Pemerintah melalui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji tahun 1444 H/2023 M sebesar Rp 69.193.733,60 per anggota jemaah. Biaya itu naik drastis hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2022, yakni Rp 39,89 juta.

Biaya sebesar itu untuk membayar: (1) biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (pergi-pulang/PP) sebesar Rp 33.979.784,00; (2) akomodasi Mekkah Rp 18.768.000,00; (3) akomodasi Madinah Rp 5.601.840,00; (4) biaya hidup (living cost) Rp 4.080.000,00; (5) visa Rp 1.224.000,00; (6) paket layanan Masyair Rp 5.540.109,60 (www.haji.kemenag.go.id).

Akun Instagram Kementerian Agama RI (kemenag_ri) merilis data perkembangan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) sepuluh tahun terakhir sebagai berikut.

Pada (1) tahun 2010 sebesar Rp 30,05 juta, (2) tahun 2011 sebesar Rp 32,04 juta, (3) tahun 2012 sebesar Rp 37,16 juta, (4) tahun 2013 sebesar Rp 43 juta, (5) tahun 2014 sebesar Rp 40,03 juta, (6) tahun 2015 sebesar Rp 37,49 juta, (7) tahun 2016 sebesar Rp 34,60 juta, (8) tahun 2017 sebesar Rp 34,89 juta, (9) tahun 2018 sebesar Rp 35,24 juta, (10) tahun 2019 sebesar Rp 35,24 juta, (11) tahun 2022 sebesar Rp 39,89 juta, dan 2023 diusulkan menjadi Rp 69,19 juta (sumber: paparan BPKH, 19/1/2023).

Data tersebut menunjukkan selama sepuluh tahun terakhir, kenaikan biaya haji setiap tahun hanya berkisar Rp 1 juta-Rp 5 juta. Bahkan, biaya haji tahun 2014 hingga 2016 mengalami penurunan. Usulan pemerintah dengan skema 70 persen BPIH dan 30 persen nilai manfaat menyebabkan kenaikan biaya haji tahun 2023 cukup drastis, yakni Rp 30 jutaan per orang.

Data tersebut menunjukkan selama sepuluh tahun terakhir, kenaikan biaya haji setiap tahun hanya berkisar Rp 1 juta-Rp 5 juta.

”Salah urus” dana haji

Indonesia merupakan negara dengan jumlah jemaah haji terbanyak di dunia. Kuota normal haji Indonesia tahun 2023 sebanyak 221.000, terdiri dari haji reguler 204.000 dan haji khusus/plus 17.000. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyebutkan, dana kelola haji tahun 2021 sebesar Rp 158,79 triliun dan meningkat menjadi Rp 166,01 triliun tahun 2022 (https://bpkh.go.id/bpkh-nyatakan-kesiapan-pendanaan-haji-tahun-2023/).

Tanpa diapa-apakan pun, otomatis dana haji akan selalu meningkat karena animo berhaji masyarakat Muslim Indonesia tinggi, ditunjukkan oleh waiting list (daftar antrean calon jemaah haji) yang semakin panjang. Rata-rata angkanya di Indonesia 50 tahun, bahkan ada yang sampai 70-80 tahun menunggu, seperti di Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, dan Aceh (http://haji.kemenag.go.id/v4/waiting-list).

Tidak adanya haji pada 2020 dan 2021 yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 menyebabkan waiting list haji pun semakin panjang. Jika data tersebut benar, artinya bayi baru lahir pun harus segera didaftarkan haji.

Sejarah mencatat pernah terjadi salah urus (mismanagement) pengelolaan dana haji. Menteri Agama SDA divonis penjara 6 tahun karena terbukti menyalahgunakan jabatannya selaku menteri dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013.

Selain Menteri Agama SDA, Menteri Agama SAHA juga divonis 5 tahun penjara karena terjerat kasus Dana Abadi Umat dan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Sesuai amanat UU No 34/2014, saat ini pengelolaan dana haji tidak lagi di bawah Menteri Agama, tetapi dikelola oleh badan khusus, yakni BPKH.

Menteri Agama, Kamis (19/1/2023), mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayarkan oleh jemaah haji tahun 2023 sebesar Rp 69 juta. KOMPAS

Menteri Agama, Kamis (19/1/2023), mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayarkan oleh jemaah haji tahun 2023 sebesar Rp 69 juta.

Fikih, keadilan, dan kewajaran

Usulan pemerintah menaikkan biaya haji yang tinggi setidaknya bisa dilihat dari tiga aspek: fikih, keadilan, dan kewajaran biaya.

Pertama, dari sisi fikih, ada konsep istitoah (kemampuan) sebagai syarat wajib pelaksanaan haji. Istitoah meliputi setidaknya tiga hal: finansial, kesehatan, dan keamanan. Jika salah satu aspek tidak terpenuhi, otomatis gugur kewajiban haji. Sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2020, istitoah dalam hal finansial adalah kemampuan jemaah haji untuk membayar biaya haji full cost, tanpa ”bantuan” nilai manfaat.

Ini artinya, berapa pun besarnya biaya haji sebenarnya tidak menjadi masalah bagi jemaah karena kewajiban haji hanya bagi yang memiliki kemampuan, termasuk kemampuan finansial.

Dengan asumsi full cost BPIH 2023 usulan pemerintah sebesar Rp 98,8 juta per jemaah, maka jemaah membayar BPIH dengan kemampuan sendiri yang bersumber dari (1) setoran awal pribadi atau down payment/DP sebesar Rp 25 juta, (2) nilai manfaat setoran awal pribadi (mengendap hingga berangkat) dan (3) setoran lunas pribadi. Dengan begitu, ada aspek keadilan antara jemaah yang menunggu 10 tahun dan yang memiliki masa tunggu 15 atau 20 tahun.

Inovasi yang telah dibuat oleh BPKH denganvirtual account (VA) sejak tahun 2018 perlu diapresiasi.

Kedua, terkait aspek keadilan adalah soal jemaah haji 2020 yang telah melunasi BPIH, tetapi belum bisa berangkat karena penundaan haji. Mafhum, tahun 2020 dan 2021 terjadi penundaan haji akibat kebijakan terkait Covid-19 dan baru berangkat tahun 2022 sebanyak 50 persen.

Bagaimana dengan nasib jemaah haji 2020 lainnya (50 persen) yang telah melunasi BPIH dan (mestinya) berangkat haji tahun 2023. Bagaimana nasib jemaah lunas tunda tersebut? Ibaratnya dia sudah melunasi biaya tiket, hotel, katering, Masyair, dan lain-lain serta siap berangkat tetapi diundur karena Covid-19. Apakah adil jika jemaah tersebut dianggap belum lunas atau harus melunasi sampai Rp 69 juta?

Bagaimana dengan nasib jemaah haji 2020 lainnya (50 persen) yang telah melunasi BPIH dan (mestinya) berangkat haji tahun 2023.

Ketiga, soal kewajaran biaya haji. Data yang dirilis IG @kemenag_ri selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kenaikan biaya haji sejak tahun 2010 hingga 2022 hanya berkisar Rp 1 juta-Rp 5 juta ketimbang tahun sebelumnya. Bahkan, biaya haji pun pernah mengalami penurunan, yakni sejak tahun 2014 (menjadi Rp 40,03 juta), tahun 2015 (menjadi Rp 37,49 juta), dan tahun 2016 (menjadi Rp 34,60 juta). Apakah wajar tahun 2023 ada kenaikan yang sangat drastis dibandingkan dengan 10 tahun terakhir?

Tahun 2020 dan 2021 ada penundaan haji, artinya ada nilai manfaat yang tidak terpakai di tahun 2020 dan 2021. Nilai manfaat BPKH tahun 2022 sebesar Rp 10,08 triliun yang dialokasikan: (1) nilai manfaat BPIH sebesar Rp 7,1 triliun, (2) alokasi VA Rp 2 triliun, (3) kemaslahatan Rp 200 miliar, dan (4) operasional Rp 500 miliar (www.bpkh).

Bagaimana dengan nilai manfaat tahun 2020 dan 2021? Semestinya ini juga bisa digunakan karena juga merupakan uang jemaah. Apakah wajar nilai manfaat jemaah ”hanya” sebesar Rp 29,7 juta (30 persen), sementara biaya yang ditanggung jemaah sangat besar, yakni Rp 69,2 juta (70 persen)?

Publik paham bahwa ada kenaikan biaya avtur/transportasi, biaya charter, akomodasi Mekkah dan Madinah, serta katering. Itu wajar. Namun, apakah sebesar itu kenaikannya?

Baca juga: Wapres: Penyesuaian Biaya untuk Jaga Keberlanjutan Subsidi Haji

Apakah tidak bisa, misalnya, Kementerian Agama RI atau BPKH membuat terobosan? Seorang Habib Bugak Al-Asyi saja bisa mengumpulkan dana dari masyarakat Aceh serta mampu membeli tanah dan membangun hotel di Mekkah. Semestinya pemerintah memiliki kemampuan yang lebih.

Selain mendapatkan uang living cost dari Kementerian Agama sebagaimana jemaah dari provinsi lain, jemaah haji dari Aceh juga akan memperoleh dana tambahan 1.200 SAR (Rp 4.500.000) dari wakaf masyarakat Aceh yang diwakili oleh Habib Bugak Al-Asyi (www.bwi.go.id). Wallahualam.

Aji SofanudinKepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN