Di Kabupaten Semarang terdapat 99 SD yang belum mendapatkan pendaftar, padahal penerimaan siswa baru telah ditutup. Jika kekurangan murid karena kelebihan sekolah berarti jumlah guru berlebih. Mengapa hal ini terjadi ?

Ilustrasi

Menyongsong tahun ajaran baru 2023/2024, Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, baru-baru ini menampilkan data bahwa jumlah calon murid dari 431 sekolah dasar dari total 478 sekolah dasar di bawah 28 anak.

Bahkan, terdapat 99 sekolah dasar (SD) yang belum mendapatkan pendaftar, padahal penerimaan siswa baru telah ditutup pertengahan April lalu. Angka itu menggambarkan seperlima (20 persen) SDN di kabupaten itu tak memiliki murid baru, atau kekurangan murid. Bahkan, jika kekurangan murid itu dihitung dari 431 SD yang jumlah pendaftarnya kurang dari 28 anak, persentasenya menjadi sangat tinggi, yaitu 90 persen. SD (semakin) kekurangan murid.

Perkembangan sekolah

Gejala kekurangan murid seharusnya dilihat sebagai bukti lapangan bahwa memang besar kemungkinan terjadi kelebihan sekolah. Kalau jumlah sekolah berlebih, dengan sendirinya besar kemungkinan jumlah guru juga ”berlebih” sehingga alur pikir yang seharusnya terjadi ialah kita tidak perlu jatuh bangun berpikir tentang marketplace guru SD.

Pertanyaannya, apakah logika semacam ini ”kampungan”? Pertanyaan yang seharusnya lebih aktual ialah apakah kekurangan murid SD seperti ini hanya terjadi di Kabupaten Semarang ataukah sebenarnya telah, sedang, dan terus akan terjadi di wilayah lain?

Gejala kekurangan murid seharusnya dilihat sebagai bukti lapangan bahwa memang besar kemungkinan terjadi kelebihan sekolah.

Pertanyaan tersebut sangat tepat dijawab lewat analisis kuno Paulo Freire dalam bukunya, Sekolah, Kapitalisme yang Licik (editor M Escobar, 1998), mengingat keniscayaan telah terjadinya kelicikan-kelicikan di tingkat sekolah selama ini.

Tegasnya, jangan-jangan sekolah-sekolah kita selama ini telah mempraktikkan kapitalisme kecil-kecilan. Misal, pelayanan sekolah lebih mengutamakan hal-hal yang serba kuantitas dan kurang semangat melayani hal-hal terkait kualitas.

Jumlah murid yang besar dikejar dengan berbagai cara karena akan mendatangkan berbagai sumber pendanaan sekolah dan ikutannya. Akibatnya, mereka lebih mementingkan penampilan fisik sekolah sedemikian rupa agar semakin menarik minat calon murid. Bukankah alur berpikir semacam ini sudah menggambarkan pola pikir kapitalis?

Salah satu bukti liciknya kapitalis(me) menurut Freire adalah terciptanya ketergantungan, terutama ketergantungan ekonomi. Siapa pun, atau negara mana pun, jika berada di bawah ketergantungan ekonomi, fenomena itu sudah mengindikasikan betapa praktik kapitalis(me) sudah dan sedang terjadi. Padahal, ketergantungan ekonomi selalu membawa serta ketergantungan budaya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/UeorWAZFV_MuVotg9vFk0MVBHc4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F13%2F7bed5085-e1f1-4277-9d00-968b4d46da87_jpg.jpg

Dalam konteks sekolah, sangatlah mungkin dewasa ini sedang berkembang kondisi betapa budaya sekolah semakin ditentukan oleh (kemampuan) ekonomi sekolah sehingga berkembang persepsi kapistalistiknya. Semakin banyak murid, sekolah terkesan semakin kaya, dan karena kaya akan mampu mengelola sekolah semakin hebat/maju. Jumlah murid identik dengan jumlah uang.

Pengelolaan baru

Dalam konteks Kabupaten Semarang, fakta kekurangan murid direspons oleh Ketua DPRD setempat dengan dorongan agar pemda segera melakukan mapping dan regrouping sekolah. Sekilas usul ini dianggap akan menyelesaikan masalah, terutama dari sisi efisiensi dan efektivitasnya. Namun, menurut pendapat saya, kalaupun akan menyelesaikan masalah, rasanya hanyalah dalam jangka waktu amat pendek saja mengingat jumlah sekolah yang kekurangan murid begitu banyak (90 persen).

