Selama ini upaya pencegahan penyakit belum sepenuhnya menjadi arah pembangunan kesehatan. UU Kesehatan harus mampu mengarahkan konsep pencegahan penyakit dalam level impelentasinya.

Oleh FOTARISMAN ZALUCHU

Penerapan pencegahan dalam kesehatan akan menyelamatkan triliunan rupiah uang negara. Namun, dibutuhkan komitmen dan langkah praktis dibandingkan sekadar menarasikan bahwa Undang-Undang Kesehatan 2023 lebih baik.

Undang-Undang Kesehatan yang baru kabarnya sarat dengan upaya pencegahan. Di media sosial bersirkulasi narasi bahwa UU ini akan jauh lebih baik di dalam menerapkan pencegahan dibandingkan dengan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang digantikannya. Apa pun itu, perlu dipahami bahwa hakikat pencegahan yang sesungguhnya harus dimengerti dengan baik agar UU Kesehatan 2023 tidak sekadar dipuji-puji.

Pengalaman nyata

Ini adalah kisah lapangan saya. Saya sedang melakukan pendidikan nutrisi secara rutin kepada ibu-ibu kelompok tani di salah satu daerah kaya di Pulau Sumatera. Pendidikan nutrisi kami lakukan dalam bentuk pelatihan selama tiga kali pertemuan, isinya tentang konsep makanan sehat, kebutuhan kalori harian, dan prinsip menjaga kesehatan pribadi.

Sembari mengajarkan mereka hal tersebut, kami melakukan pengukuran kesehatan mereka. Betapa terkejutnya kami ketika para ibu yang rata-rata telah berusia di atas 40 tahun tersebut ternyata memiliki kadar kolesterol yang cukup tinggi, tekanan darah yang juga buruk, dan kadar gula darah yang melebihi seharusnya. Lebih terkejut lagi ketika saya menanyakan pada mereka apakah pernah berinteraksi dengan petugas kesehatan dari puskesmas, mereka mengaku sama sekali tidak pernah.

Saya teringat dengan ibu-ibu di wilayah lain, di provinsi yang berbeda. Di sana, kami memberikan pemahaman tentang tengkes (stunting) dan gizi selama hamil. Mereka umumnya ibu hamil atau ibu yang memiliki anak balita. Banyak anak di sana berada dalam kondisi kurus dan terkesan kurang gizi.

Selama pelatihan saya bertanya kepada mereka, apakah mereka pernah menerima penjelasan yang baik mengenai kebutuhan gizi dari petugas kesehatan. Jawaban mereka, tidak pernah. Maka, tak heran jika mereka selama ini mempraktikkan pola pemberian makanan yang buruk, di antaranya memberikan kepada anak balita makanan yang tidak boleh diberikan sebelum waktunya.

Dua contoh di atas memberikan bukti konkret bahwa istilah pencegahan belum sepenuhnya menjadi arah pembangunan kesehatan. Masih banyak pengalaman lain jika harus dijadikan contoh bahwa konsep pencegahan dalam pelayanan kesehatan sebenarnya telah diabaikan selama ini.

Dampak

Tanpa strategi pencegahan yang baik dan implementatif, derajat kesehatan masyarakat akan memburuk dan untuk membuktikannya sangat mudah.

Lihat saja hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Laporan tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penderita stroke, penyakit ginjal, penyakit diabetes, dan hipertensi dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Peningkatan penderita penyakit-penyakit ini jelas memperlihatkan bahwa pencegahan ternyata tidak berjalan meski sebenarnya telah diamanatkan dalam UU Kesehatan dan berbagai macam peraturan menteri.

Dengan kata lain, jika saja upaya pencegahan telah dilaksanakan dengan semestinya, tidaklah mungkin terjadi peningkatan masalah penyakit tidak menular tersebut, yang berdasarkan data telah pula mengakibatkan bencana bagi BPJS. Kisah yang disampaikan oleh kelompok ibu-ibu tani di atas memperlihatkan kesenjangan yang begitu besar antara amanah UU dan apa yang seharusnya telah dilakukan.

Demikian juga mengenai nutrisi pada anak balita. Kondisi di mana para ibu tidak pernah berinteraksi dengan pelayanan kesehatan menjelaskan mengapa lebih dari 20 persen anak balita di Indonesia masih berada dalam keadaan tengkes dan 18 provinsi berada di atas angka tengkes nasional. Hal ini juga bicara soal pencegahan yang diabaikan. Andai saja program pencegahan telah dilakukan, tidaklah mungkin masalah tengkes terjadi secara masif seperti sekarang ini. Tentu ada yang absen di lapangan yang menyebabkan prevalensi tengkes ini begitu tinggi.

