Meski tidak mengubah substansi dan sistem penyelenggaraan pemerintah desa, revisi UU Desa diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan terbaru mengenai potensi dan masalah yang dihadapi desa.
Oleh SAMPEAN
Sembilan tahun usia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah memberikan dampak yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan perdesaan. Capaian keberhasilan tersebut diukur berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) dengan tiga kategori, yakni indeks ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Data IDM menunjukkan bahwa perbaikan dari tahun 2019 hingga 2021, dengan penurunan desa yang sangat tertinggal menjadi 1.285 desa (2,05 persen) pada 2021. Desa yang tertinggal juga berkurang menjadi 9.585 desa (15,32 persen) pada tahun yang sama. Desa yang maju dan mandiri meningkat, dengan 14.105 desa (22,55 persen) yang maju dan 3.079 desa (4,92 persen) yang mandiri pada 2021. IDM menunjukkan tren positif dalam perbaikan pembangunan desa dari tahun 2019 hingga 2021.
Keberhasilan capaian pembangunan desa berbasis IDM tidak diikuti dengan penurunan tingkat ketimpangan di perdesaan berdasarkan pengukuran Indeks Gini (Gini Ratio Index). Sejak UU Desa ditetapkan pada 2014, tingkat ketimpangan perdesaan masih tinggi. Menurut data BPS tahun 2023, angka ketimpangan tertinggi pada 2022 sebesar 0,44 lebih besar dari tahun 2014 yang 0,43. Bahkan, angka tersebut lebih tinggi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Kemudian, penurunan angka kemiskinan juga relatif lambat. Pada 2014 angka kemiskinan perdesaan 17,37 juta jiwa (13,76 persen), sedangkan tahun 2022 sebanyak 14,38 juta jiwa (12,36 persen). Sejak 2014 sampai 2022, angka kemiskinan di perdesaan hanya berkurang 1,4 persen. Pada periode yang sama tahun 2022, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 0,04 juta orang. Jumlah penduduk miskin meningkat dari 14,34 juta orang pada Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang pada September 2022.
Peningkatan angka ketimpangan di perdesaan berbanding lurus dengan peningkatan kemiskinan di perdesaan. Ketimpangan kian menganga antara golongan miskin dan kaya. Hal ini dikonfirmasi dengan angka kemiskinan yang meningkat di perdesaan. Kondisi ini menandakan bahwa pembangunan desa dengan Dana Desa belum tepat sasaran.
Pembangunan desa tidak menyentuh masyarakat berkategori rentan. Sementara terdapat kecenderungan penguasaan kapital terpusat pada golongan kaya di perdesaan. Asumsi ini diperkuat dengan nilai Indeks Gini sebelum penetapan UU Desa tahun 2013 hanya 0,32 dan pada 2009 sebesar 0,29 (BPS 2013). Data ini menunjukkan bahwa Dana Desa yang berasal APBN berkontribusi terhadap ketimpangan di desa karena hanya dinikmati oleh kelompok tertentu dan tidak berhasil mendorong roda ekonomi perdesaan.
Peningkatan ketimpangan dan kemiskinan juga dipengaruhi oleh sistem tata kelola pemerintahan desa yang buruk jika dilihat dari jumlah kepala desa yang terjerat perkara kasus korupsi sebanyak 601 perkara dan aparat desa 686 perkara. Perkiraan kerugian negara sebesar Rp 433,8 miliar (KPK, 2023).
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga merilis kasus korupsi di desa pada 2021 berbasis sektoral. Data menunjukkan bahwa sektor keuangan Dana Desa berkontribusi paling banyak kasus korupsi sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian Rp 233 miliar, sektor pertanahan 21 kasus dengan potensi kerugian Rp 25 triliun, serta sektor pemerintahan 52 kasus.
Seharusnya ketiga permasalahan tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya inisiatif revisi UU Desa. Selain, peningkatan eskalasi konflik sosial pemilihan kepala desa dan konsolidasi kepala desa dalam merencanakan pembangunan desa. Berdasarkan alasan tersebut, penting kiranya menelisik substansi dan prospek hasil revisi UU Desa sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi desa saat ini.
