Hilangnya alokasi belanja kesehatan wajib dalam UU Kesehatan menimbukan pertanyaan sejauh mana komitmen mayoritas anggota DPR beserta pemerintah pusat untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat Indonesia.

Oleh GN RSI SUWARDANA

Pengalaman pandemi Covid-19 yang kini statusnya diturunkan menjadi endemi membuat reformasi sistem kesehatan nasional menjadi keniscayaan. Pemenuhan dan pemerataan distribusi fasilitas kesehatan yang standar di seluruh pelosok negeri hingga percepatan produksi tenaga medis adalah segelintir pekerjaan rumah yang harus dikerjakan secara berkesinambungan. Berangkat dari upaya reformasi sistem kesehatan, maka lahirlah Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan oleh DPR bersama pemerintah (Kompas, 11/7/2023).

Perdebatan tentang pro dan kontra UU Kesehatan ini sudah berembus sejak medio 2022 saat pertama kali wacana RUU Kesehatan merebak ke publik. Pihak pro dan kontra sama-sama mengklaim argumennya bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Perbedaan dan perdebatan dalam iklim demokrasi adalah wajar. Apalagi perdebatan tentang UU yang berisikan ratusan pasal dan menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia.

Namun, dari sekian topik yang diperdebatkan, ada satu hal yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama untuk menguatkan sistem kesehatan: yakni prioritas pengalokasian dana pada sektor kesehatan. Sayangnya, alokasi belanja kesehatan wajib yang diatur undang-undang—atau yang lebih dikenal dengan mandatory spending—justru tak dicantumkan dalam UU Kesehatan terbaru. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan alokasi belanja wajib kesehatan sebesar 5 persen dari total APBN. Angka ini berhasil dicapai pada tahun 2015 dan terus meningkat menjadi 9 persen pada 2022.

Efisiensi dan peran negara

Pada beberapa kesempatan, baik Menteri Kesehatan maupun juru bicara Kemenkes mengatakan bahwa skema alokasi belanja wajib ini memiliki efisiensi rendah (Kompas, 12/7/2023). Selain itu, Menkes menegaskan bahwa pengeluaran dalam bidang kesehatan tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat. Lebih lanjut, beliau mencontohkan bahwa Amerika Serikat dengan pengeluaran kesehatan yang jauh lebih besar daripada Kuba, tetapi masyarakat AS memiliki angka harapan hidup yang hampir sama dengan Kuba.

Data yang disampaikan oleh Menkes adalah benar. AS adalah contoh teramat buruk bagaimana kegagalan dalam mengelola sistem kesehatan berakibat pada membengkaknya pembiayaan tanpa diikuti dengan peningkatan status kesehatan masyarakat yang signifikan. Para ahli kebijakan kesehatan menunjuk pada tingginya privatisasi sektor kesehatan yang menjadi alasan di balik kegagalan AS.

Namun, analogi kasus AS menjadi keliru ketika direfleksikan kepada kebijakan alokasi belanja kesehatan wajib yang bersumber dari APBN. Seperti yang telah disebutkan di atas, kasus AS adalah tentang privatisasi sektor kesehatan. Sementara alokasi belanja kesehatan wajib yang bersumber dari APBN adalah komitmen negara untuk hadir dan meregulasi sektor kesehatan agar tidak jatuh sepenuhnya dalam mekanisme pasar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/aL757dXYlihuYvyrRvfO-Wg-6e0=/1024x636/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F09%2F21%2F20210921-NSW-RAPBN-2022-Grafik1-mumed_1632237048_png.png

Berbagai studi menunjukkan bahwa alokasi belanja kesehatan wajib dari negara berkorelasi terhadap perbaikan derajat kesehatan suatu masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa peningkatan belanja kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah berkorelasi terhadap meningkatnya angka harapan hidup masyarakat (Political Declaration of The High-level Meeting on Universal Health Coverage, 2019; poin ke-42).

Pengeluaran pemerintah dalam sektor kesehatan diimplementasikan menjadi cakupan kesehatan semesta (universal health coverage) atau yang diterjemahkan di Indonesia menjadi BPJS Kesehatan. Selain itu, alokasi dana pemerintah bermuara pada pembangunan fasilitas kesehatan, pembiayaan program kesehatan masyarakat seperti vaksinasi (imunisasi) dasar bagi bayi, anak balita, dan anak usia sekolah, program pengentasan tengkes (stunting), pengendalian tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, serta lain-lain.

