RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak telah resmi menjadi RUU inisiatif DPR RI, yang disetujui pada 30 Juni 2022.

Rancangan undang-undang ini memang memiliki tujuan sangat luhur, antara lain meningkatkan kesehatan ibu dan anak, menurunkan tingkat kematian dalam kelahiran, menciptakan kualitas tumbuh kembang anak, yang di masa depan akan menjadi SDM Indonesia.

Salah satu hal paling mendasar dalam draf RUU ini adalah adanya perubahan pengaturan tentang, pertama, cuti melahirkan, dari semula 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan (Pasal 82 UU Ketenagakerjaan), diubah dengan paling sedikit enam bulan, dengan ketentuan tiga bulan pertama dibayar penuh dan tiga bulan berikutnya dibayar 75 persen dari upah (Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 5 Ayat (1) dan (2) RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).

Kedua, cuti pendampingan suami. Dari semula dua hari cuti berbayar (Pasal 93 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan), diubah dengan paling lama 40 hari, atau keguguran paling lama tujuh hari (Pasal 6 RUU KIA).

Atas perubahan tersebut, perlu dikaji dampaknya dalam melindungi perempuan pekerja.

Bahkan mereka ada yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) walau hal itu dilarang menurut UU Ketenagakerjaan.

 

Belum jelas

Data di lapangan menunjukkan perempuan pekerja masih banyak yang mengalami kesulitan saat melaksanakan cuti melahirkan yang saat ini berlaku (totalnya tiga bulan).

Bahkan mereka ada yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) walau hal itu dilarang menurut UU Ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apabila pelaksanaan dari enam bulan cuti hamil ini dilakukan secara sekaligus. Lepas dari peningkatan perlindungan keluarga yang muncul dari peraturan tersebut, beberapa kemungkinan dapat terjadi.

Pertama, terancamnya karier dan kepastian kembali bekerja dari perempuan pekerja karena saat ia sedang menjalani cuti, pekerjaannya akan diambil alih orang lain. Dalam hukum Indonesia, tak ada peraturan yang mengharuskan pekerja diterima dan ditempatkan kembali di posisi kerja yang dimilikinya sebelum yang bersangkutan menjalani cuti melahirkan.

Kedua, potensi terjadi diskriminasi tak langsung bagi perempuan pekerja. Lamanya pekerja meninggalkan pekerjaannya sering dianggap beban ekonomi bagi pengusaha. Akibatnya, calon pemberi kerja segan mempekerjakan perempuan pekerja.

Ketiga, perempuan tidak kompetitif dalam pekerjaan yang secara khas dilaksanakan dengan sistem kontrak (PKWT) atau alih daya.

Keempat, dalam PKWT, jika mereka mau menerima perempuan pekerja, pengusaha berpotensi akan mengatur larangan hamil bagi perempuan pekerja di dalam perjanjian kerja mereka.

Kelima, tak dijelaskan berapa kali cuti melahirkan itu akan diberikan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qbDFDNIgsPOHN3UYDjJ_TvvIo5A=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F10%2F02c29ab3-f304-4fdb-b158-6a0afff7355d_jpg.jpg

RUU KIA juga tak menyebutkan secara tegas siapa yang membiayai upah pekerja yang cuti melahirkan. Dalam RUU hanya ditegaskan pada tiga bulan pertama, pekerja mendapatkan upah 100 persen, sementara tiga bulan berikutnya hanya dibayar 75 persen dari upah.

Jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan, seharusnya upah tiga bulan pertama dibayar pengusaha, sementara tiga bulan kedua tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Jika pembayaran tetap harus dibayar oleh pengusaha, hal ini tentulah akan membahayakan keberlanjutan usaha dari pemberi kerja.

RUU KIA memberikan tambahan hak bagi pekerja. Masalahnya, dalam RUU KIA tak diatur akibat hukum jika hak tersebut dilanggar pengusaha. Hal ini berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang memberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran cuti melahirkan ini.

