Polusi udara menjadi problem yang dihadapi kota-kota metropolitan di dunia. Bagaimana dengan Jakarta?
Oleh RANGGA EKA SAKTI
Isu polusi udara sempat menarik perhatian dunia akibat tingkat polusi di New York yang sempat menyentuh rekor baru di awal Juni lalu. Sayangnya, apa yang dilihat sebagai anomali di berbagai kota besar seperti New York, Tokyo, bahkan Rio de Janeiro, ternyata sudah jadi hal lumrah bagi warga DKI Jakarta. Lantas, mengapa kualitas udara Jakarta tak sebaik kota metropolitan lainnya?
Bagi kota-kota besar dunia, isu polusi memang jadi salah satu yang paling diperhatikan. Dalam beberapa waktu terakhir, isu ini makin deras diperbincangkan akibat kualitas udara di New York yang sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah. Buruknya kualitas udara di kota ini pada Rabu 7 Juni 2023 pun memancing reaksi keras dari warganya.
Berdasarkan hasil pantauan PM 2.5 oleh New York State Department of Environmental Conservation, tingkat konsentrasi polutan di daerah New York sempat menyentuh di angka 460, atau 90 kali lipat lebih berbahaya dari anjuran WHO.
Meskipun kemudian sempat turun dan rerata PM 2.5 di kisaran 204, angka ini masih 40 kali lipat lebih berbahaya dari batas yang dianjurkan.
Sebagai pembanding, tingkat polusi di kisaran angka 460 ini setara dengan tingkat polusi yang terjadi di kebakaran hutan.
Jika dibandingkan, kualitas udara di Portland ketika terjadi kebakaran hutan besar-besaran pada 2020 lalu berada di angka 465. Artinya, pada awal Juni lalu, warga di sekitar New York seperti “dipaksa” untuk menghirup udara penuh abu dan arang.
Kota metropolitan
Kejadian di atas bisa dibilang anomali. Pada umumnya, kualitas udara di New York tidak bisa dibilang parah. Rerata kualitas udara di New York selama 2022 lalu adalah 9.9. Meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan anjuran batas aman, angka tersebut jauh dari anomali yang terjadi di awal Juni.
Rerata polusi udara di New York ini menunjukkan bahwa asumsi kota metropolitan sebagai kawasan dengan udara yang sangat tercemar tidak selalu terbukti. Bahkan, jika melihat beberapa contoh kota metropolitan besar lainnya, meskipun masih berada di atas ambang batas WHO, tingkat polutan di udara New York masih cenderung terkendali.
Contoh lainnya Tokyo. Dengan jumlah penduduk hampir 14 juta orang dan juga menjadi pusat perekonomian Jepang, Tokyo memiliki kualitas udara yang masih tak terlalu tercemar dengan rerata indeks PM 2.5 sebesar 9,2. Bahkan pada bulan-bulan tertentu seperti September dan Desember, tingkat polusi di area Tokyo bisa ditekan di kisaran 7,2.
Hal serupa juga terlihat di London. Jantung negara Inggris ini menjadi salah satu kota industrial pertama di dunia, sekaligus berperan sebagai pusat bisnis dan pemerintahan.
Dihuni oleh sekitar 9 juta penduduk, kota ini memiliki udara yang relatif bersih dengan rerata tingkat polutan PM 2.5 sebesar 9,6 sepanjang 2022. Meskipun demikian, pencemaran udara di kota ini sempat naik cukup signifikan di Maret 2022 dengan tingkat PM 2.5 sebesar 18,7.
Fenomena ini nyatanya tak hanya terjadi di negara-negara maju saja. Salah satu contohnya adalah Rio de Janeiro, Brasil. Memiliki penduduk sekitar 10 juta orang, kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia dan juga jadi salah satu sentra bisnis di Brasil. Dengan segala predikat ini, rerata tingkat PM 2.5 di Rio masih berada di kisaran 10.
Kualitas udara Jakarta
Sayangnya, asumsi bahwa kota metropolis memiliki kualitas udara buruk justru terbukti di Jakarta. Dibandingkan dengan kota-kota di atas, tingkat polutan di udara Jakarta mencengangkan. Pada 2022 lalu, rata-rata tingkat PM 2.5 di Jakarta berada di angka 36,2. Bahkan, rerata tingkat PM 2.5 ini sempat menjulang hingga di atas angka 50 pada Juli 2022.
Kotornya udara Jakarta ini tak mengenal waktu. Hasil pantauan langsung pada 22 Juni 2023 pada pukul 00.07 WIB, ketika sebagian besar aktivitas telah berhenti, menunjukkan bahwa tingkat PM 2.5 di kawasan Jakarta di level 180. Bahkan, tingkat PM 2.5 di daerah Ragunan menembus angka 215.
Di kawasan Asia Tenggara, tingkat polusi udara di Jakarta menjadi yang terparah di antara kota-kota metropolis lainnya. Di Kuala Lumpur, misalnya, rerata tingkat PM 2.5 selama 2022 tercatat di angka 17,6. Tak jauh berbeda, Bangkok memiliki rerata tingkat PM 2.5 selama 2022 di angka 18.
Sementara itu, Singapura memiliki catatan yang lebih baik dengan rerata tingkat PM 2.5 sepanjang 2022 di angka 13,3. Bahkan, Beijing yang menjadi salah satu kota industrial terbesar di dunia saja memiliki tingkat polusi udara yang rendah dibanding Jakarta, dengan tingkat PM 2.5 sebesar 29,8 di 2022.
Tingkat pencemaran udara di Jakarta hanya ditandingi oleh kota-kota besar di Asia Selatan. Di Mumbai, tercatat rerata tingkat PM 2.5 di 2022 berada di angka 46,7. Sama parahnya, tingkat PM 2.5 di Islamabad juga terekam cukup tinggi di angka 40,6. Namun, di kawasan ini, salah satu kota metropolis yang udaranya paling tercemar adalah New Delhi dengan rerata tingkat PM 2.5 di angka 89,1.
Data tingkat polusi udara di Jakarta ini menunjukkan bahwa kualitas udara di ibu kota ini telah lewat hingga 40 kali lipat dibandingkan dengan anjuran dari WHO. Setiap hari, 11 juta warga dan 8 juta komuter di Jakarta harus menghirup “racun”. Sedihnya, sekitar 2,4 juta di antaranya adalah anak-anak yang masih dalam masa tumbuh kembang.
Keseriusan pemerintah
Nyatanya, jeleknya kualitas udara Jakarta ini bukanlah persoalan baru. Secara konsisten, selama 2018 hingga 2022, Jakarta selalu mencatatkan rerata tingkat PM 2.5 sebanyak 7 sampai 10 kali lebih tinggi dari anjuran WHO.
Bahkan, skor tingkat polutan di udara Jakarta ini sempat nyaris menyentuh angka 50 di 2019. Tren ini merupakan sebuah perburukan, karena pada 2017, rerata tingkat PM 2.5 di Jakarta berada di angka 29,7.
Buruknya kualitas udara di Jakarta yang jadi persoalan menahun ini pada akhirnya membuat publik mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani polusi udara ini. Tampak kecenderungan ketidakseriusan dalam urusan pemantauan kualitas udara.
Salah satunya terkait jumlah pemantau kualitas udara di Jakarta yang hanya sekitar 50 buah, jumlah yang jauh dari kata mencukupi. Sebagai perbandingan, Bangkok memiliki lebih dari 120 pemantau kualitas udara. Bahkan, data dari IQ Air menunjukkan, hanya 23 pemantau di Jakarta yang aktif.
Tidak cukup soal infrastruktur pemantauan, upaya lainnya juga terlihat belum berhasil adalah mengendalikan polutan atau asap dari kendaraan bermotor yang kian bertambah di Jakarta.
Maka, untuk menjawab pertanyaan mengapa kualitas udara di Jakarta tak sebaik kota metropolitan lainnya, besar kemungkinan isu polusi udara belum menjadi perhatian yang serius dan prioritas, terutama bagi pemenuhan hak-hak warga mendapatkan udara bersih. (LITBANG KOMPAS)