbelanjaan, yang malah menghalangi mobilitas warga.

Persoalan mobilitas, termasuk persoalan kemacetan, harus dituntaskan dengan komprehensif. Solusinya harus lintas sektor. Jika tidak, percayalah, kelak kota-kota kita dilukai kemacetan parah yang memicu pelambatan ekonomi. Sudah pendapatan keluarga ludes untuk membayar cicilan, warga pun menanggung dampak dari surutnya ekonomi kota akibat kacaunya mobilitas warga.