Pembangunan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi tantangan. Pengembang masih menantikan penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mendorong program sejuta rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Meski demikian, pengembang perumahan meragukan penyediaan rumah rakyat bisa optimal jika belum ada penyesuaian harga rumah bersubsidi.

Program sejuta rumah merupakan gerakan percepatan dan kolaborasi antara pemerintah dan para pelaku pembangunan perumahan dalam menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sejak tahun 2015.

Dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, realisasi program sejuta rumah pada 2022 sebanyak 1.117.491 unit. Capaian pembangunan perumahan untuk masyarakat tersebut terdiri dari 835.597 unit rumah sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 281.894 unit rumah non-MBR. Dari jumlah itu, perumahan untuk MBR yang dibangun oleh pengembang berjumlah 219.151 unit, sedangkan rumah non- MBR yang dipasok pengembang 224.913 unit.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (DPP REI) Paulus Totok Lusida, saat dihubungi, Senin (16/1/2023), mengemukakan, REI membangun sekitar 60 persen atau 120.000 unit dari total unit rumah MBR yang dipasok pengembang. Meski demikian, tahun ini pasokan rumah sederhana bagi MBR terancam terhambat karena tidak kunjung ada penyesuaian harga rumah subsidi dalam tiga tahun terakhir.

Pengembang MBR didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah. Kenaikan harga bangunan, biaya operasional dan upah pekerja bangunan dinilai sangat membebani arus kas. ”Pengembang menunggu janji pemerintah untuk menaikkan harga patokan rumah sederhana bersubsidi sebesar 7 persen,” katanya.

Ia menambahkan, jika pemerintah segera merealisasikan penyesuaian harga rumah sederhana bersubsidi, pengembang-pengembang yang tergabung dalam REI pada tahun ini diprediksi mampu memasok rumah sederhana untuk MBR hingga 200.000 unit, sedangkan rumah non-MBR lebih dari 100.000 unit.

Pada 2022, pengembang sudah memperoleh sosialisasi terkait kenaikan harga patokan rumah sederhana bersubsidi. Namun, hingga kini belum terealisasi. Jika tidak ada kejelasan rencana penyesuaian harga rumah bersubsidi itu, pengembang terpaksa mengerem pasokan rumah MBR ataupun berinisiatif menaikkan sendiri harga rumah sederhana karena arus kas tidak lagi menutupi biaya produksi.

”Namun, jika pengembang naikkan harga rumah sederhana, pembeli akan terkena biaya PPN. Ini menjadi beban masyarakat,” kata Totok.

Jika terkena pajak, harga rumah sederhana berpotensi naik 25 persen dari patokan harga rumah bersubsidi saat ini. Komponen kenaikan itu meliputi 7 persen kenaikan harga rumah serta 17,5 persen biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang harus ditanggung konsumen. Selama ini, skema rumah bersubsidi dibebaskan dari komponen biaya pajak tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam akun media sosial, menyebutkan, masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar papan. Pemerintah terus berupaya memberikan dukungan akses perumahan bagi MBR.

Sejak tahun 2010-2022, total alokasi APBN untuk perumahan bagi MBR mencapai Rp 175,36 triliun. Dari jumlah itu, dukungan anggaran melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk perbaikan 1,13 juta rumah selama 2018-2022 berjumlah Rp 32,2 triliun. Selain itu, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan untuk MBR sebesar Rp 79,9 triliun untuk 1,16 juta rumah, subsidi bantuan uang muka Rp 774 miliar per tahun dan subsidi selisih bunga Rp 2,57 triliun pada 2022.

Pemerintah juga melakukan penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau PT SMF senilai total Rp 7,8 triliun untuk pembiayaan 421.650 rumah. Selain itu, PMN untuk PT Bank Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk pada tahun 2022 sebesar Rp 2,48 triliun dan Perum Perumnas Rp 1,57 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan masyarakat.

”Pembangunan perumahan juga memberikan dampak pengganda ekonomi luar biasa, menciptakan kesempatan kerja, dan mengangkat sektor UMKM," tulis Sri Mulyani, dikutip pada Senin.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, dalam acara HUT ke-12 Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LP3I/The HUD Insitute), akhir pekan lalu, mengemukakan, Kementerian PUPR berkomitmen dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat.

Tahun 2023, Kementerian PUPR mengalokasikan anggaran senilai Rp 30,38 triliun untuk 230.000 unit rumah bersubsidi. Dana tersebut dialokasikan melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi bantuan uang muka (SBUM), subsidi selisih bunga (SSB) dan tabungan perumahan rakyat (Tapera).

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan, pembangunan rumah untuk MBR dalam program sejuta rumah tahun 2022 dilaksanakan oleh Kementerian PUPR sebanyak 457.063 unit, kementerian lain 15.082 unit, dan pemerintah daerah 63.052 unit. Adapun perumahan untuk MBR yang dibangun oleh program tanggung jawal sosial perusahaan (CSR) perumahan 2.292 unit dan swadaya masyarakat 78.957 unit, sedangkan pembangunan rumah non-MBR oleh masyarakat 56.981 unit.

”Kami yakin dengan capaian program sejuta rumah tahun 2022, semakin banyak masyarakat Indonesia yang dapat memiliki serta menghuni rumah yang layak huni,” kata Iwan, dalam keterangan tertulis.