Pemangkasan Belanja Oleh:DESMON SILITONGA Salah satu dampak lesunya kinerja perekonomian dunia adalah tertekannya harga komoditas. Sebagai salah satu produsen komoditas dunia, Indonesia sangat merasakan dampaknya. Kontribusi ekspor pada perekonomian terus menyusut dan sangat memengaruhi kinerja pertumbuhan. Tantangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi makin tak mudah seiring melambatnya motor ekonomi lainnya, yaitu konsumsi dan investasi. Masyarakat relatif berhati-hati dalam berbelanja. Hal ini terkonfirmasi dari survei keyakinan konsumen yang belum menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Dampaknya, sektor-sektor yang inline dengan konsumsi, seperti sektor ritel, otomotif, residensial dan properti, serta perbankan, juga turut terseret ke dalam pelambatan.Melambatnya kinerja konsumsi ini berdampak pada turunnya kinerja investasi. Dunia usaha lebih konservatif dalam ekspansi usahanya. Alhasil, pertumbuhan investasi belum mampu bangkit. Tahun ini hanya tumbuh 5 persen dari beberapa tahun sebelumnya sebesar 10 persen. Melambatnya pertumbuhan investasi ini berdampak pada terbatasnya penciptaan lapangan kerja. Padahal, salah satu output Nawacita pemerintahan Jokowi-Kalla adalah terciptanya kesempatan kerja yang sebesar-besarnya. Memang, melambatnya kinerja konsumsi tak jadi faktor tunggal yang berdampak pada investasi. Ada faktor lain, seperti terbatasnya insentif, iklim investasi yang belum kondusif, terbatasnya kapasitas infrastruktur, biaya logistik yang tinggi, dan tidak kompetitifnya upah. Memangkas belanja Oleh sebab itu, di tengah kondisi seperti ini, peran APBN menjadi penting. Menurut Taggart dkk (2000), APBN memiliki banyak tujuan untuk mengarahkan aktivitas perekonomian, seperti mendorong pertumbuhan ekonomi, mengendalikan harga barang dan jasa, pemerataan distribusi pendapatan, serta peningkatan lapangan kerja. Peran APBN dalam menavigasi perekonomian pada saat kondisi ekonomi sedang lesu dapat dilihat pada 2009. Imbas krisis subprime mortgage AS (2008) telah menjebloskan ekonomi banyak negara ke dalam kelesuan. Namun, antisipasi pemerintah kala itu, melalui APBN, bisa membuat ekonomi tetap tumbuh positif. Sayangnya, kondisi saat ini berbeda daripada tahun 2009. Tantangan saat ini jauh lebih berat. Hampir semua kawasan di dunia dilanda kemandekan. Sulit menemukan sumber pertumbuhan baru. Selain itu, penerimaan pajak sebagai tulang punggung pendapatan APBN turun signifikan sehingga peran APBN menjadi tak fleksibel.Sepanjang Januari- Agustus 2016, realisasi penerimaan hanya Rp 596 triliun (44 persen dari target sebesar Rp 1355,2 triliun). Hasil ini lebih rendah daripada periode yang sama 2015 sebesar Rp 598,27 triliun (46,2 persen dari target Rp 1294,26 triliun). Dengan waktu yang sempit ini, sulit mengejar target pajak.Apalagi realisasi kebijakan amnesti pajak sampai saat ini belum memuaskan. Alhasil, APBN-P 2016 akan tetap mengalami shortfall, seperti yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Nilainya diperkirakan Rp 219 triliun. Untuk itulah, keputusan pemerintah memangkas belanja dengan total Rp 187,6 triliun (jilid I dan II) tidak terhindarkan untuk menyelamatkan APBN. Bahkan, bukan tak mungkin pemangkasan bisa berlanjut sekiranya realisasi amnesti pajak tidak seperti yang diharapkan. Tentu pemangkasan belanja ini berdampak menggerus pertumbuhan. Namun, sebesar apa dampaknya? Merujuk pada proyeksi Bank Indonesia (BI), dengan pemangkasan belanja ini, pertumbuhan ekonomi 2016 di level 4,9 persen-5,3 persen atau turun dari sebelumnya 5 persen- 5,4 persen. Hasil ini relatif baik. Artinya, dampak pemangkasan belanja tidak terlalu signifikan menggerus pertumbuhan. Hal ini mengingat kontribusi belanja pemerintah terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) hanya sekitar 9 persen, jauh dibandingkan konsumsi (55,5 persen) dan investasi (30 persen). Selain itu, perlu dicatat bahwa pemangkasan belanja tidak menyasar alokasi belanja infrastruktur sehingga kehadiran proyek-proyek infrastruktur pemerintah dapat menjaga denyut perekonomian. Memang pemerintah bisa meminimalkan pemangkasan belanja ini, yaitu dengan memperbesar utang. Apalagi rasio utang terhadap PDB masih aman. Namun, ada beberapa efek yang muncul jika terus menggenjot utang, seperti menambah beban perekonomian dan mendorong migrasi dana dari perbankan, sehingga bisa menghambat momentum penurunan suku bunga dan membuat pemerintah rentan diserang secara politik. Menjaga daya beli Sebaliknya, pemangkasan belanja ini jadi momentum bagi pemerintah agar lebih realistis dalam menetapkan target pendapatan. Selain itu, pemangkasan belanja ini jadi langkah untuk memperbaiki kualitas perencanaan anggaran dan penyerapan belanja. Hasil studi Syahrizal (1996) menunjukkan, efisiensi anggaran publik di Indonesia masih relatif rendah. Salah satu contoh rendahnya kualitas penganggaran terlihat dari terjadinyaoverbudgeting sertifikasi guru senilai Rp 23 triliun. Sementara rendahnya kualitas penyerapan belanja terlihat dari tebalnya saldo pemerintah daerah di perbankan. Pada Juli 2016, nilainya mencapai Rp 224 triliun, naik dibandingkan bulan sebelumnya Rp 214 triliun. Padahal, jika pemda dapat menyerap dana ini secara maksimal, tentu akan memberi dampak positif pertumbuhan di daerah. Oleh sebab itu, di tengah pemangkasan belanja ini, pemerintah dan semua otoritas harus konsisten menjaga stabilisasi harga sehingga dapat menggairahkan daya beli.Selain itu, investasi juga harus didorong. Untuk itu, pemerintah harus mempercepat perbaikan paket- paket ekonomi yang masih sulit diimplementasikan di lapangan. Paket-paket ekonomi ini menjadi insentif bagi dunia usaha. Bukan itu saja, pemerintah juga harus berani mengkaji penurunan tarif pajak sehingga bisa lebih kompetitif dengan negara lain. Di mata investor, Indonesia masih tetap menarik. DESMON SILITONGA, ANALIS PT CAPITAL ASSET MANAGEMENT DAN ALUMNUS PASCASARJANA FE UI