Materi Tersebar di Lingkungan Pendidikan Seksualitas Ditempuh Lewat Diskusi Orangtua-Anak   JAKARTA, KOMPAS — Paparan pornografi terhadap anak-anak tidak hanya berlangsung lewat internet, tetapi juga lewat kehidupan nyata sehari-hari. Bahkan, anak-anak mengenal pornografi pertama-tama justru dari tontonan, bacaan, hingga candaan orang dewasa. "Anak-anak tidak serta-merta bisa mengakses materi pornografi secara daring (dalam jaringan). Keinginan itu timbul akibat timbunan memori yang didapat sedari kecil," ucap psikolog seksual Baby Jim Aditya, ketika ditemui di Jakarta, Selasa (7/6). Materi ini dipapar tanpa sadar oleh orangtua kepada anak. Baby menjelaskan, ketika bercanda di media sosial dengan sesama orang dewasa, orangtua sering saling mengirim meme, foto, atau video yang bersifat pornografi. Menurut dia, berdasarkan pengakuan klien anak-anak yang ditanganinya, mereka berada di sebelah orangtua saat foto atau meme itu muncul di gawai. Anak-anak juga terpapar pornografi ketika secara tak sengaja melihat gambar-gambar yang tersimpan di gawai milik orangtua. Hal ini terjadi karena orangtua tidak menghapus materi pornografi di gawai. "Anak tidak segera bereaksi. Namun, materi tersebut terpendam di dalam ingatan selamanya," ucap Baby. Menurut dia, seiring berjalannya waktu, anak berkembang secara fisik dan mental. Mereka pun semakin terpapar dengan berbagai hal yang bersifat seksis. Situasi ini bisa memicu anak- anak untuk menggali ingatan pada materi pornografi di benak mereka. "Ketika keinginan itu muncul, ia mencari konten pornografi. Hal pertama yang ia coba ialah gawai di sekitarnya," ujar Baby. Secara terpisah, Ryan Syakur dari bagian advokasi dan humas Persatuan Keluarga Berencana Indonesia Pusat mengatakan, sumber pertama pornografi bagi anak adalah koleksi milik orangtua. Bentuknya bisa berupa film, majalah, tulisan, hingga gambar. "Dari siswa-siswa SMA yang diteliti, mereka semua menyebut orangtua tidak cermat dalam menyimpan materi pornografi," kata Ryan yang pernah meneliti akses anak terhadap pornografi. Materi pornografi lalu disebar dengan mudah di media sosial sehingga akses anak terhadapnya dilakukan di antara sesama pengguna medsos atau tidak lagi melalui situs dewasa. Korban sekaligus pelaku Paparan pornografi terhadap anak juga terjadi karena lingkungan sekitar cenderung tidak mendukung perlindungan pada mereka. Orang dewasa di sekitar anak, misalnya, sering mengutarakan lelucon yang bersifat merendahkan perempuan. "Orangtua secara tidak sadar membuat lawakan seksis kepada anak laki-laki," ujar Baby. Bentuk lelucon itu antara lain pernyataan seorang ayah bahwa ketika seusia anaknya, ia memiliki banyak pacar. "Laki-laki dewasa malah meremehkan adik, anak, ataupun keponakan laki-laki yang belum memiliki pengalaman mengeksploitasi perempuan," tutur Baby. Lawakan ini kemudian menjadi hal lumrah diutarakan di kelompok pergaulan anak laki-laki. Alhasil, terbentuk pola pikir mereka mengenai tubuh sendiri ataupun ketubuhan perempuan. Pemahaman semacam itu pula yang membuat anak menjadi korban sekaligus pelaku pornografi. Berdasarkan riset Ryan, siswa SMA gemar mengunggah foto ataupun video saat bermesraan dengan pasangan. Konten ini sangat populer di kalangan anak dan remaja. Maka, muncul pemikiran bahwa berpacaran lazim dilakukan sambil beradegan mesra dan mempertontonkannya kepada kawan sebaya sebagai bentuk aktualisasi diri. "Hal ini juga didukung tidak adanya kesadaran orangtua dan guru memberikan pendidikan seksualitas untuk menyikapi perubahan hormon dan pemikiran anak," ujar Ryan. Baby menekankan pula pentingnya komunikasi antara orangtua dan anak. Komunikasi diwujudkan tidak dalam bentuk menakut-nakuti anak, tetapi pada diskusi dan pemberian pemahaman. Diskusi lebih efektif apabila menggunakan perspektif lawan jenis, yakni ayah mendidik anak perempuan, sementara ibu mengajarkan anak laki-laki. "Ayah yang pernah menjadi anak dan remaja laki-laki menceritakan pengalamannya kepada anak perempuannya sehingga putrinya memahami dinamika hubungan dengan lawan jenis dan bisa menjaga diri," tuturnya. (DNE)