Perayaan HUT ke-496 Jakarta menjadi momentum dimulainya transisi Jakarta, dari ibu kota negara menuju kota global. Mampukah Jakarta?

 

Semarak perayaan HUT ke-496 Jakarta sekaligus dijadikan momentum untuk menyambut transisi ibu kota negara ini menjadi kota global.

Perubahan itu tentu bukan hanya perkara status yang melekat dengan standar dunia, tetapi juga disertai dengan pembenahan mendasar agar ruang kota ini bisa menghadirkan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warganya.

Tanggal 22 Juni 2023 menjadi perayaan hari jadi DKI Jakarta yang ke-496. Peringatan HUT ibu kota ini mengusung tema ”Jadi Karya untuk Nusantara”. Tema itu tak lain merupakan amplifikasi dari slogan besar ”Sukses Jakarta untuk Indonesia” yang dibawa oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.

Tema perayaan HUT ini bermaksud menunjukkan kesiapan Jakarta untuk mengoptimalkan seluruh sumber dayanya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan serta barometer kemajuan bagi daerah-daerah lain.

Di luar itu, ”Jadi Karya untuk Nusantara” juga menggambarkan kesiapan Jakarta yang akan terus tumbuh menjadi kebanggaan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini menjadi penegasan atas visi Jakarta untuk menjadi kota global.

Setelah kesepakatan resmi untuk memindahkan ibu kota ke wilayah Kalimantan Timur, selayaknya yang diamanatkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, tentu ada pula visi misi yang perlu dipersiapkan untuk Jakarta pada waktu mendatang.

Jakarta yang pada satu waktu kelak melepaskan status sebagai ibu kota negara, diproyeksikan akan menjadi kota bisnis berskala global. Melansir halaman resmi Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, kini transisi atau langkah lanjutan atas rencana itu memang tengah dipersiapkan dalam visi dan misi yang mendetail.

Pemprov DKI Jakarta menegaskan, transisi bagi Jakarta itu akan tetap mempertahankan kenyamanan, keamanan, serta kekondusifan lingkungan bagi seluruh warganya.

Komitmen ini tentu penting agar tujuan untuk tumbuh sebagai bagian dari kota internasional terlebih dahulu telah disertai dengan langkah pembenahan terhadap kompleksitas persoalan yang dihadapi warga Ibu Kota.

Semangat untuk berbenah dan menemukan solusi bersama atas kompleksitas persoalan ruang kota yang tak lain dimiliki oleh warganya ini tentu menjadi sebuah komitmen yang memang tepat disebarluaskan pada momentum perayaan ulang tahun Jakarta saat ini.

Informasi dan berbagai hal pelibatan masyarakat secara langsung yang mengiringi maksud besar untuk Jakarta di masa mendatang, termasuk dalam rangka mempersiapkan transisi menjadi kota global memang perlu dioptimalkan. Bagaimanapun, dukungan publik tentulah begitu diperlukan untuk mencapai visi besar yang telah disusun.

Kota global

Pj Gubenur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, dalam tulisan kolom opininya di harian Kompas bertajuk ”Jakarta Menuju Kota Global”, menjelaskan bahwa Jakarta harus terus berbenah mempersiapkan diri menjadi kota global, menyongsong perpindahan ibu kota negara (Kompas, 9/6/2023).

Global City Index saat ini menempatkan Jakarta pada peringkat ke-67. Kendati bertaut jauh dengan apa yang sudah dicapai kota-kota maju yang berada di lima besar teratas, New York, London, Paris, Tokyo, dan Beijing, Jakarta tentulah masih sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi lebih positif.

Tahun 2014, kajian AT Kearny yang secara konsisten melakukan survei dan penelusuran pada 84 kota yang dibedakan pada peringkat kota maju (Global Cities Index) dan kota berkembang (Emerging Cities Index) mengungkapkan, terdapat kemajuan signifikan yang dialami kota-kota di Asia.

Termasuk salah satunya Jakarta yang sudah selayaknya masuk daftar peringkat kota maju dengan kemajuan paling progresif.

Berdasarkan daftar pemeringkatan saat itu untuk laporan Emerging Cities Outlook AT Kearney Inc, Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia dinilai paling memungkinkan untuk menjadi kota global dalam 10 sampai 20 tahun mendatang.

