KCJB merupakan investasi awal untuk menarik investasi sistem kegiatan sekitar stasiun KCJB. Untuk itu dibutuhkan regulasi dan insentif yang mendukung. Semua dalam sistem tata ruang terpadu.

Oleh BS KUSBIANTORO

Heboh Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau KCJB, termasuk isu bahwa kereta ini akan ”mematikan” layanan Argo Parahyangan, mengajak kita untuk back to basics. Kembali pada prinsip dasar transportasi.

Untuk diketahui, jaringan atau layanan transportasi baru dapat berfungsi jika tercipta door-to-door dari asal dan ke tujuan transportasi. Agar tercipta door-to-door, tingkat layanan jaringan pendukung harus setara dengan tingkat layanan KCJB sebagai kereta cepat.

Asal-tujuan utama (ATU) KCJB adalah Jakarta-Bandung. Jika diperkirakan potensi calon penumpang dari stasiun lain belum cukup besar, seyogianya penumpang fokus dulu pada ATU. Kalau perlu, stasiun antara tidak difungsikan untuk sementara. Misal, Stasiun Karawang dan Padalarang atau Tegalluar.

KCJB merupakan investasi awal untuk menarik investasi sistem kegiatan sekitar stasiun KCJB. Untuk itu dibutuhkan regulasi dan insentif yang mendukung. Semua dalam sistem tata ruang terpadu.

Sistem keuangan KCJB juga harus dilihat sebagai satu sistem dengan terbangunnya kegiatan terpadu sekitar KCJB. Kita bisa mencontoh pengalaman pembangunan dan keuangan jaringan kereta api di Tokyo yang dimulai sekitar tahun 1900 atau sistem jaringan di Hong Kong.

KCJB perlu dioptimalkan sebagai kereta (super) cepat, sebagai bagian dari sistem kereta cepat Jawa (misal serupa dengan jaringan kereta cepat di Jepang). Dengan demikian, semua menjadi bagian dari pembangunan atau keuangan terpadu sistem jaringan dan kegiatan.

Argo Parahyangan (AP) dan KCJB juga harus jadi sistem yang saling melengkapi. Misal, AP untuk melayani berbagai kebutuhan lokal sekitar AP. Antara lain dengan memperbanyak stasiun layanan sepanjang Jakarta-Bandung.

Ini sekadar provokasi dari pensiunan dosen, penulis tesis-disertasi (S1-S2-S3) transportasi.

BS KusbiantoroBandung

”Deja Vu”

Rubrik berita olahraga Kompas sering menulis deja vu. Salah satunya di Kompas, 6 Desember 2022.

Ungkapan dalam bahasa Perancis itu artinya ’sesuatu yang terulang kembali’. Dalam hal ini kegagalan Jepang memenangi babak pertandingan 16 besar di Piala Dunia.

Memang tidak ada yang salah. Pemilihan kata bisa memberikan ”gereget” untuk suatu berita. Namun, ada baiknya Kompas sepenuhnya memakai bahasa Indonesia yang baku.

Mungkin Bapak L Wilardjo, pakar bahasa Indonesia yang sering menulis surat pembaca Kompas, dapat mencarikan padanan kata yang tepat?

FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148

”Capek”

Di rubrik Internasional (Kompas, 19/11/2022), ada judul menggunakan kata capek tanpa diapit tanda kutip.

Saya terkejut. Bukankah Kompas gigih memelihara subrubrik Bahasa dan di TV-nya pun menyajikan Selasa Bahasa. Mengapa memakai kata ”gaul” itu? Bukankah penyunting dan penyelaras bahasa Kompas biasanya jeli dan cermat?

Seharusnya jangan capek, tetapi capai. Kalau khawatir disangka kata dasar dari verba mencapai, ya diganti saja capai itu dengan lelah. Sebaiknya juga jangan ”membahasa-gaulkan” sampai menjadi sampek.

Akan tetapi, penulisan nge-gas di paragraf 5, kolom 2, adalah contoh yang baik.

L WilardjoKlaseman, Salatiga

Catatan Redaksi:

Terima kasih atas masukan yang disampaikan. Kata deja vu memang sudah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni dejavu.

Meskipun demikian, Kompas tetap menggunakan deja vu sebagai salah satu kata berbahasa asing yang dipertahankan sebagaimana adanya. Sama halnya dengan, misalnya, kata chaos. Adapun kata capek di KBBI merupakan ragam percakapan dan menjadi gaya selingkung Kompas.