Pada 2023, Sri Mulyani mencatatkan defisit sebesar Rp464,3 triliun. Sementara itu kebutuhan anggaran subsidi energi sebesar Rp551,2 triliun.
Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada 2023 mencatatkan defisit sebesar Rp464,3 triliun atau setara dengan 2,38 persen terhadap PDB Indonesia. Akan tetapi bila tanpa subsidi dan kompensasi energi yang jumlahnya mencapai Rp551,2 triliun, keuangan negara sebenarnya sudah seimbang antara pengeluaran dan pendapatan.
“Rp551 triliun kalau tidak perlu subsidi itu, saya bisa langsung bikin APBN-nya balance, karena defisitnya kurang dari Rp500 triliun,” katanya dalam kuliah umum, Jumat (3/2/2023).
Sebagai informasi, defisit APBN dapat ditekan hingga mencapai tingkat di bawah 3 persen terutama didorong oleh lonjakan penerimaan negara yang mencapai Rp2.626,4 triliun, sementara belanja negara tercatat sebesar Rp3.090,8 triliun.
Salah satu lonjakan belanja terbesar pemerintah pada 2023 adalah subsidi dan kompensasi energi. Pada 2022 disebabkan oleh harga minyak mentah yang meningkat signifikan di pasar global. Rata-rata ICP yang pemerintah perkirakan sebesar US$63 per barel meningkat dan sempat menembus US$126 per barel.
Kondisi ini mengharuskan pemerintah menaikan harga BBM, termasuk BBM bersubsidi hingga 30 persen.
Namun demikian, Sri Mulyani mengatakan kenaikan tersebut masih kecil jika dibandingkan dengan negara lainnya, misalnya di Eropa yang kenaikannya bisa mencapai 200–300 persen.
Bisnis mencatat, realisasi subsidi energi pada 2022 tercatat sebesar Rp171,9 triliun, sementara realisasi kompensasi energi mencapai Rp379,3 triliun.
Kompensasi energi tersebut terdiri atas realisasi kompensasi untuk BBM sebesar Rp307,2 triliun dan kompensasi untuk listrik sebesar Rp72,1 triliun.
Pada 2023, pemerintah menargetkan defisit APBN sebesar Rp598,2 triliun atau 2,84 persen dari PDB, di mana pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp2.463 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp3.061,2 triliun.
Sri Mulyani menegaskan, instrumen belanja negara pada 2023 akan tetap diarahkan untuk mendukung prioritas nasional, serta tetap mendukung pemulihan ekonomi.
“Jadi semuanya itu dicari balancing. Ekonomi adalah bicara tentang confidence, makanya harga dijaga melalui keseimbangan supply dan demand, tidak selalu harus subsidi, tapi kita juga memperkuat ekonominya. Jika ekonominya semakin kuat, berarti subsidi makin turun,” jelasnya.