Perubahan iklim menjadi salah satu tantangan besar pembangunan nasional. Skema pendanaan iklim menjadi salah satu pilar yang mampu memitigasi ketidakmampuan negara dalam membiayai kerusakan dan kerugian krisis iklim.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 27 di Mesir tahun lalu tercapai kesepakatan terkait dengan pembiayaan untuk penanganan perubahan iklim global. Para negara peserta konferensi bersepakat untuk menetapkan dana kerugian dan kerusakan untuk wilayah paling rentan terdampak krisis lingkungan itu.
Skema pendanaan untuk perubahan iklim adalah upaya konkret untuk menekan dampak negatif yang jauh lebih besar. Pada COP 27 tahun lalu, para pemimpin negara di forum tersebut membuat langkah progresif mitigasi iklim dengan membuat skema pendanaan loss and damage.
Sebenarnya definisi kerugian dan kerusakan yang dimaksud dalam kesepakatan tersebut belum sepenuhnya usai. Apalagi, fokus dananya mengarah pada semua jenis kerugian dan kerusakan yang timbul akibat bencana krisis iklim sehingga masih banyak rincian yang harus dirundingkan antarnegara.
Inisiasi dana loss and damage itu bertujuan meningkatkan upaya mitigasi yang bersifat mencegah, meminimalisasi, dan mengatasi dampak negatif secara signifikan yang mengancam miliaran populasi manusia. Rencana ini sangat penting karena skema pendanaan yang ada sekarang dinilai belum cukup menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaannya.
Pada pertemuan COP 28 pada akhir tahun 2023 mendatang di Dubai, Uni Emirat Arab, pembahasan tentang pendanaan tersebut akan dilanjutkan. Pada COP 28 ini akan menindaklanjuti hasil COP 27 yang memandatkan pembentukan komite khusus yang bertugas menyusun rekomendasi operasionalisasi dana loss and damage. Komite transisi tersebut terdiri dari 24 anggota yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu 10 anggota dari negara maju dan 14 anggota dari negara berkembang.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 27 di Mesir tahun lalu tercapai kesepakatan terkait dengan pembiayaan untuk penanganan perubahan iklim global. Para negara peserta konferensi bersepakat untuk menetapkan dana kerugian dan kerusakan untuk wilayah paling rentan terdampak krisis lingkungan itu.
Skema pendanaan untuk perubahan iklim adalah upaya konkret untuk menekan dampak negatif yang jauh lebih besar. Pada COP 27 tahun lalu, para pemimpin negara di forum tersebut membuat langkah progresif mitigasi iklim dengan membuat skema pendanaan loss and damage.
Sebenarnya definisi kerugian dan kerusakan yang dimaksud dalam kesepakatan tersebut belum sepenuhnya usai. Apalagi, fokus dananya mengarah pada semua jenis kerugian dan kerusakan yang timbul akibat bencana krisis iklim sehingga masih banyak rincian yang harus dirundingkan antarnegara.
Inisiasi dana loss and damage itu bertujuan meningkatkan upaya mitigasi yang bersifat mencegah, meminimalisasi, dan mengatasi dampak negatif secara signifikan yang mengancam miliaran populasi manusia. Rencana ini sangat penting karena skema pendanaan yang ada sekarang dinilai belum cukup menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaannya.
Pada pertemuan COP 28 pada akhir tahun 2023 mendatang di Dubai, Uni Emirat Arab, pembahasan tentang pendanaan tersebut akan dilanjutkan. Pada COP 28 ini akan menindaklanjuti hasil COP 27 yang memandatkan pembentukan komite khusus yang bertugas menyusun rekomendasi operasionalisasi dana loss and damage. Komite transisi tersebut terdiri dari 24 anggota yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu 10 anggota dari negara maju dan 14 anggota dari negara berkembang.
Salah satu kekeringan paling parah terjadi pada kurun 2015-2016 saat El Nino melanda. Akibatnya, cadangan air menyusut secara drastis di sejumlah wilayah. Banyak lahan pertanian mengalami kekeringan dan pasokan air bersih ke warga juga terganggu. Saat itu, produksi padi nasional turun hingga 11,5 persen atau setara 7 juta ton. Kekeringan kembali terulang pada 2019 yang menyebabkan produksi padi susut 7,8 persen.
Selain kekeringan, tiga bencana lain yang berdampak signifikan adalah banjir, wabah penyakit, dan gempa bumi. Ketiganya menyumbang kerugian sekitar 16 persen secara nasional. Dana iklim sangat berperan penting dalam menuntaskan persoalan tersebut. Indonesia memiliki dua skema pendanaan, yaitu pendanaan dalam dan luar negeri.
Selain kekeringan, tiga bencana lainnya yang juga berdampak signifikan bagi masyarakat dan juga sosial-ekonomi daerah adalah banjir, wabah penyakit, dan gempa bumi. Secara nasional, ketiganya menyumbang kerugian hingga 16 persen. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, dibutuhkan alokasi anggaran yang relatif besar sehingga peranan dana iklim sangat krusial dalam upaya mitigasi ini.
Secara umum, Indonesia memiliki dua skema pendanaan iklim, yaitu pendanaan dari dalam negeri dan luar negeri. Pendanaan iklim dari dalam negeri bersumber dari APBN dan juga kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Berdasarkan laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020 oleh Kemenkeu RI, alokasi anggaran perubahan iklim per tahunnya mencapai kisaran Rp 102 triliun.
Untuk pendanaan dari luar negeri berasal dari kucuran sejumlah lembaga, seperti Adaptation Fund (AF), Global Environment Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), dan Development Finance Institution (DFI). Awal tahun 2023, Indonesia menerima pencairan pertama dana senilai 46 juta dollar AS atau setara Rp 718,5 miliar. Dana ini masih sekitar 44 persen dari total komitmen dana GCF yang mencapai 103,8 juta dollar AS. Dana itu merupakan penghargaan atas keberhasilan penurunan emisi dari sektor kehutanan Indonesia periode 2014-2016.
Selain penghargaan reduksi emisi karbon itu, pada periode 2022-2026 Indonesia akan menerima dana dari GEF sebesar 103,65 juta dollar AS atau setara Rp 1,6 triliun. Dana ini dialokasikan untuk keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan degradasi lahan. Pendanaan tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti India, China, dan Brasil yang juga mendapat suntikan dana dari GEF.
Sumber pendanaan iklim untuk Indonesia masih sangat terbuka lebar. Beragam skema pendanaan tersedia dari berbagai lembaga dan yang terbaru adalah loss and damage fund. Peluang ini sangat terbuka lebar karena Indonesia memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan ekologi global. Indonesia memiliki luasan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dan keanekaragaman hayati terumbu karang terkaya sejagat membuat peluang pendanaan itu sangat besar bagi Indonesia.
Perubahan iklim menjadi salah satu tantangan besar pembangunan nasional. Selain ketidakpastian berbagai sektor perekonomian, perubahan iklim mampu mendorong pada titik nadir pembangunan. Oleh karena itu, skema pendanaan iklim menjadi salah satu pilar yang mampu memitigasi ketidakmampuan negara dalam membiayai kerusakan dan kerugian krisis iklim.
Setidaknya ada tiga tantangan terbesar Indonesia dalam mengantisipasi ancaman krisis iklim. Pertama, menciptakan infrastruktur baru yang lebih tahan perubahan ekologis. Kedua, membuat skema manajemen sumber daya air yang memiliki daya resiliensi lebih tinggi. Artinya, ada siklus manajemen yang berorientasi pada keberlanjutan kualitas sumber daya air. Tantangan terakhir adalah penguatan sistem peringatan dini secara nasional.
Salah satu tujuan pemetaan tantangan terbesar itu adalah menekan dampak kehilangan secara valuasi ekonomi yang jauh lebih besar. Oleh sebab itu, perlu segera melakukan upaya mitigasi guna memperbaiki kualitas lingkungan. Semua upaya ini dapat ditempuh secara optimal melalui perencanaan keuangan yang tepat.
Apabila Indonesia melewatkan kesempatan memperbaiki kualitas lingkungan di tengah krisis iklim ini, ratusan triliun rupiah akan hilang. Kajian Bappenas dalam dokumen Climate Resilience Development Policy 2020-2045 menunjukkan bahwa kerugian finansial karena krisis iklim hingga tahun 2024 mencapai Rp 544,93 triliun. Perhitungan tersebut didasarkan pada empat sektor utama, yaitu pesisir, air, pertanian, dan kesehatan.
Apabila didetailkan hingga level provinsi, wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menjadi provinsi paling terdampak dan mengalami kerugian terbesar secara finansial. Bila dipilah berdasarkan sektornya, Jatim, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur menjadi provinsi paling terdampak untuk sektor perikanan dan kelautan.
Sementara itu, untuk sektor sumber daya air, wilayah Papua, Kalimantan Barat, dan Kaltim menjadi provinsi paling dirugikan. Selanjutnya, untuk sektor pertanian, khusus di wilayah Jabar, Jatim, dan Jateng sebagai provinsi terdampak paling besar diperkirakan akan kehilangan valuasi ekonomi hingga sekitar Rp 35 triliun. Terakhir, sektor kesehatan akan menyumbang kerugian finansial hingga hampir Rp 14 triliun, terutama di wilayah Jatim, Kalbar, dan DKI Jakarta.
Dengan kian besarnya potensi krisis iklim di masa depan, tantangan Indonesia akan semakin berat. Oleh karena itu, perencanaan pendanaan iklim di level nasional harus tuntas dan menyasar ke seluruh sektor pembangunan dan perekonomian. Dengan alokasi sumber dana yang memadai, akan tercipta langkah mitigasi yang optimal sehingga akan mendorong kemajuan ekonomi berkelanjutan berwawasan lingkungan.