Pasokan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah mulai terganggu. Pengembang mendesak pemerintah segera menaikkan harga patokan rumah bersubsidi.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Pasokan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah mulai terhambat. Hal ini dipicu tertundanya penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi yang dijanjikan pemerintah. Sebagian pengembang rumah bersubsidi mulai menaikkan harga jual rumah sehingga rumah tersebut tidak lagi mendapatkan insentif subsidi.

Harga rumah bersubsidi hingga kini dipatok antara Rp 150 juta dan Rp 168 juta per unit, yang terbagi menurut zonasi. Dalam skema rumah bersubsidi, konsumen mendapatkan insentif berupa pembebasan komponen biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Rumah bersubsidi diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan batasan penghasilan bulanan di kisaran Rp 7 juta-Rp 10 juta menurut zonasi.

Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, menuturkan, tertundanya penyesuaian harga rumah subsidi oleh pemerintah selama lebih dari tiga tahun semakin memberatkan arus kas pengembang. Sebagian pengembang rumah bersubsidi, terutama pengembang skala kecil, mengurangi pasokan karena arus kas sudah tidak bisa menutup biaya produksi.

Sementara itu, sebagian pengembang lain juga mulai menaikkan harga jual rumah bersubsidi. Rumah tipe subsidi yang harganya dinaikkan itu menyebabkan harga rumah tidak lagi masuk skema rumah bersubsidi. Akibatnya, konsumen kehilangan insentif dan terkena beban biaya pajak sebesar 17 persen dari harga rumah.

”Masyarakat berpenghasilan rendah paling dirugikan akibat tertundanya penetapan harga baru rumah bersubsidi. Pasokan rumah bersubsidi tersendat sehingga konsumen yang membeli rumah dengan harga di atas rumah subsidi terkena beban biaya pajak sangat tinggi. Ini tentu sangat memberatkan konsumen,” kata Daniel, saat dihubungi, akhir pekan lalu.

Pada tahun 2023, pemerintah mengalokasikan pembiayaan rumah bersubsidi melalui kredit pemilikan rumah dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR-FLPP) sejumlah 229.000 unit rumah dengan nilai Rp 25,18 triliun. Selain itu, pembiayaan rumah juga melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sejumlah 12.072 unit senilai Rp 1,5 triliun. Penyaluran skema pembiayaan itu melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Dari data BP Tapera, penyaluran FLPP per 3 Maret 2023 tercatat 27.797 unit senilai Rp 3,1 triliun atau 12,13 persen dari target tahun ini 229.000 unit.

Menurut Daniel, penurunan pasokan rumah bersubsidi oleh pengembang sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, pasokan rumah sederhana bersubsidi oleh pengembang-pengembang Apersi hanya di kisaran 70.000 unit atau turun dibandingkan realisasi tahun 2021 sebesar 114.000 unit.

”Ketidakjelasan penyesuaian harga rumah bersubsidi akan menghambat pasokan rumah subsidi. Ini tidak sejalan dengan target besar pemerintah untuk mengatasi angka kekurangan (backlog) perumahan,” ujar Daniel.

 

Secara terpisah, Deputi Komisioner BP Tapera Bidang Pemanfaatam Dana Tapera, Ariev Baginda Siregar, menyampaikan, ketentuan penyesuaian harga rumah bersubsidi sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Penyesuaian harga sudah lama diajukan pengembang. Namun, pihaknya sudah bekomunikasi dengan asosiasi pengembang perumahan agar menunggu, dan pihak asosiasi tetap berkomitmen untuk membangun rumah bersubsidi.

”(Penyesuaian harga rumah bersubsidi) dalam proses terbit, tahapnya sudah di ujung. Pengembang perlu bersabar,” kata Ariev, saat dihubungi, Minggu (5/3/2023).

Ia mengakui, sudah ada pengembang yang menaikkan harga rumah karena keterbatasan arus kas, atau harga perolehan lahan besar. Meski demikian, rumah yang dijual dengan harga di atas rumah bersubsidi harus memiliki nilai tambah. Tanpa nilai tambah, produk rumah yang ditawarkan itu berpotensi tidak laku di pasar, apalagi konsumen terbebani biaya pajak.

Tertunda lama

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (DPP REI) Paulus Totok Lusida mengemukakan, usulan kenaikan harga rumah subsidi disampaikan REI sejak tahun 2020. Terus ditundanya kenaikan harga rumah bersubsidi dikhawatirkan menghambat pasokan rumah subsidi tahun ini bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pihaknya kini masih menunggu terbitnya aturan terkait kenaikan harga patokan rumah bersubsidi. ”Diharapkan ketentuan penyesuaian harga itu bisa terbit bulan ini,” kata Totok, saat dihubungi, Minggu.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mohammad Zainal Fatah, dalam keterangan pers, Kamis, mengatakan, Kementerian PUPR terus berupaya meningkatkan akses dan keterjangkauan terhadap pembiayaan perumahan yang layak huni guna mengatasi kekurangan perumahan (backlog) di Indonesia. Itu sebagai komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan dan memastikan bahwa negara hadir untuk memberi dan menjawab atas kebutuhan masyarakat terhadap kepemilikan rumah layak huni.