Risiko ketidakpastian global masih terus berlangsung hingga kini. Kondisi eksternal itu berpotensi memengaruhi kinerja ekonomi nasional yang dapat berimbas pada iklim usaha dan penyerapan tenaga kerja.

Upaya pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran patut diapresiasi. Di tengah ketidakpastian global dan gempuran teknologi yang kian masif, pemerintah terus berupaya mendorong penciptaan lapangan kerja. Sektor padat karya terus dikedepankan di tengah tingginya investasi yang cenderung mengarah pada sektor padat modal.

Awal tahun 2023 pemerintah menorehkan sejumlah kinerja positif dalam hal ekonomi. Salah satunya dalam hal mengatasi masalah pengangguran. Hal ini tergambar dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat angka pengangguran nasional turun. Pada Februari 2023, angka pengangguran susut menjadi 5,45 persen dari periode yang sama tahun lalu yang masih sebesar 5,83 persen.

Penurunan tersebut terjadi seiring dengan kondisi perekonomian nasional yang kian membaik setelah pandemi Covid-19 melandai. Masih merujuk pada data BPS, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen pada triwulan pertama tahun ini. Naik tipis dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,01 persen. Kenaikan ini salah satunya ditopang oleh aktivitas masyarakat yang kembali normal sehingga mendorong kembalinya percepatan perputaran ekonomi. Hal ini turut berimbas positif bagi sisi ekonomi makro, salah satunya mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja.

Kinerja positif tersebut senada dengan penilaian masyarakat atas kondisi ekonomi saat ini yang terekam dalam Survei Konsumen oleh Bank Indonesia. Publikasi terbaru menunjukkan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) saat ini dalam hal ketersediaan lapangan kerja mencapai 118,1 pada April 2023. Ini menandakan bahwa ketersediaan lapangan kerja berada dalam fase ekspansif lantaran melampaui angka 100. Capaian IKE tersebut menjadi yang tertinggi selama beberapa tahun ini. Tak hanya setelah pandemi Covid-19 melandai, tetapi juga yang tertinggi tercatat sejak Januari 2012. Dapat dikatakan bahwa capaian kali ini cukup impresif.

Melihat fakta tersebut, publik pun turut mengapresiasi kinerja pemerintah yang terekam dalam hasil survei Litbang Kompas periode Mei 2023. Sekitar 43,8 persen responden menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’Aruf Amin dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan mengatasi pengangguran.

Dibandingkan survei sebelumnya, apresiasi publik terhadap pemerintah dalam mengatasi pengangguran konsisten meningkat. Dalam dua periode survei sebelumnya, apresiasi publik terus beranjak naik, dari 38,3 persen pada Oktober 2022 menjadi 42,6 persen pada Januari 2023.

Catatan

Kendati demikian, penanganan penganggur di Tanah Air belum sepenuhnya tuntas. Meski menurun, penganggur masih ada. Jumlahnya hampir 8 juta pada periode Februari 2023. Bahkan, tak sedikit penduduk dengan skala pendidikan relatif tinggi pun menyandang status sebagai penganggur.

Berdasarkan data publikasi Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia edisi Agustus 2022, BPS, sekitar 9,8 persen penganggur berlatar pendidikan perguruan tinggi. Proporsinya beragam, mulai dari lulusan diploma 1 hingga sarjana serta tingkatan jenjang di atasnya.

Jika digabungkan dengan jenjang sekolah menengah atas atau sederajat, proporsinya jauh lebih besar lagi. Sekitar 59 persen dari total jumlah penganggur yang mencapai 8,4 juta orang berasal dari tingkat pendidikan ini. Ironisnya, lulusan sekolah kejuruan yang notabene memang diarahkan untuk segera bekerja pun belum semua terserap lapangan pekerjaan.

Oleh sebab itu, tak dapat disangkal apabila di balik peningkatan apresiasi atas kinerja pemerintah dalam mengatasi pengangguran itu masih terekam adanya ketidakpuasan. Survei Litbang Kompas menemukan, proporsi responden yang tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam hal tersebut masih lebih besar, yakni 49,2 persen atau hampir separuh responden yang diteliti.

Ketidakpuasan yang menyiratkan kekecewaan itu lebih banyak datang dari kelompok Generasi Y dan Generasi X. Derajat ketidakpuasan kelompok ini lebih dari 50 persen. Menjadi tak terbantahkan lantaran kelompok ini merupakan kelompok usia produktif yang idealnya bekerja. Kelompok ini juga pada umumnya sudah berumah tangga dan memiliki tanggungan ekonomi yang lebih besar sehingga ketersediaan lapangan kerja menjadi salah satu prioritas yang ingin diraihnya.