Sebagai sebuah dampak, penyakit tidak menular dan tengkes, dua hal yang menjadi ilustrasi dalam tulisan ini, bukan fenomena yang terjadi akibat kondisi kemarin. Tidak. Dibutuhkan waktu yang cukup lama sebelum kejadian tersebut berakhir menjadi penyakit. Dengan kata lain, selama ini kita pembangunan kesehatan kita tidak pernah serius di dalam mencegah penyakit. Penyakit dibiarkan datang begitu saja dengan upaya yang dapat dikatakan sebagai pencegahan tipis-tipis alias asal-asalan.

Pencegahan versi kita

Padahal, dalam UU Kesehatan yang lama, telah diamanatkan mengenai arah upaya kesehatan. Arah utama tertulis dengan jelas yaitu bahwa pencegahan penyakit haruslah lebih penting daripada pengobatan. Konsekuensinya, seharusnya program-program kesehatan kita berisi layanan kepada masyarakat pada tingkat hulu, di mana saat penyakit masih belum terjadi, agar masyarakat memiliki perilaku yang positif, mempertahankan cara hidup yang baik dan benar sehingga penyakit dapat dicegah.

Untuk melakukan pencegahan, pemerintah seharusnya memiliki banyak opsi selain pendidikan dan pelatihan seperti yang kami lakukan di atas. Ada kampanye massal, kampanye bersifat individu, konseling, bahkan perlombaan pun dapat dijadikan alat mempromosikan pencegahan penyakit.

Nyatanya, setidaknya dari dua pengalaman yang saya ungkapkan, pekerjaan-pekerjaan pencegahan penyakit itu tidak berjalan dengan baik. Masyarakat justru tidak pernah mendapatkan pendidikan kesehatan sebagai bagian dari upaya pencegahan ini.

Miris. Namun, itulah yang terjadi. Justru saat ini orientasi pembangunan kesehatan lebih didominasi oleh upaya pengobatan. Puskesmas dibangun megah dengan fasilitas kapasitas sebagai rawat inap. Tenaga kesehatan terkuras tenaganya dalam melakukan pelayanan di dalam gedung puskesmas. Pengadaan sarana kesehatan lebih banyak yang berorientasi pada kebutuhan orang sakit.

Alhasil, mereka yang berada di rumah-rumah, di lokasi permukiman, di pasar, di sekolah-sekolah, terabaikan perilakunya. Mereka tidak dianggap penting untuk dipertahankan atau ditingkatkan kualitas kesehatannya agar tidak jatuh sakit. Ibu-ibu yang saya ceritakan di atas dibiarkan mengonsumsi makanan yang tidak sehat, dibiarkan melakukan praktik kesehatan yang buruk, dibiarkan tidak pernah memeriksa kesehatan anak balitanya.

Layanan yang sifatnya pencegahan kesehatan memang sangat memprihatinkan. Benar bahwa terkadang petugas kesehatan datang menemui masyarakat, tetapi bukan untuk memberikan pendidikan kesehatan yang konsisten, baik, dan penuh kesungguhan. Sering hanya demi menunaikan instruksi dari Kementrian Kesehatan atau program rutin yang telanjur masuk dalam APBD.

Pencegahan yang dimaksud pun hanya bersifat penyuluhan, di mana petugas datang hanya untuk mengumpulkan masyarakat. Di acara kumpul-kumpul tersebut, petugas bicara tanpa teknik komunikasi yang baik. Sementara masyarakat yang datang pun manggut-manggut hanya nurut.

Saya pernah bertanya kepada seorang pejabat dinas kesehatan, mengapa mereka tidak melakukan upaya pendidikan kepada masyarakat di malam hari atau di hari Minggu? Bukankan hal itu jauh lebih strategis, setidaknya lebih menyesuaikan diri dengan situasi sosial di masyarakat. Jawabannya sederhana: karena jam kegiatan tersebut berada di luar jam kerja pegawai dan dinas kesehatan tidak punya anggaran bagi petugas untuk melakukan kegiatan tersebut.

Itulah konsep pencegahan tipis-tipis yang selama ini kita saksikan. Pelatihan nutrisi, misalnya, malah membagi-bagikan kue-kue tinggi kadar gula kepada peserta. Di akhir acara, foto-foto dokumentasi dilaksanakan, absensi diisi, laporan dibuat.

Dampak dari diabaikannya pencegahan telah menyebabkan kerugian yang begitu masif dengan datangnya penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Laporan The Lancet Februari 2023 menunjukkan bahwa dampak dari diabaikannya kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI eksklusif telah menyebabkan kerugian ekonomi global senilai 350 miliar dollar AS setiap tahun. Itu adalah akibat penyakit-penyakit yang muncul di kemudian hari pada masyarakat. Sebegitu besar ternyata kerugian yang muncul.

Demikian juga dampak dari diabaikannya pencegahan nutrisi telah menyumbang kehilangan Rp 10 triliun untuk penanganan penderita tengkes dan biaya yang muncul akibat penyakit yang menimpa penderita. Dampak dari pencegahan kejadian penyakit menular telah menyumbang angka setidaknya Rp 5 triliun dalam dua dekade saja sebagai dampak ekonomi pembiayaan penyakit tidak termasuk yang harus ditanggung asuransi kesehatan.

Jumlah itu juga belum termasuk biaya yang ditanggung keluarga dan biaya tidak ternilai lainnya. Itulah kalkulasi kasar dari kerugian ekonomi yang dapat dihitung akibat dari diabaikannya upaya pencegahan dalam pelayanan kesehatan.

Cara yang baik

Di lapangan, agar peserta memahami konsep pencegahan penyakit dan peningkatan gizi, kami kerap memberikan materi dalam bentuk lagu. Kami menggubah lirik lagu yang telah mereka kenal untuk kemudian dinyanyikan dan mudah diingat seusai pelatihan. Kami juga memainkan permainan ular tangga, misalnya, agar suasana belajar peserta menjadi menyenangkan. Selain itu, kami juga memberikan modul-modul bergambar menggunakan bahasa lokal dan ilustrasi sederhana yang kami desain sendiri.

Untuk memantau perubahan perilaku, kami menggunakan kalender kepatuhan yang harus diisi peserta dalam periode tertentu. Demikian juga ketika menyampaikan materi, kami membagi-bagi peserta ke dalam kelompok yang kecil sehingga setiap peserta dapat berinteraksi dengan baik. Tujuan kami adalah mengubah perilaku peserta agar menjadi lebih baik. Itu adalah metode pendidikan kesehatan, sebagai salah satu bentuk pencegahan dari terjadinya masalah kesehatan.

Contoh di atas adalah penjelasan betapa pencegahan harus bersifat konkret ketika dilaksanakan. Melakukannya perlu kesabaran, perlu berulang-ulang. Perubahan perilaku manusia mana bisa dengan pencegahan tipis-tipis belaka.

Mereka yang menjadi target pencegahan harus diketahui perilaku berisikonya sehingga perilaku baru yang diharapkan dapat ditargetkan. Hal-hal inilah yang harusnya dikembangkan pada level lokal. Pemetaan terhadap masalah kesehatan potensial harus dibuat sehingga upaya pencegahannya pun dapat saja bervariasi. Pelatihan-pelatihan kepada para petugas kesehatan yang bertugas untuk melaksanakan upaya pencegahan dalam bentuk pendidikan harusnya diintensifkan apalagi mengingat saat ini telah ada jabatan fungsional yang berhubungan dengan itu.

Pemerintah pusat tidak boleh melepaskan diri. Kementerian Kesehatan seharusnya menciptakan ekosistem bagi munculnya program-program pencegahan penyakit berupa regulasi dan advokasi kepada kepala daerah dan anggota legislatif. Regulasi pencegahan penyakit akibat rokok, sampah, bahkan termasuk regulasi gaya hidup sehat seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelamatkan uang negara di masa depan.

Dengan memahami konsep pentingnya pencegahan di atas beserta dengan ilustrasi wujud konkretnya, akhirnya kita harus mengerti bahwa UU Kesehatan seharusnya memang mampu mengarahkan konsep pencegahan dalam level impelentasinya. Jika tidak, triliunan uang menguap begitu saja akibat kelalaian kita sendiri. Maka, UU Kesehatan yang baru ini jangan hanya memberikan janji manis di kertas.

Fotarisman ZaluchuDosen di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara