Pada setiap masyarakat tersimpan kearifan lokal, kekuatan moral, dan gagasan-gagasan cemerlang, kontekstual dengan dinamika mudik. Penguatan dan dinamisasi tradisi mudik perlu didesain sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh SUDJITO ATMOREDJO
Sebagai media arus utama terkemuka, harian Kompas senantiasa peduli pada fenomena sosial aktual. Contoh konkret, pewartaan perihal tradisi mudik.
Dalam rubrik Lifestyle (10/4/2023) dideskripsikan sejarah mudik. Dilansir dari ugm.ac.id (10/4/2023), dijelaskan oleh seorang antropolog bahwa mudik berasal dari bahasa Melayu, udik, yang artinya ’hulu’ atau ’ujung’.
Awal mula mudik berasal dari tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah urusan mereka selesai di hilir, mereka akan kembali berbondong-bondong pulang ke hulu pada sore harinya.
Kini, mudik jadi istilah yang umum dipakai untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke desa atau kampung halaman. Tradisi ini, khususnya, dipakai bagi Muslim yang merayakan momen Idul Fitri bersama-sama dengan keluarga dan sanak saudara di tanah kelahirannya.
Pesan moral sosial
Hemat saya, mudik sebagai fenomena sosial memang bergerak dinamis. Dinamika berlangsung seiring perkembangan ilmu, teknologi, alat transportasi, dan alat komunikasi. Contoh, ketika masa pandemi Covid-19, tradisi mudik berlangsung secara virtual. Selepas pandemi reda, masyarakat kembali mudik secara fisik. Itulah mudik yang kini tengah berlangsung di negeri ini.
Dari perspektif sosiologi hukum, perlu diberi garis tebal bahwa telah lama tradisi mudik menjadi bagian kehidupan semua umat beragama. Tidak hanya domain Muslim. Tanpa melihat apa pun agamanya, mudik dikemas sebagai tradisi yang sarat dengan kaidah (norma) moral sosial.
Apa artinya? Pertama, rumah tabon (rumah induk) di kampung halaman dimaknai sebagai rumah nilai-nilai (house of values). Keseluruhan nilai-nilai itu dikemas sebagai tuntunan ideal kehidupan bersama.
Di dalamnya terdapat petunjuk dan pedoman, sekaligus tujuan kehidupan, bagi semua anggota trah (kerabat) agar kehidupannya bahagia lahir-batin, material-spiritual, individu-sosialnya.
Kedua, tradisi mudik diisi dengan pul-kumpul (pertemuan trah). Itulah ajang berbagi cerita, bertegur sapa, mempererat silaturahmi.
Di saat itulah para pinisepuh (orang yang dituakan) memberi wejangan ihwal sangkan paraning dumadi (asal-usul kejadian), arah atau kiblat perjalanan, dan ke mana berkesudahan.
Tak lain, dari Tuhan Sang Pencipta dan kelak kembali menghadap ke hadirat-Nya.
FAKHRI FADLURROHMAN
Deretan mobil menunggu giliran untuk masuk ke dalam kapal ferry di Dermaga Eksekutif Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten, Jumat (7/4/2023).
Diingatkan bahwa semua anggota trah yang masih hidup ibarat dalam perjalanan jauh. Perlu bekal cukup. Perlu amalan saleh. Segala amal perbuatan pasti dimintai pertanggungjawaban. Pahala dan dosa ditimbang. Masing-masing diberi tempat sesuai dengan kadar amal perbuatannya.
Untuk mencapai tempat mulia (surga), disyaratkan manusia bersih dari segala noda. Karena itu, kehidupan mesti diisi dengan moralitas (akhlak), baik horizontal (terhadap sesama manusia dan alam lingkungan) maupun akhlak vertikal kepada Tuhan.
Ketiga, tradisi mudik dimaknai sebagai rambu-rambu. Artinya, ketaatan terhadap rambu-rambu kehidupan perlu dijadikan komitmen bersama, baik wujudnya perintah, anjuran, larangan, maupun sanksi (hukuman) bagi pelanggar rambu-rambu tersebut. Rambu-rambu itu wajib untuk diyakini sebagai sarana perwujudan dari kehidupan yang nyaman, aman, dan produktif, sekaligus terjauhkan dari konflik.
Jika anggota trah sedang diberi amanah untuk suatu jabatan publik tertentu—di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lainnya—pengawasan atas amanah dan kinerjanya layak dilakukan oleh keluarga besar trah.
Atas kendali trah, tak sekali-kali dimungkinkan anggota trah berperilaku tercela, jahat, ataupun sesat.
Kearifan lokal
Jika pesan-pesan moral ketika mudik dijadikan sebagai way of life, dapat dibayangkan betapa indahnya pelayanan publik oleh birokrasi, penegakan hukum oleh aparat kepolisian, perawatan pasien oleh rumah sakit, santunan orang kaya terhadap si miskin. Pastilah, tradisi mudik mampu membuahkan kesalehan sosial-kebangsaan yang tinggi.
Pada tataran teoretis ataupun praktis, pada setiap masyarakat tersimpan kearifan lokal, kekuatan moral, dan gagasan-gagasan cemerlang, kontekstual dengan dinamika mudik. Ada ungkapan negara mawa tata, desa mawa cara, artinya kemajemukan tradisi mudik merupakan keniscayaan, dan semestinya didayagunakan secara optimal.
Alangkah indahnya jika semua warga negara dan penyelenggara negara mampu menjabarkan nilai-nilai sosial-religius tradisi mudik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penguatan dan dinamisasi tradisi mudik perlu didesain sesuai dengan perkembangan zaman.
Soal membawa uang tunai ataukah elektronik saat mudik, masyarakat sudah tahu pentingnya inovasi interaksi sosial dan berbagai transaksi uang yang aman. Walau demikian, tetap penting diingatkan karena kejahatan di bidang keuangan kian canggih.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja Migran Indonesia Nuraini (39) disambut haru oleh keluarganya yang menjemput kedatangan pekerja tersebut di Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Senin (17/4/2023). Nuraini berkesempatan mudik setelah empat tahun bekerja di Singapura. Arus mudik para Pekerja Migran Indonesia yang hendak merayakan Lebaran di kampung halaman mulai berlangsung di bandara tersebut.
Last but not least, belajar langsung dari perilaku konkret masyarakat kita ketika mudik beserta masalah yang dihadapi sering ditemukan kearifan sosial yang unik dan membumi. Dulu, kemajemukan kearifan sosial itu telah digali dan dirumuskan para bapak bangsa sebagai dasar falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
Kedewasaan ber-Pancasila dikatakan meningkat apabila tradisi mudik senantiasa dijiwai nilai-nilai Pancasila dan diamalkan oleh komunitas trah masing-masing hingga mewarnai kehidupan berbangsa. Wujudnya berupa perilaku berkarakter sosial-religius.
Selamat menyongsong Idul Fitri 2023 (1444 H).
Sudjito AtmoredjoGuru Besar UGM, Pengajar Sosiologi Hukum