Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sepertinya masih terus menggema. Beberapa kelompok masyarakat masih terus melakukan unjuk rasa sebagai wujud ketidaksetujuan terhadap UU tersebut. Gelombang penolakan tersebut tidak juga reda ketika pemerintah sudah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU No. 6/ 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Bahkan sebagian masyarakat menilai bahwa penyusunan Perpu tersebut diduga sebagai akal-akal pemerintah untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan adanya perbaikan UU Cipta Kerja dalam rentang waktu 2 tahun. Munculnya Perpu yang kemudian ditetapkan men-jadi UU dalam waktu yang relatif singkat menimbulkan kembali keheranan seka-ligus kekhawatiran yang cukup besar dari sebagian masyarakat. Adanya kondisi kegentingan ekonomi men-jadi dasar pemerintah dan DPR untuk segera menetap-kan Perpu menjadi UU yang menguatkan substansi UU Cipta Kerja sebelumnya yang telah dinyatakan oleh MK cacat secara formil.Namun, menariknya, argu-mentasi kondisi kegentingan tersebut dikeluarkan peme-rintah ketika kondisi ekono-mi sedang berangsur mem-baik dan fundamental eko-nomi Indonesia sudah mulai menguat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir 2022 sudah kembali di atas 5% dan tingkat inflasi sampai dengan Maret 2023 masih tetap terjaga di angka 4,97% (year-on-year). Neraca perdagangan selalu menca-tatkan nilai positif dalam 2 tahun terakhir. Bahkan indeks harga saham gabung-an (IHSG) sudah kembali menggeliat mendekati angka 7.000.Argumentasi kondisi kegentingan yang disampai-kan ketika kondisi ekonomi sedang mengalami pemu-lihan ke kondisi idealnya malah menciptakan kesan adanya arogansi pemerintah dan DPR yang sangat kuat. Pemerintah dan DPR seolah-olah memiliki kepentingan terselubung yang tidak ingin dibahas bersama masyarakat luas. Kondisi inilah yang kemudian menciptakan rumor di tengah masyarakat bahwa UU Cipta Kerja yang baru tersebut hanya memi-hak kelompok pelaku eko-nomi tertentu tanpa melihat kepentingan masyarakat yang lebih luas. Padahal tujuan utama dari disusunnya suatu UU adalah untuk menjaga secara kuat kepentingan nasi-onal dan menciptakan keadil-an sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.Meminjam salah satu teori Manajemen Keuangan Publik yang dikembangkan oleh Schick (2013), dalam proses pembuatan kebijak-an keuangan publik harus melewati tiga tahapan yaitu pengumpulan informasi yang valid, proses pembahasan yang baik dan komprehensif, dan yang terakhir menyusun aturan yang tepat.Pada tahapan pertama, pemerintah bersama DPR harus benar-benar dapat mengumpulkan, mengkla-sifikasikan, serta mengelola informasi yang dibutuhkan dengan baik berdasarkan data yang benar-benar aku-rat. Tidak boleh ada perbe-daan data antar kementerian dan lembaga negara baik secara numerik maupun interpretasi. Perbedaan data akan berujung pada perbeda-an interpretasi, proses, dan pembuatan kebijakan yang tidak tepat. Penyeragaman data ini tentunya memerlu-kan waktu yang tidak seben-tar mengingat selama ini data selalu menjadi masalah krusial yang dihadapi peme-rintah dalam membuat kebi-jakan publik selama ini.Kedua, melakukan proses penyusunan dan pembahasan yang baik dan komprehensif. Pada tahap ini maka peme-rintah bersama DPR harus mampu menyerap berbagai aspirasi dan perdebatan publik sehingga aturan yang nanti dibuat benar-benar menjadi hasil kajian bersama yang ditujukan untuk kepen-tingan bersama. Proses bong-kar pasang rumusan pera-turan serta negosiasi politik akan terjadi pada tahap ini sehingga seharusnya proses ini memerlukan kesabaran dan yang tidak sebentar.Setelah proses tersebut dapat dilalui dengan baik maka peraturan (rules) yang dibuat dapat benar-benar merepresentasikan kepenting-an bersama. Sangat mungkin ada pihak yang akan dirugi-kan karena kepentingannya tidak terakomodir di dalam peraturan yang dibuat. Namun, dengan proses yang telah dibuat tadi, seharusnya para pihak tersebut dapat memahami kenapa kepen-tingan mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam pera-turan yang telah disepakati bersama tersebut.Setelah ada aturan legal yang mengatur seluruh aktivitas ekonomi masyara-kat maka kebijakan publik dapat dibuat dengan baik dan kemungkinan adanya gelombang penolakan besar pun dapat dihindari. Langkah formil ini yang diyakini oleh MK telah absen dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR. Penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja baik jilid pertama mau-pun jilid kedua hanya dila-kukan dalam rentang waktu yang relatif sangat singkat.Ketiga proses yang harus dilalui tadi diselesaikan oleh pemerintah dan DPR hanya dalam waktu beberapa ming-gu kerja. Hal inilah yang kemudian memunculkan gelombang penolakan penge-sahan UU No. 6/2023. Ada baiknya jika pemerintah ber-sama DPR sedikit melangkah ke belakang untuk meleng-kapi beberapa proses yang dianggap hilang tadi sehing-ga dapat memunculkan kem-bali kepercayaan publik ter-hadap UU Cipta Kerja ini. UU Cipta Kerja ini harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pelaku ekonomi dari mulai para pekerja, pelaku industri, lembaga keuangan, sampai kepada pemerintah sebagai regulatornya. Jika keperca-yaan dan penerimaan publik terhadap UU Cipta Kerja ini rendah jangan harap kebijak-an yang terdapat dalam UU Cipta Kerja ini dapat berjalan efektif dan memberikan kon-tribusi positif bagi pereko-nomian nasional yang lebih baik.