Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW. Saat ini peraturan menteri terkait PLTS atap tengah direvisi.

Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA

JAKARTA, KOMPAS — Pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS di Indonesia masih sulit berkembang meskipun berpotensi menjadi penopang untuk memacu energi terbarukan dalam bauran energi primer. Salah satu kendalanya adalah masih ada sejumlah batasan dalam kapasitas terpasang PLTS akibat kelebihan pasokan daya listrik yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) Linus Andor Mulana Sijabat, saat dihubungi Kamis (23/3/2023), mengatakan, ada sebanyak 12 produsen modul surya yang tergabung dalam Apamsi. Namun, semuanya berhenti beroperasi karena tidak ada pasar atau permintaan untuk panel surya tersebut.

Linus menjelaskan, pasar panel surya Indonesia itu untuk produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) atau PLTS atap. Namun, semua itu bergantung pada PLN. Kendati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan sejumlah aturan untuk percepatan PLTS, akhirnya tak bisa dijalankan PLN.

Baca juga: Pemasangan Panel Surya Atap Masih Terkendala

”Yang ditargetkan tidak terjadi sehingga market-nya tidak tumbuh. Sebanyak 12 perusahaan ini stop beroperasi. Waktu itu, konsisten hanya pada 2015 dan sesudah itu tidak ada lagi. Tentu yang diharapkan (agar PLTS tumbuh dan berkembang) ialah konsistensi PLN (menjalankan) regulasi yang ada,” kata Linus.

Di sisi lain, imbuh Linus, PLTS, termasuk PLTS atap, sebenarnya paling memungkinkan untuk memacu capaian energi terbarukan di Indonesia. Sebab, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memerlukan waktu lama dalam pembangunannya. Begitu juga pada pembangkit listrk tenaga panas bumi (PLTP).

Sebelumnya, dalam pameran Solartech Indonesia, di JIExpo, Jakarta, awal Maret 2023, sejumlah perusahaan penyedia sistem panel surya mengatakan, saat ini nyaris semua panel surya yang terpasang di Indonesia ialah produk impor. Produsen panel surya skala besar didominasi produk-produk buatan luar negeri.

Sementara terkait permintaan pemasangan, ada kecenderungan tumbuh sejak 2019. ”Namun, adanya pembatasan kapasitas terpasang (PLTS atap) 15 persen, sejak 2022 membuatnya menurun hingga 50 persen. Terutama pada pelanggan untuk hunian,” kata Sales Engineer Sedayu Solar, Ilham Setiawan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 megawatt (MW) atau jauh di bawah rencana sebesar 893,3 MW. Hanya ada penambahan 66,9 MW dari 2021 yang kapasitas terpasangnya 204,7 MW. Sebelumnya, Kementerian ESDM menargetkan 3.600 MW kapasitas terpasang PLTS atap pada 2025.

 

Relaksasi

Dalam diskusi terkait sinergi nasional untuk mencapai target kontribusi nasional untuk penurunan emisi (nationally determined contribution/NDC) 2030 dan emisi nol bersih (NZE) 2060 yang digelar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) secara hibrida, Rabu (21/3/2023), lambatnya pertumbuhan PLTS juga menjadi salah satu poin yang dibahas.

Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Andhika Prastawa, dalam diskusi itu, mengatakan, PLTS atap ialah jenis energi terbarukan dengan teknologi dan bisnis yang mendasar dan mudah. Namun, perkembangannya sangat lambat dan membutuhkan lagi intervensi.

Menurut dia, bicara target transisi energi, seharusnya tidak hanya bicara level makro, tetapi juga meso dan mikro.

”Sebab, di situlah enabling bekerja. Contohnya, kita bisa membuat kebijakan relaksasi agar (PLTS) rooftop (atap) tumbuh, dipermudah. Memang, kalau tak dijaga akan menjadi ekses (kelebihan daya). Namun, peraturan tidak tabu untuk diubah setelah target terpenuhi. Jadi, tetap dijaga,” kata Andhika.

Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Warsono mengatakan, Kementerian ESDM akan membuat aturan baru yang mendukung pengembangan PLTS atap. Pihaknya pun akan mendukung kebijakan tersebut.

Baca juga: Kuota PLTS Atap Perlu Dihitung Cermat

”Salah satunya adalah dengan metering di sisi pelanggan sehingga nantinya bisa diagregat, berapa kWh (kilowatt jam) di rooftop ini. Ini yang selama ini barangkali belum teragregat. Nantinya, berapa kontribusi terhadap EBT (energi baru terbarukan) akan bisa dihitung perkembangannya dari waktu ke waktu,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI pada 28 November 2022, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menuturkan, PLN sedang mengalami kelebihan pasokan daya listrik (oversupply). Pihaknya mendukung penuh pengembangan energi terbarukan. Namun, selama masih oversupply, titik tengahnya ialah agar pemasangan PLTS atap sesuai dengan kapasitas konsumsi pelanggan (Kompas.id, 13/1/2023).

Saat ini, Kementerian ESDM sedang dalam proses merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Itu dalam rangka percepatan implementasi PLTS atap serta memberi kesempatan lebih luas bagi masyarakat dalam memasangnya.