Jika kita melihat hak cuti melahirkan ini merupakan hak ketenagakerjaan, penegakan peraturan ini seharusnya dilakukan pegawai pengawas ketenagakerjaan. Namun, dalam RUU ini tak ada ketentuan pengawasan dan penegakannya. Akibatnya, hak cuti melahirkan dalam RUU ini tak menghasilkan hak normatif yang bersifat memaksa. Isi RUU tak memberikan kepastian hukum bagi pekerja.

Baca juga Kesejahteraan Ibu dan Anak, PRT dan Perlindungan Hak Perempuan

Langkah perbaikan

Peraturan tentang cuti melahirkan telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini sudah sewajarnya, karena cuti melahirkan merupakan hak ketenagakerjaan. Isi RUU KIA ini jadi tumpang tindih dan kontradiktif dengan UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, isi UU Ketenagakerjaan digantikan oleh RUU KIA. Hal ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas lex posteriori derogat legi priori.

Karena norma dalam RUU KIA ini sama dengan norma UU Ketenagakerjaan, maka UU Ketenagakerjaan yang lebih dahulu diundangkan akan digugurkan oleh aturan ini jika RUU KIA ini disahkan. Jadi, Pasal 8 dari RUU yang mengharuskan pelaksanaan cuti melahirkan memperhatikan perundang-undangan ketenagakerjaan tak menyelesaikan masalah.

Sudah seharusnya rumusan sebuah peraturan substansinya sungguh melindungi pihak yang dituju, dan bukan ”terlihat seperti” melindungi pihak yang dituju. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan perbaikan.

Isi RUU KIA ini jadi tumpang tindih dan kontradiktif dengan UU Ketenagakerjaan.

Pertama, peraturan cuti merupakan hak ketenagakerjaan. Untuk menghindarkan tercerai berainya pengaturan tentang hak-hak ketenagakerjaan, peraturan itu seharusnya dimuat di dalam UU Ketenagakerjaan.

Dengan demikian, pengaturannya tak akan mengubah karakteristik peraturannya yang bersifat memaksa (karena di UU Ketenagakerjaan sudah diatur ketentuan sanksi pidana atas pelanggarannya), pengawasan dan pelaksanaannya otomatis harus dilakukan pegawai pengawas ketenagakerjaan.

Kedua, ketentuan dalam RUU KIA cukup menegaskan secara umum tentang hak cuti melahirkan, cuti keguguran dan cuti pendampingan istri yang melahirkan/keguguran sebagai hak normatif. Sementara peraturan lebih detail tentang lamanya cuti, cara pengambilan cuti, konsekuensi finansial dari pembayaran cuti, penegakan dan pengawasan hak, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Kepala Puskesmas Atjs Ambrosius Oktan Muyan saat melaksanakan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan bagi ibu hamil dan ibu menyusui pada 13 Desember 2018.KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Kepala Puskesmas Atjs Ambrosius Oktan Muyan saat melaksanakan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan bagi ibu hamil dan ibu menyusui pada 13 Desember 2018.

Ketiga, jika cuti melahirkan akan diberikan dalam waktu enam bulan, berarti harus dilakukan amendemen UU Ketenagakerjaan. Di dalam amendemen UU Ketenagakerjaan sebaiknya diatur, pertama, pengambilan cuti melahirkan harus diambil sekurang-kurangnya 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah kelahiran.

Tiga bulan sisa dari cuti melahirkan dapat diambil sesuai kebutuhan pekerja. Cara seperti ini digunakan di Belanda.

Kedua, pembayaran biaya tiga bulan pertama cuti melahirkan disesuaikan dengan peraturan yang saat ini berlaku, yaitu tiga bulan tanpa dipotong upah, sedangkan biaya untuk membayar upah tiga bulan berikutnya sebaiknya dimasukkan ke dalam jaminan sosial ketenagakerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan.

Ida Susanti, Dosen dan Peneliti di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung