Rangkaian pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2023 diselenggarakan pada 8-11 Mei 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Tahun ini Indonesia mendapat giliran menjabat keketuaan ASEAN dengan visi ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. ASEAN matters adalah ASEAN yang semakin relevan dan penting dalam menyikapi dinamika geopolitik dan epicentrum of growth adalah ASEAN sebagai pusat pertumbuhan kawasan dan dunia.
Bukan hal mudah bagi Indonesia untuk mencapai visi tersebut mengingat Indonesia harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang harus dijawab—baik itu yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan internal antara lain menegaskan relevansi ASEAN di mata dunia sebagai salah satu pemain kunci di Kawasan Asia Tenggara; menyelesaikan problem Myanmar yang masih berlarut; menegaskan sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality) di percaturan geopolitik regional dan global; melanjutkan kesepakatan untuk membangun komunitas ASEAN (ASEAN Community); memperkuat kerja sama di bidang kesehatan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (MDGs) sehingga kawasan ini memiliki health resilience system yang kokoh.
Adapun tantangan eksternal yang secara potensial dan aktual pasti memengaruhi dinamika kawasan Asia Tenggara antara lain konflik Laut China Selatan, persaingan AS-China, konflik di Selat Taiwan, konflik di Semenanjung Korea, perang Rusia-Ukraina, perubahan iklim, krisis keuangan global; serta krisis energi dan pangan.
Namun, dari sekian banyak tantangan yang dihadapi ASEAN, ada satu pokok persoalan yang menjadi variabel fundamental dalam menentukan mampu tidaknya Indonesia menghadapi tantangan di hadapannya. Persoalan tersebut adalah terjadinya pergeseran paradigma (shifting paradigm) pada pemimpin negara di dunia dalam menilai perkembangan dinamika lingkungan strategis global dan regional saat ini, di mana hal tersebut menunjukkan satu anomali yang membantah sejumlah aksioma teoretis. Padahal, aksioma teoretis inilah yang selama ini menjadi acuan bagi para ilmuwan dan para pengambil kebijakan untuk menjaga stabilitas perdamaian dunia.
Sebagai contoh, paham neorealis dalam diskursus hubungan internasional meyakini bahwa ketika ketergantungan antarnegara (termasuk AS-China) sudah sangat tinggi, maka kecil kemungkinan satu negara akan melakukan perang total yang pasti akan menyebabkan kerugian semua pihak. Itu sebabnya peningkatan kerja sama antarnegara menjadi penting untuk membuat rasa ketergantungan semakin tinggi. Namun, yang terjadi dengan konflik Rusia-Ukraina mengatakan sebaliknya. Tak perlu diuraikan bagaimana negara-negara di Eropa sangat tinggi ketergantungannya dalam hal energi dan pangan dengan Rusia dan Ukraina, tetapi toh perang tetap pecah tak terkendali.
Selain itu, kaidah teoretis juga memercayai bahwa konflik tidak mungkin meletus di sebuah kawasan strategis sebab ini akan melahirkan keterlibatan banyak kepentingan negara bangsa sehingga sulit dikendalikan dampaknya. Namun, yang terjadi di Suriah dan Ukraina menunjukkan hal sebaliknya. Baik Suriah maupun Ukraina adalah kawasan strategis yang stabilitasnya dibutuhkan semua bangsa. Namun, yang justru terjadi dalam beberapa tahun terakhir, baik Suriah maupun Ukraina, justru menjadi teater perang dunia yang menghadirkan drama persaingan sejumlah negara adidaya dan kelompok perlawanan yang berskala global.
Paham konservatif
Sejumlah anomali yang tergambar tersebut, mengajak kita semua untuk kembali memercayai cara pandang konservatif dalam memahami manusia dan dunia yang dihuninya. Teori-teori konservatif didasarkan kepada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasi oleh nurani dan impuls yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitif (Maurice Duverger: 2003). Itu sebabnya, sosiologi politik memercayai bahwa solusi untuk meredam kebuasan primitif manusia itu adalah dengan menegakkan hukum seadil-adilnya di masyarakat.
Dalam konteks hubungan internasional, pascatragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang melahirkan kerugian tak terhitung di seluruh penjuru dunia, para pemimpin negara bangsa memulai upaya membangun konstruksi hukum internasional berdasarkan perjanjian yang adil antarnegara-bangsa. Maka, kita menyaksikan kemudian—meski secara perlahan—umat manusia mulai percaya kepada hukum internasional dan memulai optimisme akan sebuah tatanan dunia yang berlandaskan kepada peradamaian abadi dan keadilan sosial. Dan ASEAN adalah salah satu obyektifikasi, sekaligus contoh terbaik, dari optimisme tersebut.
Namun, dinamika hubungan internasional yang terjadi dalam satu dekade terakhir, seolah membalikkan semua upaya yang sudah dirintis umat manusia itu. Di mana ide-ide tentang nasionalisme dan realisme hubungan internasional yang menjadi ciri utama paham konservatif—kembali muncul ke permukaan dan mereduksi paham pluralisme, multikulturalisme, dan globalisme yang sudah sejak lama dibangun bersama oleh pemimpin bangsa-bangsa di dunia.
Kembalinya paham konservatif ke panggung politik dunia ini bukan isapan jempol. Anthony Giddens dalam karyanya berjudul ”Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics” menyatakan bahwa konservatisme saat ini sudah sangat berbeda dengan selama ini kita kenal. Mereka sudah jauh lebih progresif bahkan radikal.
Konservatisme yang sekarang justru sudah meninggalkan tradisinya dan berbalik menggugat tradisi itu sendiri. Bahkan, konservatisme ini sangat membela ekonomi kapitalis dan pasar yang selama ini menjadi musuhnya. Bahkan bisa dikatakan, saat ini jalur politik radikal sudah tidak lagi dimotori oleh kelompok sosialis, tetapi justru konservatif (Anthony Giddens: 2012).
Namun, meski sudah lebih radikal, kerangka dasar pemikiran kelompok konservatif tidak hilang. Sebaliknya, justru fundamen-fundamen ini yang menstimulus progresivitas gerakan konservatisme di seluruh dunia. Mereka percaya bahwa sistem dunia bersifat anarki dan menegasikan hukum internasional.
Sistem dunia yang anarki menuntut sebuah negara untuk mencapai kekuatan maksimal agar bisa menjaga dirinya dari berbagai risiko ancaman. Karena itu, fokusnya adalah bagaimana cara membangun sistem pertahanan diri (self-help) agar sebuah negara dapat tetap bertahan hidup (survival). Pada ujungnya, sebagaimana sejarah mencatat, paham seperti ini akan berakhir pada dilema keamanan (security dilemma) dan mengeraskan fregmentasi antarnegara.
Inilah peta gagasan yang sedang dihadapi Indonesia pada keketuaannya di ASEAN saat ini. Bukan untuk sekadar meredam kecenderungan primitif negara-negara adidaya yang tarung di sekitar kawasan ini, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan umat manusia terhadap cita-cita perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam kerangka itu, ASEAN dalam dirinya adalah model ideal yang secara gamblang menjelaskan bahwa kerja sama, kebebasan, dan hidup saling menghormati antarnegara bangsa sebuah hal yang mungkin dilakukan. Sejak awal kelahirannya di tahun 1967, ASEAN bukanlah sebuah organisasi internasional yang memenuhi standar kaidah umum keorganisasian. Namun, melalui asosiasi ini, founding fathers ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerja sama nonpolitik, dengan tujuan menjadikan Asia Tenggara sebagai ”zone of peace, freedom, and neutrality”.
Apabila dinilai dari konteksnya 55 tahun lalu, di mana Asia Tenggara, khususnya Indochina (Vietnam, Kamboja, dan Laos), menjadi teater Perang Dingin, skema kerja sama seperti ini tentu saja terdengar janggal. Karena itu, wajar apabila selama berdirinya, skema kerja sama ASEAN tersebut kerap menuai kritik dari para pemangku kebijakan dan juga ilmuwan hubungan internasional.
Namun, siapa yang biasa membantah fakta, bahwa dari sekian banyak kawasan di dunia, hanya kawasan Asia Tenggara yang dalam 55 tahun terakhir tetap stabil dan menjadi ”ekosistem perdamaian” paling kondusif. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh 10 negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh penduduk dunia yang tinggal di wilayah sekitar Asia Tenggara.
Di atas rezim perdamaian ini, lebih dari 50 persen komoditas perdagangan global bergerak dengan nyaman dan aman di jalur lalu lintas antarbenua. Di atas rezim yang sama, miliaran manusia bisa menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan pasca-Perang Dingin.
Ratusan forum dan dialog yang dilangsungkan ASEAN setiap tahun, dengan multitopik dan isu yang berbeda, telah menjadi ”learning process” bagi setiap negara anggota ASEAN untuk membangun kesepahaman bersama (collective meaning) sehingga melahirkan keselarasan intensi di antara mereka. Disadari atau tidak, 55 tahun kerja sama negara-negara ASEAN adalah sebuah kerja nyata yang menjadi lesson learn bagian semua bangsa, bahwa hidup berdampingan secara damai itu mungkin dan menjadi sebuah kepastian sejarah.
Lagi pula, setelah bencana pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, kita semua menyaksikan bahwa wajah ancaman yang kini kita hadapi sudah berbeda sama sekali. Di mana musuh besar sebuah negara sebenarnya bukanlah negara lain, melainkan sesuatu yang melampaui dirinya (beyond state); seperti masalah perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, krisis energi, krisis pangan, dan masalah penyakit menular.
Terbukti, di tengah situasi seperti ini, senjata sebesar apa pun dan unilateralisme tidak berdaya. Ini sebuah isyarat jelas bahwa perang adalah artefak peradaban yang sudah selayaknya dimasukkan ke dalam museum peradaban umat manusia. Dalam kerangka itu, kita optimistis bahwa keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 ini akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Semoga.
Wim Tohari Daniealdi, Dosen di Jurusan Hubungan Internasional UNIKOM, Bandung