Tindakan kriminal sering terjadi di KRL Jabodetabek. Pencurian dan pelecehan seksual masih menjadi masalah yang dialami para penumpang. Maka dari itu, sistem dan fasilitas keamanan KRL perlu ditingkatkan.
Oleh RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan seperti pencurian dan pelecehan seksual beberapa kali terjadi di kereta rel listrik atau KRL yang ditumpangi masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hal ini menunjukkan perlunya optimalisasi sistem dan infrastruktur keamanan, baik untuk menindak maupun mencegah tindakan kriminal di layanan transportasi publik tersebut.
Pekerja di Jakarta Selatan, April (27), Selasa (10/1/2023), mengatakan, dia pernah merasakan pelecehan seksual saat pulang dari kantor menggunakan KRL. Saat itu, kereta yang ditumpangi sangat penuh dan berimpit-impitan sehingga sulit untuk bergerak. Dalam kondisi tersebut, April menyadari ada seseorang yang sengaja menyentuhnya dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu siapa karena banyak orang di sekelilingnya.
”Pertama aku pikir tidak sengaja. Tapi, habis itu, disentuh lagi beberapa kali di bagian tubuh yang sama. Aku jadi enggak nyaman dan langsung turun di perhentian selanjutnya. Masalahnya, aku mau lapor, tetapi enggak tahu siapa pelakunya,” tutur April ketika ditemui di Stasiun Duri, Jakarta Barat, Selasa.
Menurut April, pengawasan tindakan pelecehan seksual sulit dilakukan petugas apabila kereta sedang penuh. Ia juga ragu tindakan tersebut dapat terekam oleh kamera pemantau (closed circuit television/CCTV). Setelah kejadian itu, April selalu berusaha memanfaatkan gerbong kereta khusus perempuan agar terhindar dari hal yang sama.
Sebelumnya, pada Kamis (5/1), kekerasan seksual juga dialami oleh NER saat hendak berangkat ke kantor dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Kebayoran. Pelaku berinisial J diamankan polisi setelah NER melaporkan apa yang dialami kepada petugas keamanan di stasiun.
Sama seperti yang terjadi kepada April, tindakan kekerasan seksual yang dialami NER terjadi saat kereta sedang penuh dan penumpang berdesakan. Pelaku mengambil kesempatan dengan memanfaatkan kondisi tersebut sehingga korban dan orang di sekitarnya tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Hal itu juga tidak tampak di CCTV dan tidak dapat diawasi oleh petugas keamanan.
Tidak hanya kejahatan seperti kekerasan seksual, pencurian juga dialami oleh penumpang KRL. Salah satunya adalah Yogi (29), pekerja di Jakarta Barat, yang setiap hari menggunakan layanan KRL. Ia mengaku pernah kehilangan gawai saat sedang berada di kereta menuju Stasiun Angke. Ketika melapor ke petugas, ia diminta mengisi surat keterangan kehilangan dan memberikan informasi identitas diri. Setelah itu, ia diarahkan kepada petugas kepolisian.
”Sampai sekarang gawai saya enggak ketemu. Padahal, waktu itu saya minta untuk periksa rekaman CCTV. Tapi, saat diurus di polisi, kata mereka, pas waktu curinya enggak ketangkap rekaman CCTV,” ujar Yogi.
Fokus mencatat
Menurut Yogi, saat melapor kepada petugas keamanan, mereka hanya fokus mengurus pencatatan kejadiannya saja daripada mengambil langkah konkret mengurus pencurian yang baru saja terjadi. Setelah lama mengikuti prosedur tersebut, laporannya justru diberikan kepada pihak kepolisian. ”Kalau misalnya pas lapor mereka ada protokol periksa satu-satu orang yang ada di KRL, pasti mungkin bisa ketemu. Cuma mungkin ribet kali, ya,” ujarnya.
Manajer Hubungan Masyarakat PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Leza Arlan mengatakan, untuk memperketat keamanan, layanan KRL dilengkapi oleh fasilitas CCTV serta petugas yang menjaga rangkaian kereta. Setiap satu rangkaian kereta terdapat satu kamera CCTV untuk memantau kondisi penumpang di dalam kereta. Adapun petugas keamanan dibagi berdasarkan jumlah rangkaian.
”Untuk petugas, ada tiga orang untuk rangkaian yang terdiri dari 8 atau 10 kereta. Lalu, ada empat orang untuk rangkaian 12 kereta. Di setiap stasiun terdapat CCTV analytic dan CCTV biasa. Ada juga petugas keamanan dan petugas bawah kendali operasi,” tuturnya.
Dalam rangka mengatasi kejahatan seksual, Reza menjelaskan, pihaknya memanfaatkan sistem CCTV analytic untuk memantau dan merekam identitas pelaku. Ketika telah dikonfirmasi melakukan kejahatan seksual, pelaku akan masuk dalam basis data untuk nanti ditindak.
Sebagai informasi, terdapat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang dengan Kereta Api. Dalam aturan tersebut, diatur standar keamanan minimum yang perlu dipenuhi KRL, seperti fasilitas pendukung, petugas keamanan, informasi gangguan, dan lampu penerang.
Untuk fasilitas pendukung berupa CCTV, pihak pengelola layanan KRL harus menyediakan minimal dua CCTV dalam satu rangkaian kereta. Adapun petugas kemanan harus tersedia minimal satu orang dalam enam rangkaian kereta. Petugas harus dilengkapi dengan atribut dan alat bantu. Selain itu, harus ada minimal empat stiker yang ditempel di setiap rangkaian kereta dengan informasi laporan pengaduan yang terlihat dengan jelas.
Pengamat transportasi, Budiyanto, menjelaskan, PT KCI perlu menaati aturan standar pelayanan minimum tersebut. Hal ini untuk memastikan agar keamanan terjamin dan sesuai dengan standar operasional. Selain itu, pencegahan tindakan kriminal di KRL dapat dilakukan dengan memaksimalkan pengawasan dari ruang kontrol. Dalam hal ini, kualitas kontrolpada fasilitas dan petugas keamanan harus diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan.
”Harus evaluasi berkala, bukan cuma memastikan kuantitas fasilitas keamanan saja, tetapi juga perlu memastikan kualitas dari fasilitas dan petugas keamanan. Kehadiran petugas secara fisik harus dipastikan memberi pelayanan keamanan yang maksimal kepada penumpang,” tuturnya.
Menurut Budiyanto, inovasi yang dapat dilakukan KRL adalah dengan membuat sistem semacam tombol panik yang terhubung langsung dengan pihak kepolisian. Hal ini dapat dimanfaatkan penumpang untuk melaporkan tindakan kriminal ataupun kejadian genting secara langsung ke polisi.
Untuk masalah pelecehan seksual, Budiyanto menyarankan perlu ada pengetatan dan penambahan unit CCTV. Menurut dia, rekaman CCTV dapat menolong korban untuk membuktikan pelanggaran seksual yang dialami. Selain itu, keberadaan CCTV dapat menjadi langkah pencegahan untuk mempersempit kemungkinan pelaku melakukan kejahatan.
”Tentu paling penting adalah menciptakan keberanian bagi korban untuk berani melapor apa yang ia alami. Maka dari itu, harus ada edukasi, baik berupa poster maupun videotron, berisikan cara melapor kepada petugas keamanan ataupun kepolisian. Selain itu, orang di sekitar yang melihat tindakan kejahatan seksual perlu turut membantu korban, baik dengan mencegah, melaporkan, maupun menjadi saksi,” papar Budiyanto.