Sosialisasi memegang peran penting dalam fase introduksi kebencanaan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah harus melanjutkan siklus manajemen ke tahap pemenuhan fasilitas untuk menghadapi bencana.

Oleh YOESEP BUDIANTO

Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Hal itu menuntut kesiapan pencegahan dan penanganan yang lebih baik. Upaya mitigasi yang masih didominasi program sosialisasi tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan kelengkapan fasilitas kedaruratan.

Sepanjang tahun 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 3.531 kejadian bencana di seluruh wilayah Indonesia, yang didominasi bencana cuaca ekstrembanjir, dan tanah longsor. Akibat kejadian itu, 851 orang meninggal, 46 orang hilang, 8.726 orang luka-luka, dan 5,49 juta orang mengungsi. Tidak mengherankan Indonesia masuk kategori sebagai negara paling berisiko secara global.

Berdasarkan laporan World Risk Report 2022, Indonesia berada di posisi ketiga dari 192 negara paling berisiko dengan skor indeks 41,46, di bawah Filipina (46,82) dan India (42,31). Laporan tersebut disusun dari lima indikator utama, yaitu keterpaparan, kerentanan, kerawanan, kapasitas pemulihan, dan kapasitas adaptasi.

Risiko kebencanaan yang begitu besar harus diimbangi dengan langkah-langkah konkret manajemen krisis. Dalam terminologi kebencanaan, manajemen krisis tersebut disusun dalam suatu siklus yang bertujuan mengendalikan sekaligus memberikan kerangka kerja penanganan. Hasil akhirnya adalah masyarakat dapat terhindar dari bencana atau pulih secara cepat pascabencana.

Setiap langkah dalam siklus manajemen bencana berperan penting, mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, respons, hingga pemulihan. Namun, masih ada celah dalam manajemen kebencanaan di Indonesia. Siklus tersebut masih berfokus pada sosialisasi atau mitigasi nonstruktural, sedangkan pemenuhan fasilitas atau akomodasi implementasi konsep dinilai belum memadai.

Paling tidak, celah dalam penanganan bencana nasional terekam dalam jajak pendapat Kompas. Sosialisasi bencana menjadi langkah mitigasi yang paling banyak diterima oleh responden (31,1 persen). Sementara penyiapan jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga kelengkapan peralatan keselamatan, menurut responden, masih sangat minim tersedia di sekitar tempat tinggalnya (10,9 persen).

 

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/FHiBetTkTUXu83yXoimKNe1qWMI=/1024x1823/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F07%2Fb34cb5bd-a981-4936-a1ff-8e64b5e460d9_png.png

Sosialisasi memegang peran penting dalam fase introduksi kebencanaan ke masyarakat. Namun, tidak bisa berhenti di titik itu, pemerintah harus melanjutkan siklus manajemen ke tahap pemenuhan fasilitas yang mendukung kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Fasilitas yang dimaksud meliputi sirene, kentungan, jaringan komunikasi bencana, alat komunikasi darurat, perlengkapan pertolongan pertama korban, sumber listrik darurat, jalur evakuasi, dan regulasi setempat.

Minimnya akses responden ke fasilitas manajemen kebencanaan juga terlihat dari kecilnya persentase wilayah setingkat desa atau kelurahan yang memiliki sistem penanganan bencana (9,94 persen), berdasarkan data Potensi Desa BPS 2021.

Implementasi

Transisi manajemen kebencanaan dari sosialisasi ke implementasi konkret adalah keniscayaan yang bertujuan menekan sekuat mungkin dampak bencana. Oleh karena itu, upaya penanganan bencana harus dievaluasi dengan tepat dan menyeluruh.

Hal tersebut mendapat perhatian khusus dari publik. Lebih dari 30 persen responden menilai pemerintah belum tepat dalam implementasi mitigasi dan pencegahan bencana. Sementara 26,7 persen responden menyampaikan keraguan pada keseriusan komitmen pemerintah tersebut.

Keresahan publik terhadap keseriusan pemerintah bukan tanpa alasan. Banyak kejadian bencana yang seharusnya bisa dihindari atau diantisipasi sebelum terjadi mengingat jenis bencana yang mendominasi adalah bencana hidrometeorologi yang sangat mungkin diprediksi jauh sebelum terjadi.

Sebagai contoh, implementasi mitigasi bencana banjir dapat dilakukan dengan melihat faktor penyebab utama, yaitu tata guna lahan, sistem irigasi, dan potensi curah hujan.

Bencana tanah longsor juga dapat dikelola dengan lebih bijak melalui manajemen faktor penyebabnya, yaitu topografi, tata guna lahan, dan curah hujan. Sementara bencana kebakaran hutan dimitigasi dengan menjaga tinggi muka air tanah dan kelembaban tanah serta tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan hijau.

Meskipun demikian, publik masih menaruh kepercayaan kepada pemerintah. Di tengah kejadian berulang bencana, sedikitnya 7 dari 10 responden mengaku puas terhadap upaya penanganan yang dilakukan pemerintah. Kondisi ini tentu menjadi beban sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk lebih optimal dalam mengimplementasikan kebijakan manajemen bencana.

Kepuasan yang tinggi turut menunjukkan harapan besar terhadap perbaikan langkah praktis penanganan bencana nasional oleh pemerintah. Bagi masyarakat, langkah praktis dalam menghadapi situasi bencana akan sangat membantu untuk menyelamatkan diri mengingat banyak bencana yang mengancam keselamatan jiwa.

Rendahnya kesiapan warga untuk merespons kejadian bencana akan mengakibatkan banyak korban jiwa. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebanyak 20,3 persen responden mengatakan, simulasi rutin menghadapi bencana sangat dibutuhkan.

Sebanyak 20,3 persen responden juga mengharapkan informasi tentang cara menyelamatkan diri. Selain itu, 17,7 persen responden juga sangat mengharapkan ada informasi tentang jenis bencana apa yang mengintai di sekitar tempat tinggal. (LITBANG KOMPAS)