Teliti Memotong Anggaran APA boleh buat, pemangkasan anggaran negara jilid ketiga tak bisa dihindari. Perolehan dari program pengampunan pajak jauh di bawah target. Ditambah lagi, proyeksi penerimaan tak sesuai dengan harapan. Sinyal itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sidang KTT G-20 di Cina, Senin lalu. Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan Indonesia terancam mesti mengurangi lagi pengeluaran, gara-gara target pemasukan dari program pengampunan pajak minim.   Awalnya, pengurangan belanja diputuskan pada akhir Mei, melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Pengendalian dan Pengamanan APBN 2016. Anggaran di 87 kementerian dan lembaga dipangkas Rp 50 triliun. Dua bulan kemudian, pemotongan bujet babak kedua dilakukan saat membahas APBN Perubahan 2016, yakni sebesar Rp 137,6 triliun. Salah satunya, penghematan di kementerian dan lembaga senilai Rp 64,7 triliun.   Pada penghematan babak pertama, pemerintah bisa berapologi bahwa pemangkasan dilakukan terhadap pos-pos kegiatan yang kurang penting. Misalnya perjalanan dinas, seminar, belanja iklan, atau pembangunan gedung baru. Dan pada program efisiensi selanjutnya, sebagian dana transfer ke daerah ditunda. Lalu, pada penghematan tahap ketiga, apa lagi?   Pemerintah harus mensosialisasi langkah ini. Sebab, penghematan tahap ketiga pasti akan berdampak langsung terhadap masyarakat. Saat pelaksanaan program efisiensi yang kedua saja, muncul keresahan di daerah. Bahkan proyek infrastruktur, yang menjadi janji Presiden Jokowi, pun tertunda. Salah satunya adalah kereta Trans Papua, yang semula ditargetkan memulai konstruksi tahun ini.   Kebijakan pemotongan anggaran ini merupakan buah dari perencanaan bujet yang tidak akurat dan tak realistis. Target pendapatan yang digenjot secara ambisius, misalnya, lebih tampak sebagai upaya "menebus dosa" tahun lalu lantaran gagal mencapai target. Saat itu, perolehan pajak hanya sekitar 80 persen dari target Rp 1.489 triliun (APBN-P 2015). Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp 1.546 triliun (APBN 2016), lantas direvisi menjadi Rp 1.539 triliun (APBN-P 2016).   Target pajak tahun lalu saja tidak tercapai. Apalagi meningkatkan target, ketika perekonomian sedang melambat, sungguh tidak realistis. Tapi, ibarat nasi sudah menjadi bubur, angka-angka itu telah sah menjadi undang-undang yang harus dilaksanakan. Karena itu, dalam program pemotongan anggaran yang ketiga nanti, pemerintah harus lebih hati-hati. Pos-pos yang akan dikurangi, atau bahkan dihilangkan, harus diseleksi benar. Yang paling sensitif tentu adalah program subsidi—bahan bakar dan listrik—sehingga harus dipikirkan masak-masak. Demikian pula yang bersentuhan langsung dengan publik, serta proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, waduk, dan saluran irigasi. Masyarakat harus diyakinkan bahwa kebijakan tersebut tidak sepenuhnya merugikan rakyat, melainkan untuk menyelamatkan anggaran negara, demi publik yang lebih luas.