Adapun sejumlah kriteria yang menjadi tolok ukur kota dapat disebut sebagai kota global mulai dari tersedianya layanan keuangan internasional, kantor pusat institusi, pusat manufaktur utama, pusat ide dan inovasi, pusat budaya, pusat digital dan komunikasi, keragamanan bahasa, hingga budaya dan agama.

Kriteria yang rigid untuk mengukur sebuah dunia itu secara jelas juga bukan hanya menekankan pada aspek kesiapan infrastruktur fisik yang berstandar internasional. Di luar itu, ada pula aspek-aspek sosial, budaya, serta hal-hal yang tidak lain terkait pada pembangunan kualitas sumber daya manusia yang tinggal di ruang perkotaan itu sendiri.

Di atas kertas, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jakarta bisa dikatakan sudah sangat baik dibandingkan wilayah lain. IPM Jakarta pada 2022, berada pada angka 81,65 persen yang juga berada di atas rata-rata nasional (72,91).

Namun, bukan berarti hal tersebut secara langsung mengaburkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Jakarta yang tengah bertransisi menjadi kota global.

Persoalan

Terkait dengan persoalan kependudukan, misalnya, sampai kini masih belum teratasi baik dalam hal administrasi maupun dalam konteks realitas di lapangan.

Pengalaman mengajarkan, pertumbuhan penduduk yang signifikan tanpa diimbangi dengan berbagai jawaban atas kebutuhan hidup, baik pekerjaan, ruang tinggal, maupun tempat berusaha, akan memantik muncul masalah di ruang perkotaan.

Jumlah penduduk Jakarta terus tumbuh pesat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,74 juta jiwa, dengan pertambahan terus melampaui 100.000 jiwa per tahun.

Jakarta tetap akan menarik bagi banyak orang untuk bertahan hidup dan mengadu nasib. Dengan beban lebih dari 410.000 jiwa penganggur atau 8 persen dari total angkatan kerja, Jakarta bisa dibilang masih dapat menjadi episentrum perputaran ekonomi.

BPS merilis laporan ekonomi Jakarta yang menguat pada 2022. Dalam hal ini, PDRB Jakarta tumbuh hingga 5,25 persen. Terus konsisten meningkat sejak sempat terpuruk menyentuh -2,39 persen saat pandemi Covid-19 menerpa pada periode 2020.

Sekalipun jika ditilik lebih lanjut, Jakarta mulai tidak lagi dilirik sebagai lokasi favorit untuk urbanisasi di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2020 migran neto risen atau penduduk yang masuk ke Jakarta dibandingkan yang keluar tercatat -2,49 persen. Artinya, persentase jumlah penduduk yang masuk ke Jakarta lebih kecil dari yang meninggalkan daerah.

Menurunnya angka migrasi masuk itu juga menjadi gejala nyata bahwa ruang kota kian penuh sesak dan perlahan tak lagi mampu memenuhi harapan para pendatang. Salah satu hal yang juga menjadi persoalan penting di megapolitan ini menyangkut kebutuhan dasar untuk memiliki akses hunian.

Perkembangan pembangunan dan proses pengotaan yang cepat dan sangat modern menjadikan lahan-lahan dan tempat bermukim di Jakarta kian tergeser oleh kepentingan komersial. Alhasil, harga rumah untuk kepemilikan, bahkan menyewa, pun menjadi sangat tinggi.

Jakarta menjadi provinsi terendah untuk proporsi rumah tangga yang memiliki rumah sendiri. Proporsi rumah tangga yang memiliki rumah sendiri di Jakarta hanya 48,48 persen (BPS, 2021). Angka tersebut sangat jauh di bawah proporsi kepemilikan rumah nasional yang mencapai 81,08 persen.

Tentunya, terdapat beragam persoalan klasik seperti kemiskinan struktural sampai setumpuk persoalan lain menyangkut pembangunan infrastruktur kota seperti banjir ataupun kemacetan yang juga menunggu untuk segera teratasi.

Akhirnya, transisi untuk mendapuk status sebagai kota global itu selayaknya dapat lebih siap bagi Jakarta saat satu per satu persoalan di banyak aspek kehidupan urban itu terselesaikan lebih dulu untuk menghadirkan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warganya.