Kemandirian industri pertahanan Tanah Air yang diinginkan Presiden Joko Widodo kenyataannya masih jauh panggang dari api. Alih-alih melirik alat pertahanan dalam negeri, pemerintah justru lebih memilih senjata impor.
Jangan main-main dengan Bekasi. Bekasi adalah Kota Patriot. Bukan hanya Chairil Anwar yang mencatat heroisme rakyat dalam pertempuran di Karawang dan Bekasi, Pramoedya Ananta Toer juga menulis di Tepi Kali Bekasi dan Ismail Marzuki menggubah Melati di Tapal Batas yang mengisahkan perjuangan para srikandi di Front Tapal Batas Bekasi.
Di salah satu pojok Bekasi, sebuah pabrik senjata kini berdiri. Dari luar tidak terlihat ada yang menonjol karena pagarnya yang tinggi. Namun, begitu masuk ke dalam, setelah melewati papan nama Komodo Armament, baru tampak berbagai senjata yang diproduksi. ”Saya kembali ke Indonesia tahun 2002 dari Amerika dan punya keinginan membangun sektor keamanan,” kata Dirut Komodo Armament Dananjaya A Trihardjo saat ditemui pada September 2022.
Kehidupan Dananjaya memang tidak jauh-jauh dari dunia militer. Ayahnya, Trihardjo, adalah angkatan pertama di Akademi Militer. Ketika Indonesia diembargo persenjataan oleh Amerika Serikat tahun 1995-2005, Dananjaya membantu mendapatkan suku cadang dan persenjataan lain dari mancanegara. Di AS, ia berbisnis hotel, toko selam, dan toko senjata.
Tahun 2003 ia bertemu Daniel Ambat, purnawirawan Mayor Jenderal yang pernah menjadi Komandan Satuan (Dansat) 81/Gultor Kopassus 2005-2006 dan Panglima Divisi 1 Kostrad (2012-2014). ”Kami lalu sama-sama bikin senjata serbu basis dari M16,” kata Daniel.
Memproduksi M16 dipilih karena patennya sudah selesai. Siapa pun boleh membuat M16 tanpa izin atau kewajiban membayar royalti. Pertimbangan lain, M16 merupakan salah satu senjata yang paling andal di medan pertempuran sehingga baik untuk operasional dan latihan. Banyak militer menggunakan M16 yang terkemuka saat perang Vietnam 1969. Secara fisik, M16 juga ringan dan mudah digunakan sehingga tidak terlalu menyusahkan prajurit.
Danjaya melakukan reverse engineering alias meniru dan menyesuaikan berdasarkan M16 yang ada di Indonesia. Karena merupakan senjata militer, M16 itu menggunakan laras, bolt group carriner, serta pena pelatuk terbaik disertai dengan proses hardening dan coating yang bisa dikerjakan sendiri.
Produk M16 ini sudah disertifikasi Litbang TNI AD dan mendapat surat kelaikan dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Komponen dalam negeri yang digunakan sudah di atas 85 persen.
Pabrik senjata ”mobile”
Tahun 2016 Dananjaya diminta Menteri Pertahanan (saat itu) Ryamizard Ryacudu untuk membuat metodologi baru dalam pembuatan senjata, amunisi, dan propelan. Dengan uang sendiri, ia mengadakan penelitian. Untuk propelan, misalnya, ia mulai dengan black powder dilanjutkan dengan membuat single based dan double based setelah ditambahkan nitrogliserin hingga tahun 2017. Untuk membuat satu senjata aluminium dengan mesin konvensional butuh 16-18 jam. Namun, dengan mengubah sebagian bahan baku ke polimer, kecepatan membuat sebuah senjata serbu jadi 16-18 menit. Penelitian kemudian berlanjut dan berhasil membuat amunisi kaliber 5.56 dari bahan polimer.
Hal yang lebih inovatif lagi, Komodo Armament merancang konsep pabrik senjata yang bisa berpindah atau mobile. Dalam satu modul, pabrik yang bisa dimuat dalam 14 kontainer 40 feet itu sudah bisa memproduksi senjata dalam waktu 36 jam setelah diinstalasi. Setiap modul berisi alat dan bahan baku untuk membuat 1.000 senapan serbu dan 5 juta butir amunisi dengan isi 1,4 gram propelan. Setelah tiga bulan, produksi bisa berlanjut dengan ketersediaan bahan baku lokal. ”Total modal untuk satu modul itu Rp 300 miliar,” kata Dananjaya.
Konsep pabrik senjata mobile dibuat sesuai dengan wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan. Pabrik-pabrik kecil juga akan sulit dideteksi. Indonesia bisa memiliki puluhan pabrik senjata sehingga tidak hanya mengandalkan beberapa pabrik yang dengan mudah bisa dihancurkan atau disabotase.
Belum dibeli
Harga sepucuk M16 baru buatan Komodo Armament Rp 15 juta-Rp 22 juta, tergantung bahan yang digunakan. Di AS, harga M16 baru 1.500-1.800 dollar AS atau Rp 22,5 juta-Rp 27 juta dengan kurs Rp 15.000. Begitu masuk ke Indonesia, harganya bisa menjadi dua kali lipat.
Namun, hingga kini, belum ada M16 buatan Komodo Armament yang dibeli Kemenhan. Hal ini disesalkan Dananjaya. Sebab, bukan hanya inovasi pertahanan jadi mati, melainkan juga Indonesia jadi terus tergantung pada asing. ”Pegawai saya 24 orang, semua warga Indonesia. Kami sekarang kerjakan barang-barang untuk otomotif dan sesekali memberi konsultasi engineering,” katanya.
Sampai saat ini, pemerintah masih sering mencari produk dari luar walaupun di dalam negeri sudah punya teknologinya, bahkan diproduksi. Tahun 2021, berdasarkan dokumen yang diperoleh Kompas, Kemenhan memperbaiki 14.000 pucuk senjata M16 di luar negeri dengan biaya 21,6 juta dollar AS, sekitar 1.543 dollar AS atau Rp 23,14 juta untuk sepucuk M16.
Saat dikonfirmasi tentang hal ini, Kepala Biro Humas Kemenhan Taufiq Shobri mengatakan, perbaikan M16 dilakukan di luar negeri karena belum ada industri pertahanan lokal yang membuat M16 dengan spesifikasi yang sama.
Alasan ini tentu bisa dipertanyakan karena teknologi M16 adalah teknologi asal AS tahun 1960-an yang variannya tidak jauh berbeda karena basis teknologinya tidak banyak berubah. Di bengkel Komodo Armament saja ada berbagai peralatan, seperti riffling untuk membuat alur laras senapan hingga perlengkapan produksi, seperti molding dan jig. Ada gatlling gun yang masih berupa prototipe.
Juga ada propelan dan bahannya serta yang terpenting adalah laboratorium pengolahan nitrogliserin. Dalam setahun, perusahaan itu bisa memproduksi 1.000 pucuk M16 berbahan baku aluminium atau 3.000 pucuk untuk senjata berbahan baku sebagian polimer.
Tidak jauh dari Komodo Armament, masih di Bekasi, sebuah pabrik pembuat alat pengendali senjata berdiri, PT Respati Solusi Rekatama namanya. Agak sedikit lebih beruntung, produk mereka, yaitu Remote Control Weapon System (RCWS), sudah dibeli Kemenhan sebanyak 11 unit pada 2022.
Dhita Yudhistira, Dirut Respati, tentunya berharap senjata buatannya dibeli lebih banyak mengingat tingginya kebutuhan TNI. Kalau dihitung-hitung, jumlah pos penjagaan di daerah konflik bisa puluhan, RCWS ini bisa menjaga nyawa prajurit. Belum lagi kendaraan-kendaraan seperti Anoa dan kendaraan taktis lain yang jumlahnya ratusan.
Telah delapan tahun perusahaan yang berdiri pada 2009 ini mengembangkan RCWS. Dengan desain yang dibuat sendiri, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya, TNI bisa mengendalikan senapan mesin dari jarak jauh sehingga meminimalkan risiko kena tembak. ”Respati memang bisnis intinya di kendali, tetapi sekarang kami lebih banyak kerjaan-kerjaan non-militer,” kata Dhita.
Tahun 2015, ia mendapat informasi bahwa Dinas Litbang TNI AD mencari industri dalam negeri yang bisa membuat RCWS. Respati lalu mengutak-atik sendiri, mulai dari mempelajari video-video RCWS dari luar negeri; menggunakan latar ilmunya di bidang elektro, kontrol, dan mekanik; hingga mendapat banyak masukan dari TNI AD. RCWS adalah teknologi yang muncul sekitar tahun 2005 sehingga TNI AD punya syarat-syarat teknis dan mengetes buatan luar negeri. Di sini, Respati banyak belajar.
Tahun 2015-2018 Respati mengerjakan proyek-proyek sistem senjata di TNI AD. Dalam proses itu, mereka banyak belajar soal aspek militer, seperti cara menembak, lintasan peluru, pemakaian, dan pemeliharaannya. Dengan demikian, mereka bisa membuat produk yang benar-benar cocok digunakan TNI AD, tidak sekadar meniru dari produk luar negeri. ”Nembak itu kelihatan gampang, tetapi harus rancang sistem yang bisa gerak lalu diam mendadak, 1 derajat itu dibagi 20. Artinya, sistem kita nahan beban, tetapi enggak boleh geser. Karena, kan, nanti geser di alat, di sasaran bisa belasan meter,” kata Dhita.
Desain dibuat sendiri oleh Respati. Sempat berubah empat-lima kali. Jangan ditanya jumlah percobaan. Walau saat upaya awal lancar, begitu alat diletakkan di atas kendaraan yang bergerak, semua harus diatur lagi. Dhita mengatakan, tentara yang di lapangan banyak yang suka produk lokal karena pemeliharannya lebih gampang. Sekitar 15 insinyur RCWS siap siaga di Bekasi, segera berangkat begitu ada telepon.
Dhita bercerita, saat berusaha mendapatkan sertifikasi Kemenhan, barangnya dibongkar satu per satu untuk memastikan komponennya buatan lokal, bukan sekadar merakit buatan luar negeri. Memang ada beberapa bagian yang diimpor, seperti motor dan kamera biasa, termal, dan laser. Ada juga pertimbangan kedaulatan dan kemandirian ketika memilih komponen.
Dhita sengaja tidak membeli motor produksi NATO karena kalau kena blokir, tidak ada penggantinya. ”Jadi, membangun industri pertahanan ini penting, bukan hanya untuk ekonomi, melainkan juga kedaulatan militer kita, jadi tidak harus apa-apa izin asing, terus kalau dilarang, kita tidak bisa operasi,” tuturnya.
Di Respati, tampak bagan RCWS terpampang di bengkel. Seorang operator menjelaskan tuas kendali atau joystick yang menjadi penggerak RCWS dari jauh. Selain bergerak ke kanan, kiri, atas, dan bawah, joystick itu juga bisa digunakan untuk memperbesar dan memperkecil obyek kamera. Di tubuh RCWS juga terlihat berbagai macam kamera, termasuk kamera termal untuk operasi malam hari.
Kurang keberpihakan
Perkembangan industri pertahanan swasta lokal itu, sayangnya, masih belum banyak mendapat dukungan pemerintah. Dananjaya menggarisbawahi, yang ia lakukan adalah bagian dari pertahanan rakyat semesta. Namun, dibutuhkan dukungan dari pemerintah, seperti pemesanan. Secara umum, perlu ada upaya rinci untuk membuat ekosistem industri pertahanan dari yang terkecil, seperti pembuat baut, sampai perusahaan yang menjadi integrator.
Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan Wajariman mengatakan, pihaknya membantu membangun komunikasi dan promosi serta sosialisasi program peningkatan produksi dalam negeri. Namun, kewenangan untuk belanja barang ada di pengguna, seperti Badan Sarana Pertahanan Kemenhan.
Pelaksana Tugas Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Letjen TNI (Purn) Yoedhi Swastanto mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah memberikan instruksi tentang kemandirian industri pertahanan. Akan tetapi, ada beberapa permasalahan, seperti roadmap pengembangan alat pertahanan keamanan yang prototipenya terkesan ketinggalan zaman.
Kemudian, masalah kontinuitas dan komitmen pengguna serta belum cukupnya infrastruktur dan dukungan dana bagi industri dalam negeri dan jaminan kualitas. ”Kesungguhan pengguna jadi faktor kunci. Kemenhan dan KKIP terus mendorong industri pertahanan,” kata Yoedhi.
Sayangnya, wacana sering terasa seperti jauh panggang dari api. Pengorbanan dan kiprah masyarakat seakan menjadi teriakan di ruang kosong. Elite-elite mencari rente di mana-mana, bahkan untuk pertahanan negara. Padahal, Bekasi dan banyak industri pertahanan di daerah lain masih berjuang. Persoalan ini mengingatkan pada kutipan puisi Krawang Bekasi dari Chairil Anwar, 1948.
”Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami”.