TAJUK RENCANA
Perlu ada langkah-langkah yang lebih strategis dan terarah untuk mengatasi ”learning loss” akibat penutupan sekolah selama pandemi. Pembukaan sekolah saja tak cukup.
Meski sudah diprediksi, laporan Bank Dunia soal learning loss siswa sekolah dasar di Indonesia membuka mata kita semua bahwa tantangan pendidikan semakin besar.
Kehilangan keterampilan matematika—pembentuk pola pikir— yang setara dengan 11,2 bulan pembelajaran pada siswa sekolah dasar akibat penutupan sekolah selama pandemi Covid-19 (Kompas, 27/6/2023), tidak bisa dianggap sebagai fenomena biasa meski kondisi ini tak sebesar tren global. Masalahnya, kondisi pendidikan di Indonesia sudah tidak baik-baik saja sebelum pandemi.
Baca juga: Siswa SD Indonesia Alami ”Learning Loss” 11 Bulan
Paling tidak 20 tahun terakhir, sebagaimana dikatakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, Indonesia mengalami learning loss. Indikasi ini, salah satunya, bisa dilihat dari skor Program Asesmen Pelajar Internasional (PISA) 2018 yang menunjukkan hasil belajar di pendidikan dasar dan menengah di Indonesia cenderung stagnan 10-15 tahun (paling tidak sejak 2003).
Berada di peringkat ke-72 dari 77 negara, Bank Dunia (2019) mengingatkan, Indonesia membutuhkan waktu 50 tahun untuk mencapai skor rata-rata Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) jika tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Kini, pascapandemi, upaya yang dilakukan harus lebih serius lagi untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan.
Langkah yang dilakukan tak bisa lagi seperti biasa. Perlu ada langkah-langkah yang lebih strategis dan terarah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan. Yang pertama dan terutama, sudahkah semua pemangku kepentingan memahami dan menyadari bahwa ini merupakan kondisi sangat serius yang harus segera ditangani? Sudah adakah pemetaan siswa yang mengalami learning loss dan langkah apa yang akan dilakukan terhadap mereka?
Tanpa ada langkah khusus dan segera, para siswa yang mengalami learning loss tak akan mampu mengatasi ketertinggalan mereka.
Pembukaan kembali sekolah tentu bukanlah jawaban atas permasalahan ini. Pembukaan sekolah harus diikuti dengan tes diagnostik untuk mengetahui dan memetakan kompetensi siswa apakah sudah sesuai dengan jenjang studi mereka, apa pula permasalahan yang dihadapi siswa. Hasil tes menjadi dasar untuk memberikan pelajaran sesuai kondisi dan kebutuhan siswa, terutama siswa yang mengalami learning loss.
Tanpa ada langkah khusus dan segera, para siswa yang mengalami learning loss tak akan mampu mengatasi ketertinggalan mereka. Langkah khusus dan segera ini termasuk menyiapkan guru agar dapat mengajar sesuai kompetensi dan minat siswa sebagaimana semangat utama dan inti Kurikulum Merdeka.
Dalam jangka panjang, membenahi kebijakan pendidikan dan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung upaya pembangunan manusia unggul untuk mencapai Generasi Emas 2045. Apalagi, learning loss bukan hanya masalah pendidikan yang menyebabkan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah, melainkan juga masalah produktivitas ekonomi, siswa bisa kehilangan pendapatan saat mereka dewasa nanti.
Baca juga: Tiga Tahun Pandemi, Bangkit Lebih Kuat
Kita memang harus berlari cepat mengatasi ketertinggalan karena waktu yang kita miliki untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 tak lama lagi.