Isu Myanmar dan Indo-Pasifik tantangan utama yang dihadapi ASEAN. Sejauh ini ASEAN, Indonesia pada khususnya terus berusaha mencari jalan keluar bagi isu Myanmar. Hal itu berimplikasi besar bagi stabilitas Indo-Pasifik.

Oleh TRIAS KUNCAHYONO

Ketika para pemimpin ASEAN menggelar KTT ke-42 di Labuan Bajo, NTT, setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi ASEAN, khususnya Indonesia yang saat ini memegang keketuaan ASEAN. Kedua tantangan itu terkait dengan isu Myanmar dan Indo-Pasifik.

Tentu, di luar tantangan itu, ada agenda bahasan lain, seperti pemantapan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, resiliensi ekonomi agar ASEAN tetap menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi, soal religious networking, mata uang lokal dalam transaksi, soal ekosistem, dan memperkuat kerja sama.

Kedua tantangan itu akan bisa menjadi perintang bagi terwujudnya ASEAN, yang seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, ”stabil dan damai, sebuah episentrum bagi stabilitas global, yang menjadi kawasan bermartabat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan demokrasi”. Dengan demikian, ASEAN tetap penting, relevan, dapat memegang kesatuannya supaya dapat memegang sentralitasnya dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Tantangan pertama adalah bagaimana krisis politik, krisis kemanusiaan di Myanmar bisa diselesaikan sehingga ASEAN bisa fokus mempercepat community building. Selama ini masalah Myanmar telah menyandera ASEAN, meski krisis Myanmar merupakan isu lama, yakni sejak militer (Tatmadaw) mengambil alih kekuasaan sipil lewat kudeta militer 1962 di bawah pimpinan Jenderal Ne Win. Junta militer menggantikan demokrasi perwakilan dan berkuasa selama 26 tahun kemudian.

Pada 1988, militer menggunakan kekerasan untuk meredam pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan militer. Aksi militer itu menewaskan sedikitnya tiga ribu orang dan menyebabkan ribuan orang lain mengungsi. Dua tahun kemudian, 1990, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi pemilu, tetapi kemenangan itu tak diakui militer yang kemudian justru merebut kekuasaan.

Militer berkuasa selama 25 tahun hingga NLD memenangi pemilu lagi di 2015; hanya diselingi pemerintahan sipil sebentar. Untuk sesaat, rakyat Myanmar menikmati kelonggaran, sampai pada 1 Februari 2021, militer di bawah pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing melakukan kudeta militer.

Tindakan tak konstitusional itu dilakukan setelah partai proksi militer, Union Solidarity and Development Party (Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan/USDP), kalah telak dari NLD pada Pemilu 2020. NLD merebut 396 kursi (83 persen) dari 476 kursi parlemen yang diperebutkan, sementara USDP hanya mendapatkan 33 kursi.

Kemenangan NLD tidak bisa diterima junta militer. Apalagi, Aung Hlaing tak menyukai Suu Kyi. Ada persaingan di antara keduanya sejak 2015 meskipun alasan yang dikemukakan adalah untuk membela konstitusi. Berdasarkan ketentuan konstitusi Bab 417, deklarasi keadaan darurat selama satu tahun dimungkinkan jika ada ancaman yang ”dapat menghancurkan persatuan atau menghancurkan solidaritas nasional atau yang dapat menyebabkan hilangnya kedaulatan” (Gregory B Poling dan Simon Tran Hudes, 2021).

Junta—secara resmi disebut Dewan Administrasi Negara—menahan dan mendakwa pemimpin sipil de facto Aung San Suu Kyi, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya. Suu Kyi dan anggota parlemen dari partainya, dan partai lain, banyak aktivis, dikenai tahanan rumah.

Kedua, ASEAN terletak di pusat kawasan dinamis, Indo-Pasifik, sebuah kawasan yang saat ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Indo-Pasifik menjadi wilayah yang paling diperebutkan di dunia, khususnya antara AS dan China. Bukan Timur Tengah atau Eropa yang sudah merupakan masa lalu. Di kawasan itu juga akan muncul ketegangan manakala terjadi perbenturan kepentingan antara kekuatan-kekuatan besar dan menengah.

Oleh karena itu, keamanan dan kemakmuran global bergantung pada bagaimana mengelola ketegangan di kawasan. Banyak negara telah menyusun strategi Indo-Pasifik, tetapi karena seba- gian besar dibangun untuk mengantisipasi kemungkinan konflik, pembangunan militer yang kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir telah memicu ketegangan. Maka, tekad ASEAN menjaga kawasan Indo-Pasifik tetap damai, stabil, dan sejahtera di tengah pertarungan kekuatan besar: AS dan China.

Tidak mudah

Sejak kudeta 2021, Myanmar telah menempatkan ASEAN pada posisi yang sangat sulit. Padahal, kata Presiden Jokowi, ASEAN ”perlu menjadi kawasan bermartabat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan demokrasi”. Namun, yang dilakukan rezim militer di Myanmar bertentangan dengan tekad ASEAN itu.

Hal itu karena prinsip yang dipegang teguh ASEAN, yakni non-interference, setiap negara setuju tak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Bisa jadi, penguasa militer di Myanmar ”menyalahgunakan” dengan ”memanfaatkan” sebesar-besarnya prinsip itu dengan tetap membunuh demokrasi, melanggar HAM, misalnya.

Laporan Human Right Watch, World Report 2023, menjelaskan hal itu. Sejak kudeta pada 1 Februari 2021, militer Myanmar menumpas secara brutal siapa saja yang menentang kekuasaannya. Militer melakukan pembunuhan massal, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan pelanggaran lain yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kebebasan berbicara dan berkumpul dibatasi secara ketat. Menurut laporan UN Human Rights Office 3 Maret 2023, dari 1 Februari 2022 hingga 31 Januari 2023, jumlah korban tewas di tangan tentara paling tidak 2.940 orang dan 17.572 orang ditahan. Hampir 80 persen dari 330 kota di negeri itu terdampak akibat bentrokan bersenjata.

Militer sangat berkuasa. Itu persoalan pertama dan utama Myanmar. Mereka menikmati kekuasaan sejak negara itu lahir 1948. Karena itu, sejarawan Myanmar, Thant Myint-U (2019), menulis, ”Negara modern Burma lahir sebagai ’sandera’ militer”. Setelah periode kuasi-demokrasi yang singkat, militer dipimpin oleh Jenderal Ne Win menguasai Burma melalui kudeta pada 1962.

Setelah kudeta, militer segera melarang semua partai oposisi dan menasionalisasi industri dan bisnis utama negara tersebut. Mereka berkuasa hingga kini, dan memandang dirinya sendiri sebagai penjaga persatuan nasional.

Masyarakat yang terpecah-pecah. Itu persoalan kedua. Kata sejarawan Myanmar, Kyaw Thet, integrasi politik merupakan persoalan besar, yang tak pernah terselesaikan dan permusuhan antaretnik dipicu rezim militer yang terobsesi dengan bentuk persatuan nasional dengan menepikan dominasi etnik Bamar (etnik mayoritas). Bagi etnik minoritas, persatuan nasional berarti penyerahan paksa di bawah dominasi Burma (Billy Ford; Ye Myo Hein, 2022).

Saat ini, menurut Ethnic Groups of Myanmar: An Ethnological Guide to Burmese Tribes (2020), jumlah penduduk Myanmar sekitar 55 juta jiwa. Dari jumlah itu, 68 persen adalah kelompok etnis Bamar atau Burman. Myanmar memiliki 135 kelompok etnis, yang berbicara dalam 100 dialek dan bahasa berbeda.

Selama lebih dari 60 tahun terakhir, banyak kelompok etnis minoritas yang berjuang untuk memerdekakan diri, lepas dari Myanmar. Mereka juga menuntut hak mereka atas tata kelola lahan dan sumber daya, pendidikan, serta mempersoalkan dominasi etnik mayoritas Bamar. Namun, tindakan militer yang kian brutal setelah kudeta 2021 telah memicu kebangkitan mayoritas Bamar, yang solider terhadap kaum minoritas. Mereka memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata untuk melawan militer.

Persoalan di Myanmar menjadi lebih rumit karena masuknya tangan-tangan asing dalam berbagai bentuk dan kepentingan. Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar—China, India, Bangladesh, Laos, Thailand—dan Rusia serta jaringan kejahatan internasional (Myanmar Study Group, 1 Februari 2022) dengan kepentingan masing-masing mencelupkan tangannya ke Myanmar. Lokasi Myanmar menjadikannya titik strategis untuk China’s Belt and Road Initiative (menjadi ”pintu belakang” China ke Samudra Hindia), tetapi juga ke koridor India ke Laut China Selatan (LCS).

China memiliki kepentingan ekonomi di Myanmar. Gas alam dari Myanmar dapat membantu China mengurangi ketergantungannya pada impor dari Australia, misalnya. Akses ke Samudra Hindia akan memungkinkan China mengimpor gas dan minyak dari Timur Tengah, Afrika, dan Venezuela tanpa kapal harus melewati perairan LCS ke pelabuhan China. Itu baru China, belum India, Thailand, dan Rusia.

Myanmar juga menjadi sasaran produsen senjata. Menurut laporan Special Advesory Council for Myanmar (16 Januari 2023), selama ini Myanmar memproduksi senjata sendiri. Hal itu terjadi karena Direktorat Industri Pertahanan (DDI) militer Myanmar memperoleh bahan-bahan mentah, teknologi dan know-how, entah itu berlisensi atau tidak, dari sejumlah perusahaan di sejumlah negara. DDI bekerja sama dengan termasuk perusahaan negara (misalnya, China North Industries Group Corporation Limited/NORINCO), Italia, Jerman, Singapura, Israel, Korea Selatan, Korea Utara, China, dan Ukraina.

Tak bisa cepat

Rumitnya kondisi di lapangan dan kuatnya posisi militer mendorong pada satu kesimpulan sementara, tidak ada solusi cepat untuk menyelesaikan krisis politik, militer, dan kemanusiaan yang sudah berlangsung tujuh setengah dekade ini. Ada ketidakseimbangan antara militer yang berkuasa dan kelompok perlawanan bersenjata, memang.

Akan tetapi, itu pun tak jadi jaminan cepatnya tercapai penyelesaian; meski ada pula kelompok-kelompok bersenjata yang bisa dirangkul militer. Yang terjadi, negara itu hanya ”kembali ke jalur sebelum 2010 (di tangan militer) setelah menyimpang selama satu dekade”.

Dengan demikian, lebih banyak ketidakstabilan dan kekacauan internal, ekonomi muram bahkan gelap berkepanjangan, yang terjadi. Dan, ke depan, Myanmar akan kian bergantung pada China dan Rusia. Pengalaman membuktikan, pengucilan terhadap Myanmar selalu gagal. Kata Kishore Mahbubani (2011), AS dan Uni Eropa mengisolasi Myanmar dua dekade, tak memberikan hasil, kecuali militer kian kuat. Sebaliknya, ikut melibatkan dan terlibat dengan masyarakat Myanmar justru bisa membawanya pada perubahan.

Maka itulah yang dilakukan Indonesia, pada khususnya, dan ASEAN, pada umumnya. Indonesia, kata Menlu Retno Marsudi, banyak membuka engagement (komunikasi dua arah) seluas mungkin agar bisa mendengarkan pandangan mereka dan mencoba menjembatani perbedaan-perbedaan posisi yang ada. Indonesia melakukan komunikasi dengan pihak militer Myanmar, dengan National Unity Government of Myanmar (NUG), ataupun kelompok-kelompok etnis bersenjata serta dengan beberapa partai politik yang ada di sana.

Barangkali ini yang perlu semakin disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN saat KTT—termasuk negara-negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Lalu, diperkuat dan diperluas, serta lebih intensif. Pendek kata, ASEAN bukan hanya perlu, melainkan harus bersatu sikap, hati, dan langkah dalam usaha menyelesaikan masalah Myanmar, tak berjalan sendiri-sendiri. ASEAN juga harus memastikan Myanmar benar- benar menaati dan menjalankan Lima Butir Konsensus yang telah disepakati.

Selama ini ada kesan Myanmar ”mengejek” isi dan semangat perjanjian (Lima Butir Kesepakatan). Misalnya, menindak tegas bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan terhadap kelompok perlawanan dan tak memperlakukan mereka sebagai mitra dialog sah.

Pernyataan junta militer bahwa mereka akan menerapkan Lima Butir Konsensus setelah mengalahkan ”teroris” (kelompok perlawanan bersenjata) dan memulihkan ”stabilitas” negara sama saja dengan pengakuan bahwa mereka tidak, dan tidak akan pernah, bersedia untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Nasib Myanmar memiliki implikasi besar bagi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Trias KuncahyonoWartawan Senior