Sejumlah kota besar di dunia telah menerapkan pembagian waktu masuk jam kerja perkantoran untuk mengurai kemacetan. Langkah ini rencananya juga akan diterapkan di Jakarta.

Oleh Debora Laksmi Indraswari

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membagi jam masuk kerja untuk mengurai kemacetan. Strategi demikian telah diterapkan di sejumlah negara dan relatif berhasil mengatasi persoalan sepanjang didukung layanan transportasi publik yang memadai. Selain itu, juga ditopang kebijakan lain yang mendukung.

Rencana Pemprov DKI Jakarta itu kian melengkapi sejumlah kebijakan dalam mengurai kemacetan yang telah dilakukan. Harapannya, upaya ini mampu mengatasi masalah kemacetan di ibu kota yang disulit dikendalikan.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman menyebutkan bahwa indeks kemacetan di Ibu Kota saat ini sudah melebihi 50 persen. Prakiraan tersebut kemungkinan akan melebihi situasi pada tahun 2019, di mana skor indeks kemacetan kala itu mencapai 53 persen.

Melihat situasi jalanan yang tidak kunjung membaik tersebut, Pemprov DKI Jakarta mencoba menerapkan model intervensi baru dalam pengaturan lalu lintas. Salah satu yang disasar dalam rencana kebijakan ini adalah pengguna jalan raya terutama dari kelompok pekerja. Mobilitas DKI Jakarta yang didominasi oleh pergerakan masyarakat pekerja pada waktu-waktu tertentu menjadi peluang bagi pemda untuk mencoba memanfaatkan celah tersebut. Caranya dengan mengatur jam masuk kerja bagi para pekerja kantoran. Rencana ini akan diujicobakan terlebih dahulu pada pegawai ASN Pemprov DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 70.000 orang.

Menurut rencana, jam masuk kerja dibagi menjadi dua, yakni pukul 08.00 dan pukul 10.00 WIB. Harapannya, lalu lintas masyarakat yang berangkat kerja tidak menumpuk di satu waktu seperti biasanya sehingga menjadi lebih terurai.

Sebagai gambaran, menurut situs Tomtom.com, puncak kemacetan di Jakarta pagi hari terjadi pada pukul 08.00. Dengan pengaturan jam kerja tersebut, harapannya masyarakat yang biasanya memulai perjalanan sebelum pukul 08.00 dapat beralih untuk memulai perjalanan setelah pukul 08.00.

Begitu pula dengan mobilitas di sore hari. Waktu kepulangan pekerja di sore hari direncanakan juga akan terbagi sehingga lalu lintas kendaraan pekerja bisa tersebar dan tidak memuncak pada pukul 17.00-18.00.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XQcZ8J5iQtl_XudPnZ7MKsdQf9c=/1024x2022/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F09%2Fc567bf8b-bde5-4b95-b903-5e31b5aeabfb_png.png

Meskipun rencana itu mengundang reaksi pro dan kontra, kebijakan pengaturan jam kerja tersebut memang potensial menjadi salah satu alternatif penerapan transportation demand management (TDM). Tujuan dari TDM sendiri adalah mengurangi perjalanan kendaraan pada puncak-puncak mobilitas dengan berbagai strategi seperti pengaturan jadwal atau waktu kerja.

Setidaknya ada tiga alternatif pengaturan jadwal kerja untuk mengurangi kepadatan mobilitas. Pertama, staggered work hours, yaitu pengaturan jam masuk dan pulang kerja berurutan pada sekelompok pekerja. Kedua, compressed work week, yaitu pekerja bekerja dengan waktu penuh dalam beberapa hari kerja. Ketiga, flexible work hours yang membebaskan pekerja untuk memilih jadwal kerjanya sendiri.

 

Penerapan negara lain

Strategi yang rencananya akan diuji coba di Jakarta adalah alternatif cara pertama, yaitu staggered work hours. Ada beberapa kota di sejumlah negara yang telah menerapkan kebijakan tersebut.

Pada tahun 1970, Badan Otoritas Pelabuhan New York dan New Jersey berkoordinasi dengan The Downtown-Lower Manhattan Association (D-LMA) menginisiasi Straggered Work Hours Program (SWHP). Program ini diimplementasikan pada sekitar 2 juta pekerja di kawasan pusat distrik bisnis itu. Selanjutnya, program ini kemudian diperluas ke pusat kota Manhattan dengan dukungan pemerintah pada tahun 1972.

Dengan penerapan kebijakan itu, setiap perusahaan menerapkan peraturan masing-masing yang disesuaikan dengan arahan pemerintah. Misalnya, salah satu perusahaan industri kimia Union Carbide dan perusahaan ritel Sears, Roebuck and Company, mengubah jam kerjanya dari pukul 09.00-17.00 menjadi pukul 08.30-16.30 waktu setempat. Pengaturan jam kerja yang lebih fleksibel juga dilakukan oleh perusahaan pembelajaran McGraw-Hill. Jam kerja diatur dua waktu, yakni pukul 08.30-16.30 dan 09.30-17.30.

Pengaturan pola jam kerja dengan model staggered work hours tersebut juga dilakukan di Honolulu, Hawaii, pada tahun 1988. Dalam riset berjudul ”Staggered Work Hours for Traffic Management: A Case Study”, jam masuk kerja pada perkantoran baik di tingkat negara bagian, kota ataupun kabupaten, diubah mundur 45 menit untuk mengurangi puncak kemacetan. Setidaknya 3.500-7.100 pekerja terlibat dalam program tersebut selama empat minggu.

Di Beijing, China, upaya serupa dilakukan untuk mengatasi kemacetan pada acara-acara tertentu. Kebijakan itu diterapkan melalui aturan jam kerja fleksibel. Saat Olimpiade Beijing 2008, ada pengaturan jam kerja di mana perusahaan umum menerapkan jam kerja dari pukul 08.30 hingga pukul 17.30. Sementara itu, untuk perusahaan swasta, jam kerja diatur dari pukul 09.00 hingga pukul 18.00 waktu setempat.

Ketiga kebijakan tersebut dinilai relatif berhasil mencapai targetnya, yaitu mengurangi kemacetan di kota-kota besar. Di Manhattan, Amerika Serikat, keberhasilan itu terlihat dari survei evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat tentang dampak kebijakan terhadap penurunan kemacetan. Hasilnya, terdapat penurunan berkelanjutan sebesar 26 persen saat puncak keramaian mobilitas selama 15 menit di tiga stasiun transit subway tersibuk. Penurunan kepadatan mobilitas itu ditandai dengan berkurangnya jumlah penumpang dari 17.658 orang menjadi 13.074 orang.

Selain mobilitas menurun, dampak lain yang terasa adalah berkurangnya waktu perjalanan. Di Honolulu, misalnya, rata-rata waktu perjalanan berkurang 3-4 menit dari rata-rata lama perjalanan 45 menit. Artinya, ada sejumlah pekerja yang menghemat waktu tempuh perjalanannya.

Sementara itu, di Beijing, program jam kerja fleksibel membuat Indeks Performa Lalu lintas (Traffic Performance Index/TPI) berkurang 3 persen pada pagi hari dan 14 persen pada sore hari. Waktu puncak kemacetan tidak banyak berubah, yakni dari pukul 07.45 menjadi 08.00 waktu setempat. Namun, lama durasi dari puncak kemacetan itu sedikit lebih lama dari biasanya.

 

Tantangan

Dari keberhasilan tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pelajaran sekaligus tantangan bagi implementasi pengaturan jam kerja untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Pertama, riset berjudul ”Work Schedule Change to Reduce Peak Transportation Demand” menegaskan bahwa keberhasilan program itu perlu didukung oleh banyaknya partisipan dan program promosi. Misalnya, di New York dan New Jersey tercatat ada lebih dari 400 organisasi dan 220.000 lebih pekerja yang terlibat.

Para partisipan itu tidak hanya sebatas dari perkantoran dan pekerja yang terlibat, tetapi mencakup subyek yang lebih luas. Beberapa di antaranya sektor perbankan, restoran, dan logistik. Industri jasa perlu menyesuaikan jam buka usahanya lebih awal agar dapat melayani para pekerja yang beralih jam kerjanya lebih awal. Hal tersebut sekaligus menjadi dukungan dan promosi secara tidak langsung atas program pengaturan jam kerja.

Selain itu, perubahan waktu kerja juga perlu didukung dengan ketersediaan transportasi publik yang mengikuti perubahan tersebut. Jika perubahan waktu kerja akan mengubah puncak kepadatan mobilitas, jadwal kereta dan bus juga perlu menyesuaikan dengan pengaturan jam kerja yang baru. Ada baiknya pula transportasi publik ditambah supaya dapat mengakomodasi permintaan perjalanan yang semakin beragam jadwalnya.

Baca juga: Tepatkah Kebijakan ERP Diberlakukan di DKI Jakarta?

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/7DCE48ktr1rXgESewHB0LSEQlWE=/1024x1855/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F10%2Fdf804110-b068-429c-b4bd-e09890d9f275_png.png

Melihat implementasi pengaturan jam kerja di sejumlah negara itu dapat disimpulkan bahwa rencana tersebut membutuhkan dukungan dari berbagai kebijakan lainnya. Strategi itu terbukti cukup efektif mengurai kemacetan saat jam-jam sibuk, tetapi tidak benar-benar mengatasi akar permasalahan kemacetan di Jakarta. Sebab, kemacetan dapat diatasi jika penggunaan kendaraan pribadi berkurang secara signifikan.

Oleh karena itu, perlu dukungan strategi lainnya untuk mengurai kemacetan dari kebijakan pengaturan jam kerja tersebut. Upaya alternatif lain untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi seperti pemberlakuan tarif penggunaan jalan dan peningkatan tarif parkir dapat dipertimbangkan. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas dan layanan transportasi yang lebih luas dan murah perlu didorong lebih masif lagi.

Strategi pengaturan jam kerja di Jakarta patut untuk diuji coba mengingat kemacetan yang terus meningkat dan sulit tertangani. Monitoring dan evaluasi terhadap uji coba tersebut harus benar-benar menjadi masukan dan dasar yang kuat bagi kebijakan pemerintah daerah apabila akan dilanjutkan dan diperluas ke instansi lainnya. (LITBANG KOMPAS)