Kalau mapping dan regrouping hanya akan difokuskan pada 99 SD yang tidak ada pendaftar, itu pun berarti rata-rata di setiap kecamatan akan ada lima SD harus diregrup mengingat di kabupaten itu ada 19 kecamatan. Intinya, mapping dan regrouping hanya akan menimbulkan kesulitan teknis besar di tingkat lapangan.

Ada dua pemikiran yang perlu dipertimbangkan. Pertama, perlunya ada cara pengelolaan secara baru atas sekolah-sekolah itu. Kedua, ini kesempatan baik untuk pemerataan guru.

Maksudnya, fakta kekurangan murid (dan kelebihan sekolah?) diterima apa adanya, baik oleh sekolah yang bersangkutan maupun oleh wilayah kecamatannya. Penerimaan secara apa adanya ini seyogianya justru dimanfaatkan oleh pemda untuk mendorong kepala sekolah dan guru agar mengelola sekolah secara baru, yaitu berkiprah dengan semangat ”kecil/sedikit, tetapi berkualitas”.

Semakin banyak murid, sekolah terkesan semakin kaya, dan karena kaya akan mampu mengelola sekolah semakin hebat/maju. Jumlah murid identik dengan jumlah uang.

Sedikit jumlah muridnya, tetapi justru itulah kesempatan untuk mengembangkan secara optimal setiap individu murid, karena perhatian guru akan semakin intensif dengan jumlah murid sedikit/kecil.

Kurikulum Merdeka Belajar akan dengan sendirinya terlaksana tanpa mengalami hambatan dalam hal pendekatan individu/pribadi murid. Pengelolaan sekolah bersemangatkan ”bukan kuantitas, melainkan kualitas” dapat dikejar lebih cepat justru di sekolah-sekolah yang kekurangan murid itu.

Jika betul kekurangan murid, dan kelebihan sekolah, fakta ikutannya tentulah ada ”kelebihan” guru di sekolah-sekolah itu. Inilah saat yang tepat bagi pemda untuk melakukan pemerataan guru.

Misalnya, dengan rumus sederhana: sekolah kecil, jumlah guru (termasuk kepala sekolah) maksimal empat orang. Sekolah dengan sekitar 150 murid, jumlah gurunya maksimal enam orang. Lalu, untuk sekolah ”besar” karena jumlah muridnya banyak, jumlah guru sekurang-kurangnya sesuai dengan rombongan belajarnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/MZ5_9TDsNanXfTbDJULXnKrGHaI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F12%2F9e684e15-674e-4199-9aba-c7719fa1a6a0_jpg.jpg

Ilustrasi

Manipulasi edukatif

Mengapa Freire bersikukuh menyebut bahwa sekolah itu kapitalisme yang licik? Di samping karena sekolah menghadapi banyak iming-iming ekonomis sebagaimana disebut di atas, Freire juga menyatakan bahwa di sekolah itu terdapat banyak manipulasi edukatif.

Maksudnya, ”tak ada pendidikan yang membebaskan tanpa beberapa langkah manipulasi; tak ada semacam kesucian malaikat dalam pendidikan,” begitu ungkapan Freire.

Setiap kepala sekolah dan setiap guru di setiap sekolah pasti akan selalu berusaha meyakinkan murid-muridnya. Tugas pedagogis kepala sekolah dan guru adalah melakukan tindakan atau kata-kata meyakinkan sekalipun dilakukan secara manipulatif.

Kepala sekolah dan guru harus selalu meyakinkan murid untuk rajin, hormat, santun, sopan, cinta kebersihan, dan sebagainya kendati apa yang dikatakan itu manipulasi saja. Itulah manipulasi edukatif, dan tindakan atau kata-kata meyakinkan itu harus selalu muncul dalam rangka membangun mimpi besar murid.

Refleksi kuno Freire ini rasanya tetap kontekstual ketika sekolah dan pemda dihadapkan pada tantangan menempuh pengelolaan cara baru dan pemerataan guru akibat kekurangan murid atau kelebihan sekolah.

JC Tukiman TarunaPengajar Pengembangan Masyarakat di Pascasarjana UNS, Surakarta; dan UNIKA Soegijapranata, Semarang

JC Tukiman Taruna

ARSIP PRIBADI JC Tukiman Taruna

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN