Wacana soal kenaikan tarif KRL khusus bagi penumpang dengan latar belakang ekonomi lebih mapan menuai polemik. Bagaimana solusinya?

Oleh RANGGA EKA SAKTI

Rencana kenaikan tarif perjalanan kereta komuter dan subsidi kendaraan listrik oleh pemerintah menjadi cerminan dari kebijakan transportasi di Indonesia yang oksimoron.

Di satu sisi, kenaikan tarif ini akan memukul kelas menengah yang selama ini mengandalkan layanan kereta komuter. Di sisi lain, kebijakan tersebut justru dibarengi dengan rencana subsidi kendaraan listrik dengan target pasar kelas ekonomi atas.

Rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif Commuter Line nampaknya akan tetap diambil meski mendulang penolakan dari masyarakat.

Saat ini, tarif yang dikenakan kepada para penumpang ialah sebesar Rp 3.000 di 25 km pertama dan tambahan Rp 1.000 untuk perjalanan tiap 10 km selanjutnya. Diperkirakan, tarif ini akan naik menjadi Rp 5.000 di 25 km pertama dan tambahan Rp 1.000 untuk perjalanan tiap 10 km selanjutnya.

Hingga kini, belum ada pengumuman resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah soal ketetapan harga baru. Meskipun begitu, dalam konferensi pers pada Selasa (27/12/2022), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan, harga tiket KRL akan mengalami kenaikan di waktu mendatang. Namun, kenaikan harga ini hanya dibebankan kepada warga yang dinilai mampu.

Baca juga : Rencana Kenaikan Tarif KRL Commuterline

Berdampak luas

Sedikit banyaknya kenaikan yang ditetapkan pemerintah sudah pasti akan berdampak secara luas. Jika berdasarkan skema kenaikan di atas, Rp. 5000 di 25 km pertama, para pengguna harus menanggung beban setidaknya Rp 4.000 lebih tiap harinya. Jika dikalikan dalam waktu satu bulan masa kerja, biaya yang ditanggung oleh mereka pun bisa meningkat hingga 67 persen.

Kenaikan biaya perjalanan sebanyak lebih dari 1,5 kali lipat ini nyatanya harus ditanggung oleh jutaan komuter di kawasan Jabodetabek. Dalam kondisi normal sebelum pandemi, data BPS pada 2019 menunjukkan, terdapat lebih dari 3,2 juta penduduk berumur 5 tahun ke atas yang berlalu-lalang di Jabodetabek menggunakan kereta rel listrik ini.

Jika dilihat berdasarkan penghasilan dalam sebulan, sekitar 1,5 juta diantaranya memiliki penghasilan di atas UMR DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Dari jumlah tersebut, dengan kenaikan dari Rp. 3000 ke Rp. 5000 per 25 km perjalanan awal saja, beban lebih yang harus ditanggung oleh warga sekitar 132 miliar tiap bulannya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/bcxvaqhEG4l7iVyh576xiczK-j4=/1024x3328/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F01%2F360aa0af-38e8-41ae-975c-85741fcf4b2e_jpg.jpg

Kebijakan ini bisa dipastikan akan menambah beban biaya transportasi yang kini masih melambung tinggi. Berdasarkan laporan BPS, tingkat inflasi kelompok pengeluaran transportasi mengalami inflasi sebesar 15,45 persen pada November 2022 dibandingkan dengan periode November 2021.

Dibandingkan dengan posisi di Januari lalu, tingkat inflasi meningkat hingga di angka 14,75 persen. Jika belum ada kenaikan saja inflasi sudah dua digit, akan sampai setinggi apa inflasi biaya transportasi jika pemerintah tetap menaikkan tarif?

Subsidi kendaraan listrik

Salah satu alasan dari pemerintah di balik rencana kenaikan tarif KRL ini ialah untuk meringankan beban subsidi. Memang, selama ini operasional dari KRL ditopang oleh dana Public Service Obligation (PSO) yang bersumber dari anggaran negara.

Pada 2022 saja, dana PSO yang diberikan sebesar lebih dari Rp 3 Triliun. Maka, diharapkan pemerintah bisa menekan pengeluaran subsidi ini ketika menaikan tarif perjalanan kereta komuter.

Uniknya, rencana kebijakan ini justru berbarengan dengan rencana pemerintah untuk memberikan subsidi dalam bentuk lain. Di penghujung tahun 2022 lalu, pemerintah telah mengumumkan untuk memberikan insentif bagi pembelian kendaraan listrik.

Nilai subsidi ini pun tidak main main. Untuk pembelian motor listrik, pemerintah akan memberikan subsidi hingga Rp 8 juta. Bagi konsumen kendaraan roda empat hibrid, separuh listrik separuh BBM, pemerintah akan memberikan subsidi hingga Rp 40 juta. Sedangkan, subsidi yang lebih fantastis akan diberikan pada warga yang membeli mobil listrik murni dengan nilai subsidi hingga Rp 80 juta.

Pemberian subsidi ini menjadi tambahan dari segudang insentif lain yang kini dirasakan oleh para pengguna mobil listrik. Sebagai contohnya, untuk para pengguna di DKI Jakarta, pajak yang dikenakan untuk mobil listrik adalah maksimal 10 persen dari pajak yang berlaku di kendaraan non-listrik.

Hal yang sama berlaku juga pada biaya lain, seperti biaya balik nama. Selain itu, ada juga keuntungan lain seperti tidak berlakunya kebijakan ganjil genap bagi pengguna mobil listrik.

Kebijakan subsidi ini mungkin didasari dengan harga kendaraan listrik yang masih relatif mahal di Indonesia. Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), harga mobil listrik di Indonesia paling murah berkisar di antara Rp 238 juta. Harga tersebut relatif lebih mahal dibandingkan dengan mobil berbahan bakar fosil yang dibanderol di bawah Rp 200 juta.

Selain itu, kebijakan insentif ini juga selaras dengan momentum pasar yang terasa mulai hangat menerima kehadiran mobil listrik. Data dari Gaikindo menunjukkan peningkatan penjualan mobil listrik baterai hingga lebih dari lima kali lipat selama 2020 hingga 2021. Sedangkan, peningkatan sekitar dua kali lipat terjadi pada penjualan mobil hibrid.

Baca juga : Naik KRL dan LRT, Presiden Janji Terus Kembangkan Infrastruktur Perkeretaapian

Quo vadis

Diumumkannya rencana kenaikan tarif tulang punggung transportasi umum yang tak berselang lama setelah pengumuman rencana pemberian subsidi ini bisa menimbulkan sinyalemen di tengah masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, agak sulit memahami logika pemerintah yang ingin mengurangi subsidi di satu sisi, sedangkan di sisi yang lain memberikan subsidi di waktu yang bersamaan.

Di satu sisi, kebijakan subsidi kendaraan listrik mungkin memang sejalan dengan rencana pemerintah untuk mewujudkan lingkungan yang lebih sehat. Harapannya, migrasi dari penggunaan mobil dengan bahan bakar fosil ke mobil listrik akan membuat udara menjadi lebih bersih. Hal ini juga berkaitan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) 3.9.1, 7.1.2 dan 11.6.2 terkait dengan polusi udara dan udara bersih.

Meskipun begitu, di sisi lain, kebijakan subsidi ini justru bisa memperparah persoalan kemacetan yang menjadi momok bagi warga DKI Jakarta. Pasalnya, insentif bagi penggunaan kendaraan listrik pribadi dan disinsentif bagi penggunaan transportasi umum secara bersamaan kemungkinan akan mendorong penggunaan kendaraan pribadi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/i0Yo99aoro5vDUphMXCJKMEzwec=/1024x1157/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F13%2F20220112-LHR-Subsidi-tarif-KRL-mumed_1642046537_jpg.jpg

Padahal, kajian dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek pada 2019 menunjukkan, kemacetan di Jabodetabek menyebabkan kerugian hingga lebih dari Rp 71 triliun per tahun.

Selain itu, kebijakan insentif kendaraan listrik dan disinsentif transportasi umum ini juga bisa menimbulkan sentimen antar kelas. Pasalnya, kebijakan insentif oleh pemerintah bak memanjakan target pasar mobil listrik yang secara ekonomi bisa dibilang mapan. Sedangkan, kelas menengah yang baru saja bangkit setelah dihantam pandemi dan lebih rentan justru diberi beban tambahan.

Dalam rentang waktu yang lebih panjang, dua kebijakan yang kontradiktif ini juga bisa menimbulkan pertanyaan, akan dibawa kemana kah arah kebijakan transportasi di Indonesia? Semoga saja, orientasi kebijakan tak hanya mendorong pada kepemilikan kendaraan pribadi saja, sehingga pembangunan kualitas dan kuantitas kendaraan umum jadi prioritas. (LITBANG KOMPAS)