Penerapan sistem pembayaran nontunai nirsentuh pada ruas tol dinilai dapat mengurai kemacetan. Namun, hal ini perlu persiapan secara matang agar tidak memicu persoalan baru.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Penerapan sistem pembayaran nirsentuh tanpa kartu saat memasuki ruas tol masih terus dimatangkan. Pembayaran nirsentuh melalui aplikasi telepon seluler atau ponsel cerdas dinilai membutuhkan persiapan dan sosialisasi, termasuk kesiapan sumber daya manusia.

Sebelumnya, pembayaran tol nontunai nirsentuh (MLFF) dijadwalkan akan diuji coba pada akhir tahun 2022, lalu diundur menjadi awal tahun 2023. Saat ini, mekanisme pembayaran tol tanpa henti berbasis MLFF tersebut masih dimatangkan guna memasuki periode transisi dari sistem pembayaran tol nontunai menggunakan kartu elektronik (e-toll).

Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan Sekretariat Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Ali Rachmadi mengemukakan, pemerintah tengah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Revisi PP itu menjadi landasan penerapan transaksi nontunai nirsentuh di jalan tol. Adapun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18 Tahun 2020 tentang Transaksi Tol Nontunai Nirsentuh di Jalan Tol.

”Masih dilakukan pembahasan untuk revisi PP 15/2005, dan kondisi sekarang (pembahasan) masih di panitia antar-kementerian sebelum dilakukan harmonisasi. Seandainya ada perubahan-perubahan dalam PP, maka peraturan menterinya juga akan disesuaikan,” ujar Ali dalam Diskusi Publik ”Peluang dan Tantangan Implementasi Sistem Bayar Tol Tanpa Henti” secara hibrida, Selasa (7/2/2023).

Ali menambahkan, penerapan MLFF akan dilakukan secara bertahap. Dalam periode transisi, sekitar 50 persen atau paling sedikit 20 persen dari gardu di gerbang tol akan mengakomodasi pembayaran nontunai nirsentuh. Adapun metode pembayaran tol menggunakan kartu elektronik masih dapat dilakukan di gerbang tol. Pihaknya sudah memilih beberapa ruas jalan tol yang diprioritaskan untuk penerapan MLFF. Ruas tol yang dipilih itu dipastikan sudah siap dan tidak banyak risiko untuk MLFF.

”Kami sudah mengarah ke transisi, yang mana terbaik nantinya akan diterapkan,” ujar Ali.

 

Tantangan

Vice President Intelligent Transport System (ITS) Indonesia Bidang Standardisasi, Monitoring, dan Evaluasi Resdiansyah mengatakan, implementasi MLFF dengan teknologi sistem satelit navigasi global (GNSS) masih menghadapi sejumlah tantangan. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasinya.

Tantangan tersebut antara lain ketiadaan sinyal seluler (e-OBU) di beberapa kawasan jalan tol, padahal sinyal sangat penting dalam implementasi GNSS yang menggunakan telepon pintar. Selain itu, GNSS OBU/e-OBU juga bisa sengaja dimatikan oleh pengguna jalan untuk menghindari pengenaan tarif jalan tol. ”Ini bisa menyebabkan kesalahan dalam charging harga jalan tol,” ujarnya.

Selain itu, dapat terjadi baterai telpon seluler kehabisan daya dan tidak tersedia paket internet. Akibatnya, GNSS OBU/e-OBU tidak dapat mengirimkan data lokasi ke aplikasi back-end. Persoalan lainnya adalah penipuan identitas. ”Pelaku memalsukan identitas atau memasukkan data dan klasifikasi yang tidak sesuai dengan data yang terdaftar untuk mendapatkan tarif tol yang lebih murah,” ujarnya.

Resdiansyah menilai, pemberlakuan MLFF harus bertahap dengan uji coba dan pengawasan yang ketat dan disertai upaya sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat, termasuk perubahan mekanisme pembayaran.

Upaya mengantisipasi tantangan penerapan MLFF dapat dilakukan dengan pos penegakan untuk mendeteksi dan mengumpulkan semua data lintas dari semua kendaraan yang melewati gardu tol serta sistem memastikan tidak ada kebocoran dalam penghitungan. Kendaraan tanpa klasifikasi yang benar dapat ditangkap untuk penegakan dan denda.

”Uji coba perlu dilakukan secara ketat dan dilakukan sosialisasi yang baik. Jangan sampai (sistem) dibawa ke masyarakat, tetapi masyarakat tidak paham,” kata Resdiansyah.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro menyebutkan, setiap hari transaksi seluruh jalan tol mencapai 4,2 juta transaksi per hari, sedangkan transaksi di gerbang tol memakan waktu sembilan detik per transaksi sehingga memakan antrean panjang. Selain memicu masalah keselamatan, antrean panjang juga boros waktu dan bahan bakar minyak.

Penerapan MLFF diharapkan tidak lagi memicu antrean, tetapi sebaliknya mendorong aksesibilitas dan menghemat waktu tempuh perjalanan. Berkurangnya antrean dinilai mendorong penghematan energi serta pengurangan polusi udara, emisi, dan pemborosan BBM. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan peran jalan tol untuk pembangunan berkelanjutan serta kelancaran arus orang dan barang.

Penerapan MLFF tidak hanya terkait mobil dan telepon cerdas, tetapi juga aplikasi, pembayaran digital, dan kebutuhan pulsa. ”Dibutuhkan sosialisasi penggunaan MLFF dan pembayaran oleh pengguna,” katanya.

Di sisi lain, masalah penerapan MLFF yang meniadakan palang pintu tol perlu diantisipasi sewaktu arus Lebaran. Ketika arus Lebaran, pintu tol biasanya mengalami buka tutup. ”Ketika tidak ada lagi sistem buka tutup pintu tol, semua kendaraan langsung lolos. Ini perlu dipertimbangkan,” ujarnya.

Senada dengan itu, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sudewo, berharap kajian terkait teknologi MLFF dilakukan secara mendalam dan berkualitas. Selain itu, diperlukan kesiapan sumber daya manusia untuk penerapan teknologi itu. ”Matangkan persiapan. Jangan sampai kebijakan ini digunakan, tetapi menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.

Sudewo menambahkan, pemerintah jangan terburu-buru menerapkan regulasi, tetapi memicu persoalan. Regulasi memerlukan perencanaan dan kajian matang karena teknologi MLFF akan diterapkan pertama kali di Indonesia. ”Sesuatu yang baru jangan sampai membuat pengguna tol menjadi kelinci percobaan. Infrastruktur teknologi perlu disiapkan secara matang,” katanya.