Salah satu yang sudah mulai dibahas, yakni mengenai nuklir. Termasuk mengenai apakah diperlukannya persetujuan DPR dalam terkait dengan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). DPR menilai persetujuan itu perlu.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan secara intensif, termasuk di dalamnya terkait nuklir. Kendati pembahasan masih panjang, RUU itu diharapkan tuntas tahun ini.
Rapat panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dibahas bersama di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/3/2023). Rapat yang berlangsung tertutup itu lebih banyak membahas agenda pembahasan yang tertunda, salah satunya karena masa reses DPR lalu.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, ditemui setelah rapat itu, mengatakan, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) baru nomor 169 dari total 574.
”Itu pun belum selesai semua. Ujungnya 169, tetapi di tengah-tengahnya pun masih ada yang pending (tertunda). Hari ini memang lebih banyak isu pending di pertemuan sebelumnya. Baru besok (dari yang sudah dibahas) misalnya diterima atau tidak, jadi atau tidak,” ujar Dadan.
Kendati pembahasan masih panjang, pemerintah tetap menargetkan RUU tersebut dapat dirampungkan tahun ini. ”Insyaallah (selesai tahun ini). Harus tahun ini,” lanjutnya.
Catatan Kompas, RUU EBET sebelumnya diharapkan disahkan sebelum pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022. Namun, kemudian mundur sehingga baru dibahas DPR dan pemerintah pada tahun ini. RUU tersebut satu dari 39 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023.
Baca Juga: Langkah Transisi Energi dalam RUU EBET Dipertanyakan
Dadan mengemukakan, rapat Panja RUU EBET pada Selasa lebih banyak membahas energi baru, seperti nuklir, hidrogen, dan amonia. Begitu juga teknologi penyimpanan baterai.
Mengenai nuklir, pemerintah dan DPR sama-sama setuju untuk dimasukkan dalam RUU EBET. ”Kami melihat, apakah perlu persetujuan DPR atau tidak (terkait pembangkit listrik tenaga nuklir/PLTN). Itu ditolak. Jadi, harus dengan persetujuan DPR. Tapi, kami masih menyampaikan konsepnya,” ujar Dadan.
Sementara itu, terkait pembentukan Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (Nuclear Energy Program Implementation Organization/NEPIO), Dadan mengatakan saat ini sedang berproses di Biro Hukum Kementerian ESDM.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Dyah Roro Esti menuturkan, DPR mendorong agar dalam pengoperasian PLTN, tetap dibutuhkan persetujuan DPR. Sebab, DPR mewakili rakyat.
”Misalnya, terkait kapasitas reaktornya, apakah skala besar atau skala kecil? Itu yang nanti akan dijabarkan ulang pemerintah. Dalam situasi seperti itu butuh persetujuan DPR. Perizinan juga sempat dibahas. Juga tetap perlu keterlibatan publik di wilayah (rencana pembangunan PLTN). Mereka berhak untuk beropini,” ujarnya.
Potensi
Dyah menambahkan, setelah berdiskusi dengan pemerintah dalam rapat Panja RUU EBET, pihaknya lebih yakin akan keberpihakan terhadap energ baru, termasuk nuklir. Hal itu penting agar RUU tersebut bisa segera dirampungkan sehingga nantinya dapat mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan.
Menurut Dyah, penting untuk melihat potensi dan juga tawaran kerja sama dari negara lain terkait pengembangan nuklir. ”Proses transisi energi ini panjang dan kita ingin membuka ruang agar Indonesia bisa mendiversifikasi portofolio energinya. Sebab, tanpa nuklir, target NZE (emisi nol bersih) pada 2060 mungkin tak bisa tercapai,” ujarnya.
Dyah menuturkan, dirinya juga berharap RUU EBET disahkan menjadi UU pada 2023. ”Maka kami membahasnya intensif dengan pemerintah. Juga akan ada konsinyering lebih detail pasal per pasal,” katanya.
Energi nuklir diyakini sejumlah pihak bisa diandalkan dalam peralihan dari energi fosil ke energi bersih. Di sisi lain, capaian energi terbarukan saat ini masih jauh dari target. Pada 2022 misalnya. Menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen atau di bawah target yang 15,7 persen. Adapun pada 2025 ditargetkan mencapai 23 persen.
Namun, arah RUU EBET juga disorot sejumlah pihak. Sebelumnya, Deputi Program Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Grita Anindarini menilai, isi RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir, dan energi terbarukan dalam satu undang-undang membuat upaya transisi energi menjadi tidak jelas.
”RUU ini seharusnya berfokus ke energi terbarukan sehingga dapat menjadi dasar hukum yang kuat dan memberikan kepastian hukum. Selain juga memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi dalam upaya menekan emisi,” ujarnya Senin (6/2/2023)