Revisi UU Desa sebagai solusi permasalahan yang dihadapi desa selama ini. Revisi tersebut menawarkan tiga perubahan substantif. Pertama, perbaikan sistem tata kelola pemerintahan dan kedudukan desa menyelenggarakan dan memberdayakan masyarakat desa. Penguatan kedudukan desa dengan penambahan poin pada UU Desa asas legislasi. Asas ini memberikan kekuatan dan kewenangan kepada pemerintah desa merumuskan aturan yang berlaku di desa.
Kedua, penambahan legalisasi pada pasal asas juga perubahan redaksional Pasal 4 Huruf b memperkuat kedudukan desa dengan merevisi dengan memberikan kejelasan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Serta, Pasal 26 poin 1 kepala desa memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat di desa.
Perubahan substantif ketiga yang mendapatkan perhatian publik, yaitu Pasal 39 tentang penambahan masa jabatan kepala desa sembilan tahun dan Pasal 72 tentang peningkatan anggaran Dana Desa. Poin ketiga pada dasarnya mendukung perubahan substansi sebelumnya dengan mendorong peningkatan kesejahteraan kepala desa dan aparat desa, serta memperkuat peran desa sebagai pemrakarsa pembangunan.
Namun, ketiga perubahan substantif tersebut pada dasarnya tidak mengubah substansi dan sistem penyelenggaraan pemerintah desa pada UU Desa sebelumnya. Meskipun begitu, hasil revisi UU Desa memberikan prospek yang baik.
Prospek revisi UU Desa
Revisi UU Desa adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan kerangka hukum yang mengatur kewenangan dan tugas pemerintah desa, alokasi dana pembangunan desa, status kepala desa dan perangkat desa, operasional pemerintah desa, kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, arah pembangunan, serta pemberdayaan desa. Revisi ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan terbaru mengenai potensi dan masalah yang dihadapi desa, termasuk pengentasan kemiskinan, ketimpangan, dan pencegahan penyelewengan anggaran dan kewenangan.
Revisi UU Desa memperkuat kedudukan dan kewenangan desa dalam pengambilan keputusan dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa serta kepentingan masyarakat desa. Penguatan tersebut diharapkan mempertajam operasional dan keputusan-keputusan pemerintah desa dalam menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan desa.
Hasil revisi juga diharapkan mampu mengatasi krisis perdesaan. Krisis perdesaan, menurut Shohibuddin (2013), pada dasarnya adalah persoalan struktural ditandai dengan penurunan kapasitas sistem sosial ekonomi dan ekologi perdesaan menyediakan kebutuhan pangan.
Penyelesaian krisis perdesaan, ketimpangan, kemiskinan, dan korupsi, menurut Sjaf (2019), pengimplementasian sistem tata kelola yang baik yang menjadi pertaruhan dalam menjaga kelestarian sistem nilai sosial-budaya yang hidup di masyarakat desa. Revisi atas UU Desa sebaiknya membawa kepatuhan terhadap adat, solidaritas ekonomi, dan kolektivitas.
Selain itu, revisi UU Desa harusnya meletakkan sistem tata kelola demokrasi yang baik yang mengedepankan musyawarah dan mufakat, bukan demokrasi prosedural. Revisi ini juga harus mempertegas sistem pemanfaatan data yang aktual dan presisi dalam perencanaan dan pembangunan desa.
Prospek dari hasil revisi UU Desa tidak disertai dengan perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan desa. Rancangan revisi UU Desa tidak ada satu pun poin yang memuat perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pengembangan masyarakat berbasis komunitas, serta pengaturan dan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan. Pada akhirnya, revisi UU Desa tidak mengubah apa pun kecuali lama jabatan kepala desa dan kenaikan anggaran dana desa.
Sampean, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University; Pegiat Data Desa Presisi IPB University