Ketidakpuasan itu juga disuarakan Generasi Z yang merupakan gabungan antara usia produktif bekerja dan usia penduduk yang tengah menyelesaikan pendidikan tinggi. Kendati derajat ketidakpuasannya tidak setinggi generasi sebelumnya, perihal ketersediaan lapangan kerja juga cukup menjadi fokus. Berbeda halnya dengan kelompok baby boomers yang didominasi kelompok nonproduktif, dengan hanya 39 persen yang merasa tidak puas. Hal ini patut dimaklumi karena generasi baby boomers umumnya sudah memasuki masa pensiun sehingga lapangan pekerjaan tidak menjadi prioritas bagi mereka.

Secara umum, penilaian publik terhadap kesempatan bekerja di Indonesia semakin tinggi seiring membaiknya perekonomian nasional. Hanya saja, risiko ketidakpastian global yang saat ini masih terus berlangsung tetap harus menjadi perhatian bersama. Pasalnya, kondisi eksternal itu berpotensi memengaruhi kinerja ekonomi nasional yang tengah berbenah saat pandemi melandai.

Hingga saat ini, perekonomian nasional memang dinilai masih relatif lebih aman jika dibandingkan dengan negara lain, terutama negara-negara maju. Namun, lesunya ekonomi global berpotensi membuat kinerja ekspor Tanah Air dapat terganggu sehingga berdampak pada perlambatan sektor industri dan juga distribusi barang-jasa secara nasional. Pada gilirannya, dapat berimbas pada bidang ketenagakerjaan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja.

Investasi

Melihat fakta tersebut, pemerintah harus memasang kuda-kuda yang lebih kuat agar kinerja yang relatif sudah membaik ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Selama ini, investasi selalu menjadi tameng untuk mengatasi masalah pengangguran. Pasalnya, dengan masuknya investasi, terbuka peluang penciptaan lapangan kerja dari investasi tersebut, baik formal maupun informal.

Meski demikian, kondisi saat ini relatif berbeda dengan situasi sebelumnya. Tingginya investasi tak selalu berbanding lurus dengan tingginya penyerapan tenaga kerja. Jika dirata-rata, laju pertumbuhan investasi sepanjang tahun 2020-2023 (triwulan I) sebesar 3,8 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan tenaga kerjanya hanya sekitar 1,5 persen atau separuhnya. Fenomena ini salah satunya disebabkan oleh penurunan serapan tenaga kerja ketika masa pandemi. Namun, seiring pemulihan yang kian membaik, terjadi rebound penyerapan tenaga pada beberapa triwulan terakhir.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, relatif terlihat nuansa perbedaan dalam hal jumlah investasi dan serapan tenaga kerja. Sebagai contoh, pada triwulan IV-2017, dengan realisasi investasi Rp 179,6 triliun, terjadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 350.399 orang. Namun, kini dengan capaian investasi yang melonjak hampir dua kali lipatnya, hanya terjadi penyerapan tenaga kerja dengan jumlah yang hampir sama dengan masa tahun 2017.

Fenomena tersebut mengindikasikan telah terjadi pergeseran arah investasi yang masuk ke Indonesia. Investasi yang masuk lebih banyak menyasar pada sektor padat modal, bukan padat karya. Sektor padat modal ini sarat dengan teknologi mutakhir yang minim keterlibatan manusia dalam proses produksi. Berbeda dengan sektor padat karya yang membutuhkan banyak manusia untuk terlibat di dalamnya dalam menciptakan suatu komoditas.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, dari Rp 328,9 triliun investasi yang masuk ke Indonesia, sebagian besar (14 persen) dialokasikan untuk industri logam dasar dan barang logam. Selanjutnya, disusul investasi di sektor lain, seperti transportasi dan pergudangan; pertambangan; perumahan, kawasan industri, dan perkantoran; serta industri kimia dan farmasi.

Sejumlah sektor tersebut, khususnya industri pertambangan dan industri logam, lebih banyak menggunakan teknologi, bukan lagi tenaga manusia. Pasalnya, serapan tenaga kerja atas investasi yang masuk pada kedua sektor industri itu tidak selalu besar.

Hal tersebut perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah agar investasi yang kian meningkat itu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan demikian, angka pengangguran dapat terus berkurang dan kesejahteraan rakyat dapat terus ditingkatkan.

Apalagi, publik saat ini tengah meyakini bahwa kondisi ekonomi ke depan akan lebih baik, tak terkecuali dalam hal penyediaan lapangan kerja. Seperti tergambar dari hasil survei konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan indeks ketersediaan lapangan kerja di masa mendatang mencapai 136,5. Artinya, ada harapan dan optimisme besar dari publik agar pemerintah dapat mendorong menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih besar lagi. Jika hal itu terwujud, niscaya apresiasi publik kepada pemerintah pun akan terus meningkat.