Faktanya, terjadi peningkatan rasio pengeluaran kesehatan terhadap APBN dari 2,7 persen pada 2012 menjadi 4,9 persen pada 2019, dan terus bertambah terutama saat badai Covid-19 menerjang hingga mencapai angka 9,4 persen pada 2022. Dalam kurun waktu yang sama, BPS mencatat angka harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat dari 70,2 tahun menjadi 73,5 tahun.

Berdasarkan data Kemenkes, angka kematian ibu (AKI) menurun dari 305 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2012, menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup pada 2022. Sementara prevalensi tengkes juga menurun dalam rentang waktu 2013 hingga 2021, yakni dari 37,2 persen menjadi 21,6 persen.

Wajib

Untuk menjadi catatan, AKI di Indonesia masih di tergolong tinggi jika dibandingkan dengan target yang dicanangkan, yaitu 70 kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup. Sementara, prevalensi tengkes juga belum mencapai target di bawah 20 persen pada 2024. Angka harapan hidup masyarakat Indonesia juga lebih rendah daripada negara-negara ASEAN seperti Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

WHO merekomendasikan pengeluaran pemerintah dalam bidang kesehatan adalah 15 persen dari total APBN (Deklarasi Abuja, 2001) atau 5 persen dari total PDB (World Health Assembly Report, 2010). Parameter terbaru yang juga direkomendasikan WHO adalah negara mengalokasikan sekitar 86 dollar AS ebagai pembiayaan kesehatan per kapita (Health Financing Working Paper, 2016).

Tidak ada satu pun dari tiga angka rekomendasi WHO yang mampu dicapai Indonesia hingga 2022. Sebagai gambaran, alokasi belanja kesehatan wajib tahun 2022 adalah Rp 256 triliun (9,4 persen dari total APBN atau 1,5 persen dari total PDB).

Sementara menurut Bank Dunia, pengeluaran Pemerintah Indonesia di sektor kesehatan sebesar 73 dollar AS per kapita. Sementara Pemerintah Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam menghabiskan masing-masing 220 dollar AS, 215 dollar AS, 86 dollar AS, dan 75 dollar AS untuk pembiayaan kesehatan per kapita.

Alih-alih dihapuskan, justru alokasi belanja kesehatan wajib seharusnya ditingkatkan untuk mencapai indikator-indikator kesehatan seperti yang telah disebutkan, serta agar mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga. Kekhawatiran akan rendahnya efisiensi serapan anggaran seharusnya dapat diminimalisir dengan pengawasan dan evaluasi yang bertanggung jawab.

Komitmen kesehatan

Penyederhanaan birokrasi untuk mengurus registrasi tenaga medis, mencetak dokter dan dokter spesialis baru, atau memfokuskan kembali tindakan pencegahan pada program kesehatan adalah tujuan mulia yang digagas oleh UU Kesehatan terbaru. Namun, hilangnya alokasi belanja kesehatan wajib dalam UU Kesehatan ini menimbukan pertanyaan sejauh mana komitmen mayoritas anggota DPR beserta pemerintah pusat untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat Indonesia.

Karena UU Kesehatan ini telah disahkan melalui prosedur legislasi DPR bersama pemerintah, maka judicial review adalah langkah konstitusitonal terakhir yang bisa ditempuh oleh segenap elemen masyarakat, mulai dari organisasi-organisasi profesi kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, termasuk minoritas fraksi di DPR yang mengkritik hilangnya alokasi belanja kesehatan wajib. Besar keyakinan penulis bahwa Mahkamah Konsitusi mampu berdiri tegak sebagai penjaga gawang di bawah mistar konstitusi dan mengembalikan alokasi belanja kesehatan wajib dalam UU Kesehatan Sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009.

Perdebatan pro dan kontra tentang langkah dan upaya yang ditempuh untuk mereformasi sistem kesehatan dapat berlangsung jika—dan hanya jika—kedua belah pihak memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hal ini menjadi fondasi penting agar reformasi sistem kesehatan dapat diwujudkan secara optimal.

Sebagai bahan perenungan, sektor kesehatan beririsan langsung dengan kata-kata sakral ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” serta ”memajukan kesejahteraan umum” yang menjadi tujuan dibentuknya negara Indonesia berdasarkan UUD 1945.

GN Rsi SuwardanaDokter Umum; Mahasiswa Doktoral Graduate School of Medicine, Kobe University