PENGAMAT Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adriana Elisabeth menegaskan, perlu ada tindakan tegas dari pihak TNI terkait kasus jual beli senjata api dan amunisi yang dilakukan oknum anggota TNI kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua. 

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa mengungkap, sejak tahun 2022 ada 24 kasus jual beli senjata dan amunisi yang dilakukan oknum anggota TNI kepada KKB Papua.

"Berdasarkan aturan di institusi TNI, kalau terbukti terlibat atau menjadi pelaku harus dihukum berat. Hukuman ini harus menimbulkan efek jera dan ancaman bagi anggota TNI yang lain agar tidak berbuat hal seperti itu. Termasuk hukuman pemecatan," tegas Adriana dalam keterangannya, Kamis (18/5).

Tak hanya itu, Adriana juga meminta kepada TNI untuk dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya dalam menyelidiki kasus ini, agar kemudian praktik jual beli senjata tersebut dapat berhenti.

"Lebih dari itu, karena jaringan jual beli senjata api ilegal ini melibatkan aktor lain termasuk pemasok dan perantara, maka penanganan masalah ini harus bersifat lintas lembaga," terang Adriana.

Dijelaskan Adriana, berdasarkan penelitian Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) pada 2022 lalu, sejumlah wilayah telah menjadi tempat perdagangan senjata api dan amunisi di Papua yakni Nabire, Timika, Wamena, Jayapura, Biak, Serui, Merauke, Nduga, Pegunungan Bintang, Sorong dan Manokwari.

Nabire menjadi tempat transaksi utama, hal ini dikarenakan permintaan senjata api dan amunisi yang tinggi di sekitar wilayah pegunungan, bertemu dengan banyaknya jaringan dan jalur yang tersedia, ditambah lagi fasilitasi pengaman di bandara dan pelabuhan yang tidak memadai.

Adriana mengatakan, dengan harga penjualan senjata dan amunisi yang cukup tinggi, hal itulah yang kemudian  menggiurkan banyak pihak termasuk oknum anggota TNI melakukan praktik jual beli senjata api.

"Motif paling praktis adalah karena keuntungan finansial yang diperoleh dengan cepat atau mudah," jelas Adriana.

"Keuntungan finansial bukan hanya diperlukan karena kekurangan (pendapatan),  tapi lingkaran bisnis di wilayah konflik seperti ini bisa langgeng karena ada supply dan demand," ujarnya.

DPR Panggil Panglima TNI

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengusulkan untuk memanggil Panglima TNI guna membahas praktik jual beli senjata dan amunisi, khususnya di Kodam XVII/Cenderawasih. Menurutnya, kasus ini layak menjadi perhatian supaya segera diambil langkah pencegahan dan penindakan yang efektif

"Kami ingin angkat ini di rapat internal terlebih dahulu pekan depan supaya masuk agenda rapat dengan Panglima TNI. Soal ini amat serius dan kami di DPR tentu ingin mendengar penjelasan utuh dari Panglima TNI terkait informasi yang selama ini beredar," ungkap Christina dalam keterangan resminya.

Dirinya meyakini masih banyak informasi lain yang perlu digali dengan Panglima TNI menyangkut hal ini. Selain itu, dia melihat tidak hanya jumlah pelanggaran dan tindakan hukum yang perlu diambil tetapi bagaimana pola, aktor, lokasi atau hal detail lain terkait ini.

"Kalau kemarin Pangdam bicara soal harga 1 butir peluru dijual Rp200.000 dan bisa naik hingga Rp300.000, bagaimana dengan senjata? Pasti lebih mahal lagi dan makin menggiurkan. Nah informasi seperti ini akan kita klarifikasi. Kita tidak ingin soal amat krusial ini berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan penyelesaiannya," tukasnya.

Dia pun mengapresiasi atas keterbukaan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa terkait hal ini. Menurutnya praktik ini harus dapat disetop.

"Kami apresiasi ada keterbukaan dari TNI mengenai hal ini yang tentu mempermudah jalan untuk segera menghentikan praktik amat sangat tidak manusiawi ini. Karena sama saja dengan memberi jalan membunuh sesama prajurit TNI dan meneror masyarakat sipil," ucap Christina. (Z-9)