https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0CthH3qQ9nZ9LEqtzn6kF3Lkzxc=/1024x576/https%3A%2F%2Finr-production-content-bucket.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com%2FINR_PRODUCTION%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F08%2Faaa90054-8d72-408c-88c9-c9ae13abad46_jpg.jpg

Seusai rapat kerja Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dengan Komisi VII DPR, 19 Januari 2023, isu soal biaya penyelenggaraan ibadah haji mendadak ramai menjadi polemik dan perbincangan publik. Pro dan kontra soal biaya haji menjadi isu panas di media.

Dalam rapat itu, Kementerian Agama mengusulkan rerata biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 1444 H/2023 M yang harus dibayar calon jemaah yang akan berangkat Rp 69,19 juta. Jumlah ini 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 98,89 juta.

Dibandingkan tahun sebelumnya, usulan BPIH 2023 sebenarnya hanya naik Rp 515.000. Namun, secara komposisi, ada perubahan signifikan antara komponen Bipih yang harus dibayarkan jemaah dan komponen yang anggarannya dialokasikan dari nilai manfaat (optimalisasi). Menurut Menag, BPIH 2022 sebesar Rp 98,38 juta dengan komposisi Bipih Rp 39,89 juta (40,54 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) Rp 58,49 juta (59,46 persen). Sementara usulan untuk BPIH 2023 sebesar Rp 98,89 juta dengan komposisi Bipih Rp 69,19 juta (70 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) Rp 29,7 juta (30 persen).

Baca juga: KPK Meminta Efisiensi pada Biaya Haji

 

Argumen kenaikan Bipih

Usul kenaikan biaya haji yang jadi beban jemaah (Bipih) 2023 yang disampaikan Menteri Agama terbilang sangat berani dan tak populer. Tak banyak menteri yang memiliki nyali seperti itu, apalagi di tahun politik.

Namun, demi keadilan dan kebaikan jemaah tunggu, ia berpandangan, kebijakan biaya haji murah yang sudah berlangsung bertahun-tahun dengan subsidi, talangan, atau bantuan besar seperti yang selama ini dinikmati jemaah yang akan berangkat, sudah saatnya ditinjau ulang agar lebih rasional.

Subsidi atau bantuan itu bukan berasal dari pemerintah (APBN), melainkan dari kontribusi atau bantuan keuangan (financial support) dari hasil nilai manfaat yang juga dimiliki jemaah tunggu, yang porsi terbesarnya (80-90 persen) digunakan untuk membiayai mereka yang berangkat pada tahun berjalan.

Baca juga: Mencermati Biaya Haji

Menteri Agama, Kamis (19/1/2023), mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh jemaah haji tahun 2023 sebesar Rp 69 juta. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp 39,8 juta. KOMPAS

Menteri Agama, Kamis (19/1/2023), mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh jemaah haji tahun 2023 sebesar Rp 69 juta. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp 39,8 juta.

Menteri Agama mengusulkan penyesuaian biaya haji yang jadi tanggungan jemaah (Bipih). Pertama, komposisi 70 persen (beban jemaah) dan 30 persen (nilai manfaat BPKH) adalah untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlanjutan dana haji dalam jangka panjang.

Formulasi ini muncul setelah melalui proses kajian dan diskusi mendalam, baik di internal Kementerian Agama maupun dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Selama bertahun-tahun, jemaah haji Indonesia menikmati diskon biaya haji yang cukup besar.

Tahun 2022, biaya riil haji Indonesia Rp 98,3 juta, sementara jemaah hanya membayar Rp 35 juta. Itu artinya, jemaah yang berangkat hanya membayar 40 persen dari biaya riil haji (BPIH) dan mendapat diskon biaya haji sebesar 60 persen. Diskon biaya haji inilah yang hendak dikurangi lewat usulan Menag, dari 60 persen menjadi 30 persen, sehingga muncul usul komposisi 70 persen : 30 persen di atas.

Komposisi BPIH tersebut adalah opsi terbaik dan paling logis yang perlu diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dan keberlangsungan dana nilai manfaat BPKH di masa yang akan datang. Kemenag dan BPKH memandang nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana investasi itu harus didistribusikan secara adil untuk kepentingan jemaah tunggu yang akan berangkat haji pada 5, 10, 15, atau 20 tahun mendatang.

Kebijakan yang diambil Menag terlihat tidak populis, tetapi akan memberi efek kemaslahatan bagi mayoritas jemaah tunggu untuk masa puluhan tahun ke depan.

Jika seluruh nilai manfaat (hasil investasi) yang diraih BPKH porsi terbesarnya hanya digunakan untuk kepentingan jemaah yang akan berangkat pada tahun berjalan, risikonya ini akan mengancam keberlanjutan dana haji di masa depan. Dana keuangan haji yang dikelola BPKH harus juga bisa memastikan keamanan dan keberlanjutan pembiayaan jemaah tunggu (waiting list) yang jumlahnya pada akhir 2022 mencapai 5,3 juta orang.

