Badan Meteorologi Dunia (WMO) menegaskan bahwa tahun 2022 sebagai tahun terpanas selama enam tahun terakhir. Diperkirakan tren pemanasan global akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.

Oleh YOESEP BUDIANTO

 

Krisis iklim tidak hanya berefek pada degradasi kualitas lingkungan, tetapi turut berimbas pada ketidaksetaraan keadilan dan hak asasi manusia. Indikasinya terlihat dari ketidakmerataan dampak krisis iklim bagi negara kaya dan negara miskin serta demografi penduduk. Lantas, siapakah yang harus bertanggung jawab?

Badan Meteorologi Dunia (WMO) telah menegaskan bahwa tahun 2022 mencetak rekor sebagai tahun terpanas selama enam tahun terakhir. Catatan kenaikan suhu terpanas tersebut kian menguatkan bahwa perkiraan tren pemanasan global akan terus berlanjut hingga beberapa saat ke depan.

Salah satu poin penting dari laporan WMO itu adalah kenaikan suhu di atas 1 derajat celsius di tahun 2022 yang terjadi pada periode basah atau La Nina. Artinya, ada kemungkinan suhu bumi akan terus meningkat karena dalam periode basah saja suhunya terus memanas, apalagi jika pada periode kering. WMO memprediksi suhu terpanas yang melampaui tahun 2022 akan kembali terjadi pada periode 2023 hingga 2026.

Implikasi pemanasan global tersebut diperkirakan akan menimpa banyak lokasi di permukaan Bumi. Gelombang panas berkepanjangan diperkirakan akan terjadi di daratan Asia, Eropa, hingga Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kekeringan panjang juga melanda Afrika hingga menyebabkan jutaan orang rawan mengalami kelaparan akut. Di sisi lain, ada wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan secara tiba-tiba, seperti di Pakistan dan Afrika Selatan.

Besarnya dampak pemanasan global itu memang memerlukan penanganan dalam konteks konservasi ekologi. Namun, mitigasi terkait lingkungan saja tidaklah cukup dan tidak akan mampu mengatasi persoalan secara utuh. Sebab, perubahan iklim bumi secara tidak langsung turut menyebabkan terjadinya ketimpangan keadilan dan juga hak asasi manusia antarumat manusia di seluruh dunia.

Makin hangatnya suhu bumi salah satu biang penyebabnya adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang sumber emisi karbonnya didominasi oleh negara-negara berkekuatan ekonomi besar. Negara-negara maju yang mayoritas menguasai sektor industrialisasi di dunia telah menyumbangkan emisi karbon yang sangat besar. Baik itu industrialisasi yang berkembang di negaranya ataupun industrialisasi negara maju yang kini sudah menyebar di berbagai negara berkembang (multinational companies) demi efisiensi usaha dan perluasan pangsa pasar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Tk-cc_b2pW_izHzpMYHgO6yEWYY=/1024x3916/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F24%2F551c45c6-a038-4261-b79e-33fdd368dab2_jpg.jpg

Cakupan emisi karbon negara-negara tersebut mencapai 79,2 persen dari total emisi karbon semua negara di dunia. Dari 20 negara dengan emisi terbesar, sepuluh negara itu adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Iran, Jerman, Arab Saudi, Indonesia, dan Korea Selatan. Kekuatan ekonomi negara-negara tersebut sangat fantastis, yaitu 76 persen dari total ekonomi seluruh dunia.

Deskripsi data tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya ketidakadilan dari munculnya fenomena krisis iklim saat ini. Negara-negara lain yang emisi karbonnya lebih rendah atau bahkan jauh lebih kecil turut terkena dampak anomali krisis iklim yang melanda secara global. Bahkan, banyak dari negara-negara tersebut yang tergolong dalam kelompok negara miskin yang sulit meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Ironisnya, negara-negara kecil yang turut terdampak ini sulit untuk mengantisipasi atau mereduksi ancaman krisis iklim karena infrastruktur mitigasinya sangat lemah.

Berdasarkan data emisi karbon tahunan Our World in Data dan Global Carbon Project, ada 20 negara dengan emisi karbon hanya 0,006 persen dari total global. Ironisnya, semua negara tersebut sangat rentan terdampak krisis iklim. Di antaranya rentan terjadi peningkatan tinggi muka air laut, kerusakan ekologi pesisir, hingga gelombang panas. Akibatnya, kompleksitas permasalahan ekologi yang sulit tertangani ini menjalar ke persoalan sosial dan ekonomi.

Sebagai contoh, negara Kepulauan Niue dan Tuvalu yang berada di tengah Samudra Pasifik terancam tenggelam karena anomali tinggi muka air laut. Ancaman lainnya adalah hantaman badai dan gelombang tinggi karena cuaca ekstrem yang mengancam jiwa seluruh penduduk negeri itu. Padahal, kedua negara itu hanya menghasilkan emisi karbon sebesar 19.870 ton per tahun atau minim kontribusi kerusakannya bagi iklim dunia.

Ketidakadilan dampak krisis iklim tersebut akan dirasakan secara global sekalipun oleh negara-negara yang hanya menyumbang emisi karbon sangat rendah. Cuaca ekstrem, krisis pangan, kenaikan harga-harga komoditas, hingga penyakit karena anomali iklim akan menimpa semua negara tanpa terkecuali. Padahal, bila dirunut ke belakang, negara-negara kaya yang saat ini sudah bermetamorfosis menjadi negara maju adalah biang utama penyebab fenomena pemanasan global (global warming) saat ini.

Risiko besar

Setidaknya ada tiga risiko terbesar dari krisis iklim itu, yakni peningkatan cuaca ekstrem, krisis pangan, dan kemiskinan. Kejadian cuaca ekstrem kerap terjadi di berbagai belahan Bumi dan terus mengalami peningkatan intensitas serta frekuensi dari tahun ke tahun. Cuaca ekstrem yang dimaksud adalah suhu ekstrem, hujan ekstrem, kekeringan, hingga badai.

Laporan IPCC menyebutkan banyak kejadian ekstrem muncul karena perubahan iklim regional yang erat hubungannya dengan perubahan suhu bumi. Bahkan, peningkatan suhu yang relatif kecil saja mampu menyebabkan perubahan signifikan. Suhu ekstrem, curah hujan, siklon tropis, hingga kekeringan memiliki kemungkinan intensitas kejadian jauh lebih besar.

Berbagai risiko peningkatan peluang kejadian ekstrem tersebut mendorong manusia dalam situasi krisis. Efek domino cuaca ekstrem tentu sangat beragam, tetapi paling berat adalah keruntuhan ekologi yang menyebabkan krisis pangan dan kelaparan. Daerah yang mengalami peningkatan hujan memiliki peluang banjir lebih besar, sedangkan daerah yang mengalami penurunan curah hujan berpeluang besar kekeringan. Kedua bencana tersebut dapat berimbas serius pada kegagalan panen.

Gagal panen termasuk kondisi yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Banyak negara yang akhirnya jatuh dalam situasi kekurangan pangan sehingga banyak orang yang kelaparan. Bagi negara dengan perekonomian kuat, permasalahan pangan bisa diatasi dengan berbagai cara yang didukung dengan pendaan yang cukup. Di antaranya dengan skema impor-ekspor, peningkatan teknologi pertanian melalui rekayasa genetika dan mekanisasi alat, intensifikasi-ekstensifikasi pertanian, insentif bagi petani, hingga penambahan produksi pertanian dengan pembukaan lahan.

Kondisi berbeda akan dialami oleh negara-negara miskin yang memiliki keterbatasan secara ekonomi dan sumber daya alam. Banyak dari negara tersebut juga memiliki luasan lahan sangat minim. Artinya, kemampuan untuk bertahan dan pulih jauh lebih rendah dari negara lain yang ekonominya lebih kuat. Kenyataan inilah yang merupakan bentuk dari ketidakadilan dari krisis iklim.

Saat ditelaah dari sisi demografi, negara-negara dengan kekuatan ekonomi lebih besar memiliki jumlah penduduk miskin rata-rata sekitar 18,6 persen. Sementara itu, negara dengan kelompok ekonomi lebih rendah, tingkat kemiskinannya rata-rata mencapai kisaran 37 persen. Hal ini kian menegaskan adanya ketimpangan yang lebar antara negara kaya dan miskin. Ketimpangan ini berpotensi besar kian menurunkan kualitas kehidupan masyarakat di negara-negara miskin karena di saat bersamaan harus turut serta menanggung perubahan iklim secara global. Padahal, negara-negara miskin ini bukan penyebab utama anomali iklim yang mengancam keberlangsungan umat manusia di dunia.

Melihat besarnya ketimpangan akibat krisis iklim tersebut, dibutuhkan rumusan konkret secara global yang bermuara pada pemerataan keadilan di seluruh negara di dunia. Hal tersebut dimaksudkan agar semua negara memiliki upaya mitigasi secara proporsional yang tentu saja mendapat dukungan pendanaan yang sepadan. Negara-negara maju harus mengalokasikan anggaran yang besar untuk langkah mitigasi krisis iklim ini.

Pendanaan dari negara-negara maju itu selanjutnya didistribusikan ke seluruh negara secara proporsional demi mendukung program-program mitigasi yang dijalankan secara global. Tujuannya agar upaya mitigasi dapat tercapai secara maksimal, tanpa harus menggerus kemampuan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin yang masih sangat minim finansialnya.

Keadilan

Perubahan ekologi global yang disebabkan pemanasan suhu bumi terjadi dalam skala sangat besar. Namun, semua kejadian tersebut sejatinya berakar dari hal-hal kecil dan sederhana, yaitu aktivitas keseharian individu yang meliputi kebiasaan dan gaya hidupnya. Oleh karena itu, langkah pertama mewujudkan keadilan iklim adalah mendorong perubahan gaya hidup individu yang lebih hijau.

Gaya hidup yang lebih hijau adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dari individu. Setelah level individu, upaya penanganan krisis iklim berlanjut ke level kelompok yang difokuskan pada tanggung jawab antargenerasi. Setiap generasi memiliki pengaruh besar terhadap efek buangan emisi karbon.

Berdasarkan data carbon brief, generasi yang lahir periode tahun 2.000-an harus mengurangi emisi karbon delapan kali lebih rendah dari generasi kakek neneknya apabila ingin kenaikan suhu global tidak melampaui 1,5 derajat celsius. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar jatah emisi karbon yang dapat ditoleransi bumi telah dihabiskan oleh generasi lebih tua yang merintis perekonomian. Implikasinya, generasi lebih muda akan hidup dalam situasi krisis sumber daya alam dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan suhu ekstrem serta bencana alam.

Oleh sebab itu, perlu akselerasi dalam melakukan sejumlah langkah mitigasi agar ancaman akibat krisis iklim itu dapat teratasi oleh generasi saat ini. Tentu saja dengan mengedepankan prinsip keadilan dalam langkah mitigasi tersebut.

Ada sejumlah program yang dapat dilakukan, seperti salah satunya dengan meningkatkan dukungan keuangan dan sumber daya untuk wilayah paling rentan agar lebih adaptif serta mampu menyusun langkah mitigasi secara optimal. Investasi juga perlu dilakukan pada pembangunan desa, perlindungan sosial, serta layanan kesehatan, dan juga pendidikan.

Terakhir, semua negara harus menerapkan langkah-langkah lebih ambisius untuk memenuhi komitmen Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2015. Semua negara harus mulai mengimplementasikan sejumlah program untuk merintis upaya karbon netral pada 2030 dan mencapai net zero emission pada 2050. Semua usaha tersebut harus didukung kolaborasi ilmu, teknologi, dan pendanaan dari seluruh negara di dunia. Dukungan dari negara-negara maju sangat diutamakan demi mengedepankan prinsip keadilan dalam upaya mitigasi bersama-sama warga dunia ini. (LITBANG KOMPAS)