Program pembangunan rumah bersubsidi mulai ditinggalkan pengembang. Pengembang meminta solusi pemerintah untuk kenaikan harga patokan rumah bersubsidi.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Pengembang berharap segera ada solusi kebijakan di tengah kesulitan membangun rumah bersubsidi. Pasokan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah terkendala kenaikan biaya produksi, sedangkan patokan harga jual rumah tidak mengalami penyesuaian selama 3,5 tahun terakhir.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengemukakan, tidak adanya kepastian kenaikan harga patokan rumah bersusdi menjadi dilema pengembang dalam memasok rumah bersubsidi. Selama pandemi Covid-19, pengembang terus memasok rumah bersubsidi di tengah peningkatan harga material dan lahan meskipun harga jual rumah tidak naik.

”Setelah situasi Covid-19 berlalu dan mulai perbaikan (ekonomi), keprihatinan pengembang rumah bersubsidi sudah sulit ditahan karena kondisi harga material naik terus dan harga tanah yang tidak bisa dikendalikan,” ujar Junaidi, Senin (22/5/2023).

Pemerintah tahun ini menargetkan penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR FLPP) sebesar 229.000 unit atau senilai Rp 25,18 triliun. Target itu lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu sejumlah 220.000 unit.

Menurut Junaidi, selama ini pengembang menjadi pemasok utama rumah bersubsidi dalam program sejuta rumah. Namun, setahun terakhir, orientasi pengembang bergeser akibat janji pemerintah untuk menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) terkait kenaikan harga patokan rumah bersubsidi tidak kunjung terealisasi. Sebagian pengembang mulai beralih dan meninggalkan proyek rumah bersubsidi dengan alasan sulit menutup kenaikan biaya produksi.

Apersi menargetkan pasokan rumah bersubsidi rata-rata 162.000 unit per tahun, sedangkan rumah komersial sekitar 19.000 unit. Akan tetapi, tahun lalu pasokan rumah bersubsidi hanya terealisasi 70 persen atau sekitar 110.000 unit, sedangkan rumah komersial bertambah mencapai 46.000 unit. Berkurangnya realisasi rumah bersubsidi dan bertambahnya pasokan rumah komersial mengindikasikan adanya peralihan orientasi dari rumah bersubsidi ke rumah komersial.

”Rumah subsidi dipoles, dinaikkan kualitasnya menjadi rumah komersial. Efeknya berimbas ke masyarakat berpenghasilan rendah terkait harga, pajak, dan angsuran rumah yang semakin besar harus ditanggung konsumen,” ujar Junaidi.

Selama ini, konsumen rumah bersubsidi mendapatkan subsidi berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 11 persen, potongan pajak penghasilan (PPh) final dari 2,5 persen menjadi 1 persen. Dengan kenaikan harga rumah, beban pajak yang ditanggung konsumen bakal bertambah 12,5 persen dari harga rumah.

Kenaikan berkala

Junaidi menambahkan, pemerintah perlu segera menerbitkan aturan penyesuaian kenaikan harga patokan rumah bersubsidi serta merumuskan kebijakan baru yang mendukung kenaikan harga patokan rumah secara berkala setiap tahun mengikuti kenaikan inflasi.

”Dibutuhkan keseriusan pemerintah agar industri properti tidak terimbas. Pemerintah harus menyeimbangkan kepentingan pemerintah, masyarakat, pengembang, dan perbankan,” katanya.

Di lain pihak, langkah sejumlah pengembang menyiasati penyediaan rumah sederhana yang terjangkau, meski bukan rumah bersubsidi, dinilai perlu didukung oleh skema pembiayaan murah oleh perbankan. Hal ini untuk mencegah tersendatnya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat.

Perbankan diharapkan menyediakan opsi suku bunga KPR yang murah dan kompetitif dengan KPR bersubsidi. Hal itu dinilai sebagai solusi untuk menyediakan rumah yang lebih terjangkau, termasuk untuk masyarakat berpenghasilan tanggung.

”Itu solusi terbaik. Kita enggak mau dengar pengembang menghentikan produksi. Harus ada kreativitas developer dan perbankan untuk pemenuhan kebutuhan rumah,” katanya.

Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Haryo Bekti Martoyoedo, akhir pekan lalu, mengemukakan, peraturan menteri keuangan terkait penyesuaian harga rumah bersubsidi kini dalam tahap final. ”Proses sedang di kementerian keuangan untuk paraf dirjen, sekretaris jenderal, dan wakil menteri sebelum ditandatangani menteri keuangan. Berharap bisa cepat,” kata Haryo dalam pesan tertulis.

Kualitas hunian

Secara terpisah, menurut Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia Paulus Totok Lusida, tingkat kekurangan rumah di Indonesia masih tinggi. Sementara itu, belum ada kepastian terkait kenaikan harga patokan rumah bersubsidi. Pengembang semakin tergerus dari sisi permodalan karena biaya produksi terus meningkat.

”Ibarat sekarang berlaku hukum alam, (pengembang) yang tidak kuat (modal) akan sulit bertahan. Kami terus berupaya mempertahankan kualitas rumah, tetapi tetap ada hitung-hitungan terkait biaya. Ada harga, ada kualitas,” ujarnya.

Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja menyoroti penurunan suplai rumah bersubsidi. Di tengah tertundanya penerbitan PMK patokan baru harga rumah bersubsidi, pemerintah meminta pengembang menandatangani pakta perjanjian peningkatan kualitas rumah bersubsidi.

Pengembang berupaya terus meningkatkan kualitas rumah bersubsidi sesuai dengan harga jual. Namun, banyaknya aturan perizinan dan tertundanya penyesuaian harga patokan telah menyebabkan pasokan rumah menjadi berkurang. Di samping itu, pengembang rumah bersubsidi masih harus berhadapan dengan perizinan yang rumit dan biaya tinggi. Sebagian pengembang bergeser ke rumah komersial dengan harga di atas Rp 200 juta.

”Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah ujung-ujungnya menjadi korban karena harus membayar bunga kredit dan biaya pajak lebih besar,” kata Endang dalam diskusi ”Akhir dari Program Sejuta Rumah?”, akhir pekan lalu.

Penyediaan rumah bersubsidi dinilai membutuhkan prioritas kekhususan aturan yang memudahkan aspek perizinan serta mengikat dari hulu ke hilir untuk seluruh pemda. Kemudahan perizinan diperlukan agar pengembang rumah bersubsidi tidak semakin tergerus dan produktivitas dikorbankan.