Pengembang mengeluhkan tidak ada kenaikan harga patokan rumah bersubsidi selama lebih dari tiga tahun, sedangkan harga material bangunan terus meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan terkait kenaikan harga patokan rumah bersubsidi diperkirakan terbit Juni 2023. Pemerintah memastikan kenaikan harga rumah bersubsidi tetap mempertimbangkan keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Haryo Bekti Martoyoedo mengemukakan, peraturan menteri keuangan (PMK) terkait penyesuaian harga rumah bersubsidi dalam tahap final dan diharapkan bisa ditetapkan pada Juni 2023. Sejalan dengan itu, Kementerian PUPR tengah menyiapkan keputusan menteri untuk batasan harga jual rumah bersubsidi yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
”Dari diskusi dengan Kementerian Keuangan, (PMK) diharapkan bisa diundangkan pada Juni 2023,” kata Haryo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), di Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Haryo mengakui, peraturan menteri keuangan terkait kenaikan harga rumah bersubsidi telah lama dinantikan pengembang rumah bersubsidi. Pengembang mengeluhkan tidak ada kenaikan harga patokan rumah bersubsidi selama lebih dari tiga tahun, sedangkan harga material bangunan terus meningkat.
”Tidak mungkin menaikkan harga (patokan rumah bersubsidi) tanpa melihat kemampuan masyarakat. Kami akan menyiapkan skema agar tetap terjangkau,” ujar Haryo.
Dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 22 Tahun 2023 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya, kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat memiliki rumah subsidi untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur adalah berpenghasilan bulanan maksimal Rp 8 juta untuk berstatus kawin dan Rp 7 juta untuk yang tidak kawin.
Sementara itu, penghasilan bulanan untuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya maksimal Rp 10 juta untuk status kawin dan Rp 7,5 juta untuk status tidak kawin. Adapun luas lantai rumah umum ditetapkan paling luas 36 meter persegi.
Jaga kualitas
Haryo mengingatkan pengembang agar tetap menjaga kualitas rumah bersubsidi layak huni serta melengkapi sarana dan prasarana kawasan hunian. Sarana prasarana seperti penerangan jalan dan air bersih dinilai sudah selayaknya disediakan pengembang.
Dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan, masih banyak rumah subsidi yang tidak dihuni konsumen akibat minimnya sarana dan prasarana umum. Pembangunan rumah subsidi wajib memenuhi sejumlah persyaratan kualitas hunian, tetapi masih banyak pengembang tidak memenuhi syarat tersebut. Hal itu, antara lain, karena minimnya pengawasan dan tukang yang kurang memahami standar kualitas rumah.
”Selama ini, muncul kesan pemerintah seolah-olah meminta pengembang meningkatkan kualitas. Kalau rumah subsidi dinaikkan kualitasnya, harga jual dinaikkan. Padahal, tidak seperti itu. Kami ingin syarat minimal (pembangunan rumah) terpenuhi agar kualitas rumah terjaga baik sehingga debitor bisa menghuni dengan nyaman,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengemukakan, pihaknya menantikan kenaikan harga rumah bersubsidi dan siap menjaga kualitas. Penyesuaian harga itu dinilai akan mendorong kembali gairah pengembang membangun rumah bersubsidi.
Saat ini, pasokan rumah bersubsidi merosot akibat belum ada penyesuaian patokan harga jual selama tiga tahun. Padahal, pengembang terus menghadapi kenaikan inflasi harga material bangunan. Keterbatasan arus kas membuat sebagian pengembang menunda proyek untuk menunggu penyesuaian harga.
”Harus dijaga keseimbangan agar kenaikan harga rumah subsidi tetap memperhatikan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mencicil, tetapi pengembang juga tetap bisa berproduksi,” kata Junaidi.
Dari data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat, penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR-FLPP) per 25 Mei 2023 tercatat baru 74.000 unit atau 34 persen dari target penyaluran FLPP tahun ini sebanyak 220.000 unit.
Sulit capai target
Junaidi menilai, rendahnya KPR-FLPP hingga Mei 2023 bakal menyulitkan pencapaian target penyaluran FLPP pada masa paruh kedua tahun ini. Ini karena produksi rumah memerlukan waktu, termasuk proses pembiayaan di perbankan.
”Di sisa waktu hingga akhir tahun ini, sulit mencapai target FLPP 220.000 unit. Kenaikan harga jual rumah seharusnya di awal tahun. Jika (kenaikan harga) diberlakukan Juni 2023, saya yakin tetap tidak bisa mengejar 220.000 unit,” ujarnya.
Tertundanya kenaikan harga patokan rumah bersubsidi diperkirakan menyebabkan suplai rumah bersubsidi maksimal 100.000 unit atau 58,1 persen dari target Apersi.