Pengembang rumah bersubsidi yang didominasi pengembang kecil dan menengah tidak seluruhnya mampu bertahan dalam situasi sulit. Ketiadaan bank tanah juga menyebabkan pengentasan kekurangan rumah tidak optimal.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI
Pelaksanaan Program Sejuta Rumah memasuki masa sewindu. Tantangan perumahan rakyat hadir silih berganti. Kebutuhan rumah yang terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan keluarga baru dihadapkan pada pasokan rumah yang masih terbatas hingga masalah keterjangkauan.
Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, hingga tahun 2021, terdapat 12,7 juta rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah. Setiap tahun ada penambahan kebutuhan rumah 600.000-700.000 unit seiring bertambahnya keluarga baru.
Program Sejuta Rumah yang digulirkan pada 29 April 2015 merupakan langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi laju penyediaan kebutuhan perumahan. Dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), selama kurun waktu 2015-2022, capaian program sejuta rumah tercatat 7.988.585 unit, dengan peruntukan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah rata-rata 73,5 persen.
Realisasi program sejuta rumah tercatat dicapai pada tahun 2019 sebesar 1.257.852 unit, terdiri dari 945.161 rumah bagi segmen masyarakat berpenghasilan rendah dan 312.691 unit rumah komersial untuk golongan non-berpenghasilan rendah. Adapun capaian Program Sejuta Rumah pada triwulan I (Januari-Maret) 2023 tercatat 183.331 unit, meliputi 140.783 unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan 42.548 unit rumah bagi masyarakat non berpenghasilan rendah.
Sebelumnya, pemerintah juga pernah mencanangkan sejumlah program perumahan rakyat serupa, seperti Program Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) di masa Orde Baru, Program 1.000 Tower periode tahun 2007-2013, dan Program 350.000 Rusunawa Pekerja yang dicanangkan tahun 2009.
Hingga kini, sebagian besar pembangunan perumahan rakyat dipasok oleh pengembang perumahan swasta. Selebihnya, program sejuta rumah digarap oleh Kementerian PUPR, pemerintah daerah, kementerian/lembaga, skema program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), BUMN, serta dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Selain rumah umum, program sejuta rumah juga mencakup rumah susun, rumah khusus, dan rumah swadaya,
Dukungan pemerintah dalam program sejuta rumah antara lain berupa bantuan pembiayaan, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) rumah bersubsidi, subsidi bantuan uang muka rumah sebagai pendamping FLPP, dan subsidi selisih bunga (SSB) bagi segmen masyarakat berpenghasilan rendah. Dari sisi pasokan, penyediaan berupa rumah susun sederhana sewa, rumah khusus, serta bantuan prasarana, sarana, dan utilitas sebagai stimulan bagi pengembang rumah MBR juga digulirkan.
Subsidi pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah merupakan salah satu pilar utama dalam program sejuta rumah. Kebijakan itu menekankan perluasan akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta pasokan hunian, baik berupa rumah susun maupun rumah tapak.
Problem pasokan
Di tengah tuntutan pencapaian program sejuta rumah untuk pemenuhan perumahan rakyat, persoalan kini muncul dari sisi pasokan. Sejumlah pengembang mulai mengerem pembangunan rumah bersubsidi sambil menunggu kejelasan penyesuaian harga rumah.
Dari data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), realisasi penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) per 11 April 2023 tercatat 46.233 unit atau 20,1 persen dari target penyaluran KPR-FLPP tahun ini sebesar 229.000 unit atau senilai Rp 25,18 triliun.
Dukungan pemerintah dalam program sejuta rumah antara lain berupa bantuan pembiayaan, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) rumah bersubsidi, subsidi bantuan uang muka rumah sebagai pendamping FLPP, dan subsidi selisih bunga (SSB) bagi segmen masyarakat berpenghasilan rendah. Dari sisi pasokan, penyediaan berupa rumah susun sederhana sewa, rumah khusus, serta bantuan prasarana, sarana, dan utilitas sebagai stimulan bagi pengembang rumah MBR juga digulirkan.
Subsidi pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah merupakan salah satu pilar utama dalam program sejuta rumah. Kebijakan itu menekankan perluasan akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta pasokan hunian, baik berupa rumah susun maupun rumah tapak.
Problem pasokan
Di tengah tuntutan pencapaian program sejuta rumah untuk pemenuhan perumahan rakyat, persoalan kini muncul dari sisi pasokan. Sejumlah pengembang mulai mengerem pembangunan rumah bersubsidi sambil menunggu kejelasan penyesuaian harga rumah.
Dari data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), realisasi penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) per 11 April 2023 tercatat 46.233 unit atau 20,1 persen dari target penyaluran KPR-FLPP tahun ini sebesar 229.000 unit atau senilai Rp 25,18 triliun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Daniel Djumali mengungkapkan, kendala utama pasokan rumah bersubsidi saat ini yakni hambatan perizinan. Hampir tidak ada kemudahan perizinan bagi pengembang rumah rakyat. Kesulitan perizinan bagi pengembang rumah bersubsidi bahkan dinilai hampir sama dengan rumah komersial.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia atau Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengungkapkan, program pembangunan sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, masih menghadapi banyak hambatan terkait penyediaan tanah, perizinan, dan pembiayaan.
Harga tanah belum bisa dikendalikan, sedangkan harga bahan bangunan, biaya produksi dan upah buruh terus naik. Sejumlah kendala itu mengurangi minat pengembang untuk memasok rumah rakyat, sementara peran BUMN sektor perumahan untuk membangun rumah rakyat tidak signifikan.
Sewindu program sejuta rumah perlu diikuti dengan upaya pemerintah mengevaluasi program perumahan rakyat tersebut. Selain itu, juga dilakukan konsolidasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk pembenahan dan kelangsungan program sejuta rumah ke depan. Kendala lahan untuk perumahan rakyat memerlukan terobosan melalui sinergi reforma agraria guna mengalokasikan lahan untuk perumahan.
”Program sejuta rumah harus dilanjutkan dengan sejumlah pembenahan, serta terobosan untuk mengendalikan harga tanah,” ujar Zulfi.
Pendiri Panangian School of Property, Panangian Simanungkalit, mengemukakan, pembangunan rumah baru yang berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan pengerahan sumber daya konstruksi tecermin dari kredit pemilikan rumah (KPR). Program sejuta rumah yang memasukkan komponen pengadaan rumah swadaya atau rumah renovasi tidak memiliki multiefek seperti halnya pembangunan rumah baru.
Selama ini, pasokan rumah baru didominasi pengembang swasta, sedangkan kontribusi BUMN di sektor perumahan masih sangat minim untuk penyediaan rumah rakyat. Suplai rumah baru dari pengembang rata-rata di kisaran 100.000-200.000 unit per tahun, sehingga kekurangan rumah di Indonesia sulit berkurang signifikan.
Ketiadaan bank tanah juga menyebabkan program pengentasan kekurangan rumah sulit optimal. Pasokan rumah yang mengandalkan pengembang swasta mendorong harga rumah ditentukan pengembang. Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menyelesaikan persoalan perumahan rakyat melalui keberpihakan penyediaan lahan.
”Ketiadaan bank tanah menyebabkan semuanya tergantung pengembang akibatnya harga ditentukan pengembang. Itu tugas pemerintah akan datang,” kata Panangian.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan, kebutuhan rumah tinggal masih sangat besar. Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah mencapai 12,75 juta orang, sedangkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan bersubsidi melalui KPR-FLPP pada tahun 2023 baru 220.000 unit. ”(Penyediaan rumah) Seperti merayap dibawah. Backlog sulit habis dengan kondisi itu,” katanya (Kompas, 12/4/2023).
Di tengah tantangan backlog yang masih besar, terobosan pemerintah dalam mengurai persoalan penyediaan rumah rakyat dan mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar papan terus dinantikan. Bergantinya rezim pemerintahan diharapkan tidak menyurutkan program perumahan rakyat, apapun nama program dan bentuknya.