Kebijakan yang diambil Menag terlihat tidak populis, tetapi akan memberi efek kemaslahatan bagi mayoritas jemaah tunggu untuk masa puluhan tahun ke depan. Kita bukan hanya memikirkan nasib 200.000-an anggota jemaah yang akan berangkat pada 2023, melainkan juga menunjukkan empati dan keberpihakan kepada kepentingan 5,3 juta calon jemaah yang belum dapat giliran berangkat (silent majority).

Mengapa kita perlu mengkhawatirkan ini? Kalkulasi sederhananya begini. Pemerintah sebagai penyelenggara operasional ibadah haji, saat akan memberangkatkan 203.000 anggota jemaah haji reguler ke Tanah Suci tahun 2023, membutuhkan dana anggaran BPIH Rp 20,06 triliun (Rp 98,8 juta x 203.000).

Komisi Pemberantasan Korupsi meminta agar penentuan biaya ibadah haji bisa efisien dan sesuai dengan kemampuan masyarakat.KOMPAS

Komisi Pemberantasan Korupsi meminta agar penentuan biaya ibadah haji bisa efisien dan sesuai dengan kemampuan masyarakat.

Dari mana dana diperoleh? Dari dana haji yang dikelola BPKH. BPKH akan mencairkan kebutuhan dana itu, dengan sumber dana dari setoran calon jemaah, plus persentase alokasi bantuan (financial support) dari nilai manfaat yang disepakati pemerintah dan DPR.

Apabila Bipih yang jadi beban jemaah berangkat tak mengalami penyesuaian (nominal sama seperti 2022), biaya haji yang berasal dari setoran biaya haji murni 203.000 anggota jemaah totalnya hanya Rp 7,1 triliun (setoran awal Rp 25 juta plus setoran lunas Rp 10 juta) x 203.000. Untuk memenuhi kebutuhan operasional haji (BPIH), BPKH harus menutupnya melalui bantuan keuangan (financial support) dari nilai manfaat Rp 12,95 triliun atau ekuivalen Rp 63,8 juta per anggota jemaah.

Sumber nilai manfaat yang akan digunakan BPKH untuk membantu, menutup, atau menambal kebutuhan (financial support) BPIH 2023 berasal dari nilai manfaat bersih (setelah dikurangi virtual account/VA) 2022 sebesar Rp 7,1 triliun. Jika masih kurang, BPKH terpaksa harus menggunakan saldo akumulasi nilai manfaat dana haji hingga tahun 2021 sebesar Rp 13,5 triliun (audited).

Penggunaan saldo nilai manfaat yang sangat masif inilah yang dikhawatirkan Menteri Agama akan menjadi bom waktu.

Penggunaan saldo nilai manfaat yang sangat masif inilah yang dikhawatirkan Menteri Agama akan menjadi bom waktu. Apalagi, pada 2027, terdapat kemungkinan penyelenggaraan ibadah haji akan berlangsung dua kali dalam satu tahun yang sama. Bom waktu itu mengancam meskipun pada setiap tahun berjalan BPKH bisa menghasilkan nilai manfaat baru (setelah dikurangi VA yang langsung dikreditkan ke rekening jemaah tunggu), berkisar Rp 7,5 triliun-Rp 8 triliun.

Apabila pola penggunaan nilai manfaat tersebut masih sangat dominan untuk menambal dan menopang jemaah yang berangkat, stok nilai manfaat akan habis dan bantuan (financial support) BPIH dari BPKH berpotensi menggunakan dana setoran dari jemaah tunggu (skema Ponzi).

Jika kebijakan ini tidak dikoreksi dengan pola yang lebih berkeadilan, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi bencana dana haji di masa depan. Kita juga perlu mengantisipasi visi 2030 Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman yang menargetkan jemaah haji yang bisa dilayani per tahun menjadi 5 juta-10 juta jemaah. Itu artinya, kuota haji Indonesia akan meningkat 2-4 kali lipat dari sekarang.

Alasan kedua terkait aspek agar jemaah haji Indonesia tetap bisa memenuhi prinsip syarat wajib berhaji; istitha’ah (QS 3: 97) atau kemampuan menjalankan ibadah. Haji adalah salah satu rukun Islam. Hukumnya wajib. Namun, berbeda dengan rukun-rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, zakat, dan puasa), haji harus memenuhi syarat yang spesifik; istithaah (kemampuan).

Mampu secara fisik, mental, spiritual, dan finansial. Menurut Menteri Agama, syarat istitha’ah ini, terutama untuk elemen keuangan, harus terukur dan jelas parameternya.

Para jemaah haji asal Indonesia di kawasan Syisya, Mekkah, Arab Saudi, Kamis (7/7/2022), menaiki bus yang mengantar ke di Arafah. KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Para jemaah haji asal Indonesia di kawasan Syisya, Mekkah, Arab Saudi, Kamis (7/7/2022), menaiki bus yang mengantar ke di Arafah.

Untuk mengukurnya, dalam konteks BPIH, direprentasikan oleh komposisi 70 persen (beban jemaah) dan 30 persen dari bantuan (financial support) nilai manfaat yang berasal dari BPKH. Jika beban jemaah (Bipih) lebih kecil dibandingkan bantuan atau kontribusi (subsidi) nilai manfaat yang dialokasikan oleh BPKH, prinsip istithaah menjadi problematik secara syariah.

Argumentasi Menteri Agama di atas paralel dengan rekomendasi hasil Mudzakarah Perhajian Indonesia 1444 H pada 29 November 2022 di Situbondo, Jatim, yang dihadiri sejumlah alim ulama terkemuka Indonesia. Salah satu rekomendasinya menyatakan, ”mengingat besarnya penggunaan nilai manfaat dana haji pada operasional haji tahun 1443 H/2022 M, untuk keberlangsungan penyelenggaraan ibadah haji ke depan dan pemenuhan syarat istithaah, maka perlu penyesuaian biaya perjalanan ibadah haji (Bipih)”.

BPIH berkeadilan

Komposisi Bipih dan BPIH yang disampaikan pemerintah pada 19 Januari 2023 belum final. Masih perlu pendalaman dan pembahasan dengan Komisi VIII DPR. Jika dari 14 komponen BPIH bisa ”ditekan”, otomatis Bipih akan turun. Dengan asumsi nilai dari hasil manfaat yang dialokasikan untuk jemaah berangkat tetap, maka bantuan keuangan BPKH bisa lebih dari 30 persen.

Harus segera disepakati dan ditemukan prinsip penting yang mungkin perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan formula BPIH yang berkeadilan dan berkelanjutan, sekaligus memenuhi standar istithaah.

Untuk menjaga keberlanjutan dana haji dan kepentingan jemaah tunggu, proporsi nilai manfaat yang digunakan untuk membantu ( financial support) jemaah berangkat seyogianya lebih rendah dari Bipih.

Prinsip pertama, sudah saatnya komposisi antara Bipih dan nilai manfaat diatur dalam proporsi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk menjaga keberlanjutan dana haji dan kepentingan jemaah tunggu, proporsi nilai manfaat yang digunakan untuk membantu (financial support) jemaah berangkat seyogianya lebih rendah dari Bipih.

Proporsi itu tren ke depan secara gradual seyogianya semakin menurun, hingga ditemukan batas maksimum bantuan (financial support) dari nilai manfaat. Akibat logis dari financial support dari nilai manfaat yang semakin menurun adalah distribusi ke VA akan meningkat signifikan. Bipih plus VA yang berhasil diakumulasi oleh jemaah tunggu ke depan diharapkan bisa menjadi pintu masuk menuju pola pembiayaan biaya haji atas kemampuan sendiri dari saldo setoran setiap jemaah (self financing).

Kedua, kontribusi atau bantuan keuangan (financial support) dari BPKH untuk jemaah berangkat sudah saatnya diarahkan kepada pos-pos biaya yang lebih spesifik dengan pola yang ajek. Kebijakan ini akan membuat pemanfaatan dari nilai manfaat BPKH lebih prediktif dan memudahkan dari sisi penganggaran (budgeting).

Baca juga: Kewajaran Biaya Haji

Pendekatan ini akan memberi ruang kepada BPKH untuk lebih fokus melakukan efisiensi biaya tersebut secara langsung. Misal, BPKH diberi tanggung jawab untuk menutup biaya pesawat, maka dengan amanah itu, dimungkinkan bagi BPKH melakukan negosiasi atau pembicaraan langsung dengan pihak maskapai. Begitu juga jika tanggung jawab diarahkan untuk memberikan dukungan terkait penginapan atau akomodasi.

Ketiga, skema BPIH yang berkeadilan dan berkelanjutan itu seyogianya dicantumkan secara spesifik dalam regulasi terkait, seperti UU, PP, atau perpres, sehingga BPKH memiliki dasar berpijak yang kuat untuk memberikan financial support dari nilai manfaat kepada jemaah yang berangkat.

Jika regulasi formulasi BPIH yang berkeadilan dan berkelanjutan diatur secara konkret dan jelas, kontroversi atau polemik biaya haji tidak lagi berulang setiap tahun musim haji.

Amri YusufAnggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Periode 2022-2027