Pemerintah terus mendorong program penyediaan rumah layak huni. Namun, kalangan pengembang menilai pasokan rumah bersubsidi bakal terhambat jika tidak ada penyesuaian harga rumah bersubsidi.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mendorong penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Meski demikian, penyesuaian harga rumah bersubsidi yang terus tertunda dinilai bakal menghambat pasokan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, pemerintah berupaya meningkatkan penyediaan hunian yang layak bagi masyarakat, antara lain melalui pembangunan rumah susun (rusun). Pembangunan hunian vertikal menjadi solusi atas perkembangan penduduk yang cepat, khususnya di wilayah perkotaan, serta semakin terbatasnya ketersediaan lahan untuk perumahan tapak.
”Kami berharap dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima bantuan dengan memiliki rumah yang lebih layak, sehat, dan nyaman,” kata Basuki dalam keterangan pers, Jumat (3/3/2023).
Pada tahun 2023, Kementerian PUPR menargetkan dapat membangun 5.379 rumah susun sewa senilai Rp 2 triliun. Tahun lalu, Kementerian PUPR telah menyelesaikan pembangunan 3.998 unit rusun dan dilanjutkan tahun ini sebanyak 5.379 unit. Pembangunan rusun ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, asrama bagi mahasiswa, santri di pondok pesantren, TNI/Polri, dan aparatur sipil negara (ASN).
Rusun yang kini dalam tahap konstruksi antara lain Rusun Lansia di Bone Bolango, Gorontalo. Rusun satu menara setinggi tiga lantai itu memiliki 76 unit hunian tipe 24. Anggaran pembangunan bersumber dari APBN sebesar Rp 21 miliar dengan kontraktor pelaksana PT Anindiyaguna. Tahap pembangunan fisik proyek rusun ini mencapai 29,38 persen dengan target selesai pada 25 Mei 2023. Rusun itu direncanakan dilengkapi sarana pendukung air bersih, listrik, dan perabotan, seperti tempat tidur, lemari, kursi, dan meja.
Kementerian PUPR juga melanjutkan program penyediaan hunian vertikal tahun ini dengan membangun 22 menara hunian pekerja di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara serta program operasi, pemeliharaan, optimalisasi, dan rehabilitasi (OPOR) sebanyak 59 menara.
Rumah subsidi
Sementara itu, Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) meminta pemerintah segera menetapkan harga baru rumah bersubsidi. Terus ditundanya kenaikan harga rumah bersubsidi dikhawatirkan menghambat pasokan rumah subsidi layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah tahun ini. Harga rumah bersubsidi saat ini dipatok antara Rp 150 juta dan Rp 168 juta yang terbagi menurut zonasi.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat REI Paulus Totok Lusida menilai, pemerintah terus menunda penyesuaian harga rumah bersubsidi. Terakhir, pemerintah menjanjikan ketentuan harga baru rumah subsidi akan terbit pada Februari 2023. Persoalan harga rumah subsidi juga mengemuka dalam Rapat Koordinasi Dewan Pengurus Pusat dan Daerah REI Se-Indonesia pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-51 REI di Medan, Sumatera Utara, Rabu (1/3/2023).
Usulan kenaikan harga rumah subsidi sudah disampaikan REI sejak tahun 2020. Semula telah disepakati kenaikan harga rumah subsidi dengan Kementerian PUPR sebesar 7 persen, tetapi terakhir dikabarkan kenaikan harga sekitar 5 persen.
”Kapan, kok (harga baru) ditunda terus? Karena biaya produksi betul-betul sudah tidak menutupi lagi, sementara harga material sudah naik beberapa kali. REI sudah mempertanyakan kapan kepastian harga naik, tapi sampai hari ini belum ada jawaban,” ujar Totok.
Menurut dia, REI membangun sekitar 60 persen atau 120.000 unit dari total unit rumah masyarakat berpenghasilan rendah yang dipasok pengembang. Jika pemerintah tidak menunda penyesuaian harga rumah bersubsidi, REI semula siap memasok hingga 200.000 unit rumah sederhana tahun ini.
Pada tahun 2023, pemerintah mengalokasikan pembiayaan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sejumlah 220.000 unit rumah dengan nilai Rp 25,18 triliun. Selain itu, pembiayaan rumah melalui Tabungan Perumahan Rakyat senilai Rp 1,05 triliun untuk 10.000 unit rumah. Dari alokasi 220.000 unit FLPP, sejumlah 50.000 unit di antaranya untuk pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat sektor informal.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, pengembang tengah menunggu kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan harga patokan rumah bersubsidi. Ketiadaan penyesuaian harga rumah subsidi dalam tiga tahun terakhir menyebabkan sejumlah pengembang mengurangi pasokan karena arus kas sudah tidak bisa menutup biaya produksi.
Pada tahun 2022, pasokan rumah sederhana bersubsidi oleh pengembang-pengembang Apersi hanya sekitar 70.000 unit atau turun dibandingkan realisasi tahun 2021 sebanyak 114.000 unit. ”Biaya bahan bangunan meningkat, upah minimum terus naik, tetapi harga rumah bersubsidi belum disesuaikan selama tiga tahun,” kata Daniel.
Dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M2023 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya, maksimum penghasilan untuk warga yang sudah menikah ditetapkan Rp 8 juta per bulan untuk wilayah di luar Papua serta maksimum Rp 10 juta untuk wilayah Papua. Sementara batas penghasilan untuk status lajang atau tidak kawin Rp 7 juta per bulan untuk wilayah di luar Papua dan maksimum Rp 8 juta per bulan untuk wilayah Papua.