Menlu Jerman Annalena Baerbock mendesak negara-negara untuk menetapkan target waktu penggunaan energi fosil seutuhnya. Meski begitu, di internal pemerintah, Jerman berencana memperpanjang penggunaan BBM sintetis.
Berlin, Rabu — Pemerintah Jerman mendorong negara-negara untuk menetapkan target yang lebih ambisius untuk mengakhiri penggunaan energi fosil seutuhnya dan beralih menggunakan energi baru terbarukan. Target yang lebih ambisius diyakini akan membantu dunia untuk memperlambat laju pemanasan global, membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050.
Berbicara di depan sekitar 40 perwakilan 40 pemerintah dalam Dialog Iklim Petersberg di Berlin, Jerman, Selasa (2/5/2023), Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menyatakan, Jerman mendorong dunia untuk mengambil sikap tegas dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil pada konferensi iklim Dubai, akhir tahun ini dan mendorong secara masif penggunaan teknologi EBT, seperti tenaga surya dan angin.
Pada saat yang sama, dia juga mengakui bahwa tidak semua negara siap untuk mengakhiri penggunaan energi fosil seperti Jerman. “Itu sebabnya mengapa saya ingin membuka diskusi tentang apakah kita harus mencapai target energi terbarukan pada konferensi iklim berikutnya,” kata Baerbock.
Dikutip dari laman Pemerintah Federal Jerman, sejak 1990-an, mereka telah mulai mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 35,7 persen. Di tahun 2019, sebanyak 43 persen listrik yang dihasilkan di seluruh Jerman berasal dari EBT. Pemerintah Jerman juga menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 55 persen pada tahun 2030 dengan mengurangi penggunaan batu bara.
Baca juga : Politik Abu-abu Partai Hijau Jerman
Tidak hanya mengurangi ketergantungan pada batu bara sebagai sumber energi, Pemerintah Jerman juga sempat menargetkan penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar minyak (energi fosil) pada tahun 2030. Hal ini sejalan dengan rencana Uni Eropa yang akan menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar energi fosil pada tahun 2035.
Akan tetapi, akhir Maret lalu, pemerintah Jerman mengubah sikapnya. Pemerintahan Kanselir Olaf Scholz memutuskan untuk mengubah keputusannya soal pelarangan penjualan kendaraan berbahan bakar energi fosil. Mereka memutuskan akan memberikan kelonggaran penjualan kendaraan berbahan bakar energi fosil dengan catatan bahan bakar minyak yang digunakan adalah bahan bakar sintetis atau e-fuel.
Dikutip dari laman CNN, yang dimaksud dengan e-fuels adalah bahan bakar yang diproduksi dengan bahan dasar hidrogen dan karbondioksida yang ditangkap dari atmosfer.
“Kendaraan dengan mesin pembakar dalam (mesin konvensional) masih bisa didaftarkan setelah lewat dari tahun 2035 selama merek menggunakan bahan bakar yang karbon netral, kata Menteri Transportasi Jerman Volker Wissing.
Baca juga : Pakta Iklim Glasgow Tidak Cukup Kuat Menahan Laju Pemanasan Global
Perbedaan sikap di internal Pemerintah Jerman soal pencapaian target pengurangan emisi, tidak hanya membuat UE kebingungan, tapi juga penyelenggara konferensi iklim tahun ini, yaitu Uni Emirat Arab. Usulan yang disampaikan Baerbock membalikkan situasi sebelumnya yang ingin ada kesepakatan soal penetapan batas waktu penghapusan penggunaan bahan bakar fosil, sebuah hal yang ditolak keras negara-negara produsen dan pengekspor minyak dunia.
Bila usulan Baerbock bertentangan dengan keinginan negara-negara produsen minyak utama, usulan Wissing bisa dianggap sejalan dengan keinginan sejumlah negara produsen minyak utama untuk mengenalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Walau, berbagai pandangan menilai bahwa penerapan teknologi ini dalam skala besar tidak akan bisa mengurangi dengan cepat emisi gas rumah kaca. bahkan, dalam skala keekonomian, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture) membutuhkan investasi yang lebih besar dibanding pemanfaatan tenaga surya dan angin.
Usulan Baerbock pun mendapat tanggapan dingin dari Sultan al-Jaber, utusan iklim UEA yang merupakan CEO Abu Dhabi National Oil Co.
“Dalam transisi energi yang pragmatis, adil, dan terkelola dengan baik, kita harus berfokus pada penghapusan emisi bahan bakar fosil secara bertahap, sambil meningkatkan dan meningkatkan alternatif karbon nol yang layak dan terjangkau secara bertahap,” kata Al Jaber.
Baca juga : Hasil COP 26 Mengecewakan
Kepala Strategi Politik Global di Climate Action Network International Harjeet Singh mengatakan bersepakat dengan pandangan Jaber. Meski mendukung penghentian penggunaan energi fosil, dia juga menilai penghentian penggunaan bahan bakar fosil juga memerlukan sikap yang adil, terutama bagi para pekerja di industri batu bara, minyak dan gas.
“Apa yang perlu kita lihat dari COP28 bukan hanya tentang penghentian bahan bakar fosil, tetapi penghentian bahan bakar fosil yang adil,” kata Singh.
Peringatan Soal Iklim
Di tengah diskusi tentang perlu atau tidaknya tenggat waktu penghentian penggunaan energi fosil, ORganisasi Meteorologi Dunia memperingatkan soal fenomena El Nino yang berpotensi memicu kenaikan suhu global dan kemungkinan rekor suhu udara tertinggi dunia.
"Perkembangan El Nino kemungkinan besar akan menyebabkan lonjakan baru pemanasan global dan meningkatkan kemungkinan memecahkan rekor suhu," kata kepala WMO Petteri Taalas dalam sebuah pernyataan. Walau berpotensi terjadi pada pertengahan tahun ini, menurut dia, dampak El Nino baru akan terlihat dan dirasakan pada tahun 2024. (AP/AFP)