Proyek IKN memang tidak wajib patuh pada standar global. Namun, untuk memenuhi ambisi menyejajarkan diri dengan praktik pembangunan yang baik di tingkat global, standar itu perlu dipertimbangakan sebagai ”benchmark”-nya.

Oleh R YANDO ZAKARIA

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ”(Pemindahan ibu kota negara) Ini adalah showcase transformasi Indonesia, showcase perubahan peradaban Indonesia. ...Budaya kerja yang ingin kita bangun di IKN Nusantara adalah budaya kerja produktif. Itu harus didukung oleh tata kelola yang baik, didukung oleh manajemen yang baik, didukung oleh implementasi teknologi yang mumpuni…”.

Terlihat jelas Indonesia ingin menunjukkan diri sebagai negara-bangsa yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Oleh sebab itu, menarik untuk dipertanyakan, apakah proyek pemindahan ibu kota negara itu telah diselenggarakan berdasarkan standar-standar kerja di tingkat global yang dikemas dalam paket ”kerangka pengaman sosial dan lingkungan”?

“International best practices”

Sejak pertengahan tahun 1980, atas desakan berbagai pihak, terutama setelah munculnya laporan Komisi PBB tentang masa depan bumi (1987) dan Earth Summit di Rio Jeneiro pada 1992 tentang pembangunan berkelanjutan, memenuhi kehendak itu, Bank Dunia, misalnya, telah memberlakukan operational procedures yang harus diikuti oleh peminjam ataupun penerima hibahnya. Pada 2018, standar Bank Dunia ini diperbarui melalui paket standar lingkungan dan sosial (environment and social standard/ESS).

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) mengaturnya melalui ADB-SPS 2009. Pedoman ADB ini dilengkapi dengan tiga lampiran yang mengatur hal spesifik tentang masalah lingkungan, pengadaan lahan secara tidak-sukarela, dan masyarakat adat.

Sementara International Finance Corporation mengenalkan dokumen Performance Standart (PS). Sedikit berbeda dengan pedoman dari Bank Dunia, instrumen dari IFC ini terdiri dari delapan PS.

Pada dasarnya, sekadar merujuk tiga kasus di atas, setiap kerangka pengaman lingkungan dan sosial itu, meski bervariasi pengemasannya, mengatur hal yang relatif sama. Merujuk kepada paket Bank Dunia, pengaturan itu mengemas 10 topik pengaturan.

Kesepuluh topik pengaturan itu adalah tentang (1) kajian dan pengelolaan risiko dan dampak lingkungan dan sosial, (2) ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, (3) penghebatan sumberdaya dan pengelolaan pengendalian polusi, (4) kesehatan masyarakat dan keselamatan kerja, (5) pengadaan lahan, pembatasan penggunaan lahan, dan pemukiman kembali secara terpaksa, (6) konservasi keragaman hayati dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan, (7) masyarakat adat; (8) pengelolaan warisan budaya; (9) lembaga perantara keuangan, dan (10) pelibatan para pihak dan keterbukaan informasi.

Tahapan Pembangunan IKN Nusantara (Sumber: Kementerian PUPR)

TANGKAPAN LAYAR

Tahapan Pembangunan IKN Nusantara (Sumber: Kementerian PUPR)

Berbasis HAM

Kerangka pengaman tersebut berpangkal kepada komitmen internasional yang sama sebagaimana dituangkan ke dalam berbagai konvensi Internasional, antara lain Piagam PBB tentang Universal Declaration of Human Rights (1948), Konvensi ILO 111 tentang Discrimination in Employment and Occupation (1958), Konvensi ILO 107 jo ILO 169 (1989) tentang Indigenous Peoples and Tribal Peoples, Earth Summit di Rio De Janeiro (1992), Convention on Biological Diversity (1992), United Nation Declaration of the Rights of Indigenous Peoples (2007), dan Cancun Agreement (2010).

Selain itu, standar berbagai lembaga yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga memberlakukan sejumlah kerangka pengaman yang lebih spesifik. Misalnya, pada 2018 PBB mempromosikan kebijakan tentang protect, respect, and remedy framework for business and human rights sebagaimana diatur dalam dokumen The UN Working Group on Business and Human Rights, tanpa tahun, The UN Guideline Principles on Business and Human Rights, An Introduction.

Standar-standar dimaksud harus dipenuhi penyelenggaraannya oleh penerima hibah ataupun pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan multilateral. Juga berlaku dalam kasus peminjam pada sindikasi perbankan swasta internasional lainnya.

Jika standar pengelolaan lingkungan dan sosial ini tidak dipenuhi, niscaya rencana hibah dan pinjaman tidak dapat dilaksanakan. Bahkan, bagi proyek-proyek yang sudah berjalan, hibah dan penjaman itu dapat saja diberhentikan di tengah jalan.

Masih ada gap

Terkait proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, temuan kajian Mohammad Sobirin (2023) yang menggunakan metode Social Network Analysis dan Discourse Network Analysis (DNA) (Phillip Leifeld, 2013 dan Leifeld dan Gruber 2019) menarik untuk jadi pembelajaran.

Kajian yang menelaah 296 artikel terpilih soal pembanguan IKN yang dipublikasikan oleh berbagai media massa daring sepanjang 2019-2022 tersebut sampai kepada tiga kesimpulan pokok. Pertama, narasi pembangunan IKN lebih diwarnai oleh pernyataan resmi dari pengurus publik.

Kedua, ide-ide yang didiskusikan lebih banyak seputar pembangunan fisik, investasi dan penyediaan anggaran untuk IKN. Ketiga, isu lingkungan terintegrasikan dalam konsep pengembangan IKN, tetapi tidak melihat desain pengembangan komunitas sebagai hal yang signifikan.

Temuan-temuan itu mengindikasikan adanya keterbatasan keterlibatan para pihak yang lebih merata. Suara akar rumput belum terwakili dengan baik. Terlihat pula, pembahasan permasalahan yang menyangkut kepentingan lingkungan dan masyarakat luas belum lagi tergali secara optimal dan atau menjadi perhatian para pihak.

Persoalan pengadaan tanah adalah salah satu persoalan yang menjadi perbincangan hangat di ranah publik. Penetapan penggunaan dan/atau peralihan hak tanah warga dituding dilakukan secara sepihak. Jauh dari prinsip negosiasi, apalagi memenuhi standar FPIC sebagaimana diatur dalam standar internasional.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2022) pun menyatakan partisipasi warga yang bebas, aktif, dan bermakna tidak cukup terfasilitasi. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa masalah HAM yang ada di lokasi pembangunan IKN harus menjadi prioritas untuk diselesaikan agar tercipta fondasi sosial yang adil dan setara dalam upaya membangun IKN yang sesuai dengan kerangka kerja dan prinsip-prinsip Kota Ramah HAM.

Hal yang juga mengkhawatirkan adalah soal kehadiran tenaga kerja yang dapat dipastikan mayoritas adalah laki-laki. Fakta ini potensial memicu meningkatnya kasus kekerasan berbasis jender. Oleh sebab itu, keberadaan kerangka pengaman semacam ”Addressing Sexual Exploitation and Abuse and Sexual Harassment (SEA/SH) in Investment Project Financing involving Major Civil Works” (Bank Dunia) dan ”Essential services package for women and girls subject to violence” (UNDP) misalnya, perlu dipertimbangkan secara serius dalam proses konstruksi proyek IKN ke depan.

Perlu naik kelas

Catatan di atas mengindikasikan masih ada gap antara kebijakan nasional yang jadi rujukan dengan hal-hal yang telah diatur dalam berbagai international best practices yang ada.

Gap ini perlu dicermati. Sebab, di dalam gap itu terdapat bayang-bayang permasalahan sosial dan lingkungan yang bisa saja muncul di masa depan. Toh kerangka pengaman sosial dan lingkungan di tingkat global itu memang dimaksudkan untuk menghindari, atau setidak-tidaknya mengurangi, dampak buruk proyek terhadap lingkungan dan masyarakat di mana proyek itu berada.

Tentu saja proyek IKN tidak memiliki kewajiban untuk patuh kepada standar global. Namun, untuk memenuhi ambisi mensejajarkan diri dengan praktik pembangunan yang baik di tingkat global, keberadaan standar itu perlu dipertimbangakan sebagai benchmark-nya.

Sebab, ke depan tidak tertutup kemungkinan program/proyek terkait IKN akan didanai melalui kerja sama dengan beberapa negara maju yang juga menganut standar global. Tidak bisa tidak, negara-negara maju akan melihat sejauh mana standar global telah terpenuhi atau belum.

Tentu, jauh lebih penting, seperti telah disinggung, dengan naik kelas dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial proyek IKN dapat dihindari/dikurangi.

R Yando ZakariaPeneliti pada Lingkar Pembaruan Desa (Karsa) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka)