Kasus penyanderaan pilot yang sudah berlangsung sejak 7 Februari lalu merupakan kejahatan serius karena menyasar warga sipil yang merupakan warga negara asing. Pihak yang menyandera seharusnya dihukum.

 

JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro mengingatkan, upaya pembebasan pilot Susi Air Philip Mehrtens yang disandera kelompok kriminal bersenjata atau KKB harus dilakukan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia atau HAM. Jika dibiarkan terus berlarut-larut, penyanderaan juga dianggap justru hanya akan merugikan masyarakat Papua.

Atnike, saat ditemui di Komnas HAM, di Jakarta, Selasa (2/5/2023), mengatakan, kasus penyanderaan pilot yang sudah berlangsung sejak 7 Februari lalu adalah kejahatan serius karena menyasar warga sipil yang merupakan warga negara asing. Pihak yang menyandera seharusnya dihukum. Dalam konteks Papua, proses penegakan hukum tidak bisa dilakukan secara normal, tetapi harus mengutamakan prinsip kehati-hatian dan terukur agar tidak membawa korban sipil maupun prajurit TNI.

”Saat Panglima TNI mengumumkan status siaga tempur untuk operasi pembebasan sandera, Komnas HAM telah meminta pemerintah memastikan prinsip-prinsip HAM di dalam penanganan. Artinya, memberikan prioritas perlindungan pada warga sipil agar tidak menjadi collateral (jaminan) dalam upaya pembebasan sandera,” katanya.

Saat ini, di lokasi penyanderaan memang sedang diterapkan operasi siaga tempur. Komnas HAM berharap langkah keamanan itu bisa dilakukan secara terukur. Artinya, kata Atnike, skala operasinya harus terukur dengan pengerahan pasukan yang cukup sehingga tidak memperluas wilayah konflik. Pasukan cukup diprioritaskan di wilayah yang diobservasi. Jangan sampai justru pasukan yang dikerahkan menjadi tak terbatas.

”Situasi kedaruratan harus dilokalisasi dan ditangani secara profesional,” imbuhnya.

Dia menambahkan, dalam konteks pembebasan pilot yang sudah disandera selama tiga bulan, pemerintah melalui aktor-aktor keamanan memang bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan. Sejauh ini, dari kedua belah pihak belum terlihat ada upaya untuk menyelesaikan masalah sandera dengan jalur negosiasi. Upaya mendorong langkah dialog belum menjadi opsi dari kedua belah pihak.

”Sebelum mendorong upaya dialog atau jalur negosiasi, kedua belah pihak harus dipastikan mau menyelesaikan masalah melalui negosiasi. Jika kedua belah pihak tidak mau bernegosiasi, siapa pun tidak bisa jadi negosiator,” jelasnya.

Jika prasyarat kedua belah pihak mau sama-sama menempuh jalur negosiasi, pihak yang akan menjadi negosiator baru bisa dicari. Negosiator harus disepakati dan mendapatkan kepercayaan dari kedua belah pihak. Selanjutnya, proses negosiasinya harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.

”Transparan itu artinya pihak yang bernegosiasi harus jelas. Jika seseorang harus menjadi fasilitator antara KKB dan pemerintah, mereka juga harus memastikan bahwa bisa membuat keputusan yang bisa dilaksanakan,” imbuhnya.

Komnas HAM berharap baik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) selaku pihak yang melakukan penyanderaan maupun aparat keamanan memiliki pemahaman bersama bahwa penyanderaan pilot Susi Air tidak boleh berlarut-larut. Sebab, jika hal itu dibiarkan, tidak akan membawa dampak kebaikan apa pun bagi masyarakat Papua.

Penyanderaan pilot justru membawa masalah HAM baru, ekonomi, sosial, budaya baru bagi masyarakat Papua. Tidak hanya TPNPB-OPM dan aparat keamanan yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat sipil terdampak. Mereka harus mengungsi. Mereka juga tak bisa mencari nafkah, bersekolah, hingga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan aman.

”Situasi ini sama sekali tidak menguntungkan bagi masyarakat Papua,” lanjutnya.

Minimalkan kekuatan

Sementara itu, Peneliti Politik Keamanan CSIS Nicky Fahrizal sepakat bahwa upaya pembebasan sandera pilot idealnya dilakukan dengan meminimalkan kekuatan militer di Papua. Sebab, masyarakat Papua memang memiliki memori kolektif yang buruk terhadap kehadiran militer. Menurutnya, yang diperlukan justru adalah kekuatan kecil, tetapi mumpuni.

Pasukan kecil ini harus pasukan pilihan yang dibekali dengan pelatihan, persiapan, perlengkapan, dan logistik yang memadai. Jangan sampai pengambil kebijakan terjebak pada paradigma mengirim pasukan dengan kuantitas banyak. Sebab, itu akan menimbulkan kesan operasi militer, bukan operasi pembebasan.

”Saat ini, yang terjadi seolah aktor pemerintahan dan aktor keamanan punya kebijakan masing-masing. Ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada sinkronisasi metode atau cara bertindak yang dipimpin oleh Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan,” ujar Nicky.

Sinkronisasi kebijakan, selain mengatasi ego sektoral antar instansi, lanjutnya, juga bisa menjadi payung kebijakan yang jelas dan terukur. Ketika ada arahan yang jelas di level aktor pemerintahan dan aktor keamanan akan muncul strategi dan operasi yang lebih jelas. Orkestrasi kebijakan dari Presiden penting dilakukan karena setidaknya ada beberapa instansi yang menangani masalah penyanderaan ini, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian Negara RI, dan TNI.

”Ketika ada kebijakan yang holistik dan komprehensif, baru mereka bisa menyusun strategi yang lebih jelas dan terukur. Ini butuh instruksi langsung dari Presiden. Jika ingin mengedepankan dialog, tentu kehadiran militer harus ditekan,” paparnya.