9 Desember 2022

Tiga Masalah dalam Pembentukan RUU Kesehatan Omnibus Law

Melanggengkan praktik buruk pembentukan UU yang tertutup dan tidak partisipatif.

Oleh: 

Rofiq Hidayat

Badan Legislasi bergegas menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Kendati banyak penolakan dari organisasi profesi tenaga Kesehatan terkait persoalan pembentukan peraturan perundang-undangan, DPR sepertinya terus tancap gas.

“Pemerintah dan DPR terus mengulang kesalahan yang sama dalam membentuk peraturan,” ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, Jum’at (9/12/2022).

Sejak munculnya informasi adanya perencanaan RUU Kesehatan dengan omnibus law, secara serentak organisasi profesi tenaga kesehatan menolak. Seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Alasan penolakan intinya karena prosesnya yang tidak partisipatif dan tertutup.

Menurutnya, melihat babak baru pembentukan RUU sektor kesehatan dengan omnibus law, LBH Jakarta menilai ada sejumlah persoalan. Pertama, proses menggunakan pendekatan omnibus law dalam pembentukan RUU berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan buruk yang tidak transparan dan partisipatif. Sebab, draf RUU Kesehatan yang telah diposting di laman website DPR ternyata belum melibatkan organisasi profesi tenaga kesehatan secara menyeluruh.

Jihan melihat proses legislasi pembentukan RUU Kesehatan masih minim partisipasi terutama kelompok profesi di bidang kesehatan. Menurutnya, pola tersebut seperti halnya saat pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sedang berproses.

Mengacu Pasal 96 UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur soal mekanisme masyarakat dapat memberikan masukan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan. Tapi faktanya masyarakat sulit mendapatkan akses perihal informasi berapa banyak elemen publik yang diundang memberikan masukan.

Kemudian informasi penyusunan naskah akademik yang berbasis analisis dampak regulasi (regulatory impact analysis). Bahkan, RUU yang beredar di masyarakat pun simpang siur kebenarannya. Tanpa keterbukaan, publik bakalan sulit berpartisipasi dalam proses pembentukan perundang-undangan. Seharusnya DPR, membuka ruang pembahasan seluas-luasnya terhadap peran serta masyarakat berpartisipasi secara aktif.

“Agar pembentukan RUU Kesehatan dapat menjawab masalah kesehatan di Indonesia tanpa terkecuali,” ujarnya.

Pengacara Publik LBH Jakarta M. Charlie Meidino Albajili melanjutkan poin berikutnya. Kedua, draf RUU Kesehatan yang berada di masyarakat memuat substansi yang bermasalah. Salah satunya, memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan. Seperti halnya dugaan diambilnya kewenangan organisasi profesi yang kemudian dialihkan ke Menteri Kesehatan (Menkes). Dengan demikian, peranan organisasi profesi tenaga kesehatan termarginalkan.

Kemudian Pasal 235 yang memberikan kewenangan Menkes dalam penyusunan standar pendidikan kesehatan, kewajiban Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk bertanggung jawab kepada Menkes yang sebelumnya otonom. Kemudian, pengesahan Surat Tanda Registrasi (STR) hingga penentuan organisasi profesi tenaga kesehatan yang diakui bagi tiap tenaga kesehatan.

“Hal itu dapat melemahkan posisi tawar (bargaining position) terhadap Pemerintah dalam hal penentuan kebijakan terkait kesehatan. Perbincangan di atas juga muncul sebagai akibat tidak terbukanya proses pembentukan RUU Kesehatan,” ujarnya.

Ketiga, tidak adanya urgensi yang jelas dalam rencana pembentukan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law dalam upaya menjawab permasalahan kesehatan. Alih-alih menyelesaikan sengkarut masalah kesehatan di Indonesia, pemerintah justru membentuk aturan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Seperti persoalan pemenuhan hak atas kesehatan bagi setiap orang, perbaikan sistem layanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang aksesibel bagi semua orang hingga penanganan Covid-19 yang perlu untuk dievaluasi selama ini.

Menurut Charlie, setiap permasalahan yang ada hanya ditumpuk dengan masalah lain melalui solusi palsu yang ditawarkan pemerintah. Sebab, masyarakat membutuhkan jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan yang profesional dan tidak diskriminatif. Realitanya, cukup banyak kasus-kasus terkait buruknya pelayanan kesehatan yang diadukan ke LBH Jakarta. Seperti tertutupnya akses informasi terhadap pasien/keluarga pasien atas standar prosedur operasional (SOP) Rumah Sakit maupun rekam medis.

Kemudian masalah informed consent, hingga proses yang berlarut-larut dalam penanganan kasus malpraktik di Indonesia akibat belum adanya hukum acara mejelis kehoramatan dewan kedokteran Indonesia (MKDKI) yang mampu memberikan kepastian hukum bagi pasien/korban. Selain itu, munculnya RUU Kesehatan menjadi pola keberulangan akan buruknya legislasi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Namun, yang diperbaiki malah merevisi UU 12/2011 seolah-olah memberikan ‘karpet merah’ bagi omnibus law 11/2020 dan peraturan lainnya di waktu mendatang.