Sentralisasi peran Kemenkes berpotensi menimbulkan konflik serius. Pengabaian organisasi profesi yang selama ini berkontribusi signifikan pada sektor kesehatan dapat memicu keengganan mematuhi kebijakan Kemenkes.

Oleh Iqbal Mochtar

Pada 11 Juli 2023, DPR mengesahkan Undang-Undang Kesehatan di tengah pro dan kontra terkait undang-undang tersebut.

Pihak pendukung yakin, UU ini terobosan krusial dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang selama ini dianggap belum optimal. Pihak kontra berpandangan lain. Menurut mereka, UU ini cacat prosedur dan tak memenuhi asas pembentukan UU. Juga gagal mengakomodasi beragam isu kesehatan penting. Jika diteruskan, UU ini dapat menimbulkan dampak negatif yang serius terhadap sistem dan layanan kesehatan.

Saat ini, sejumlah organisasi masyarakat dan profesi kesehatan siap-siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review merupakan mekanisme hukum yang dapat ditempuh ketika timbul keberatan atau penolakan UU.

Esensi judicial review adalah menilai apakah UU yang disahkan tidak tabrakan dengan konstitusi negara atau hukum yang berlaku. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, judicial review bagian penting dari sistem hukum. Jadi bukan sesuatu yang tabu, apalagi dianggap pelanggaran hukum.

Esensi judicial review adalah menilai apakah UU yang disahkan tidak tabrakan dengan konstitusi negara atau hukum yang berlaku.

”Locus minoris”

Banyak isu dalam UU Kesehatan yang dapat menjadi topik uji formil (formele toetsing) dan uji materi (materiile toetsing) dalam judicial review. Setiap isu berpotensi menghasilkan keputusan tak terduga.

Pertama, uji formil terkait prosedur dan pemenuhan prinsip pembuatan UU. Bagi pihak kontra, UU ini bermasalah secara formil karena tak memenuhi prinsip-prinsip pembuatan UU.

Pasal 5 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan pemenuhan tujuh prinsip kejelasan tujuan, ketepatan institusi atau pejabat yang terlibat dalam pembuatan, konsistensi antara jenis, hierarki, dan materi muatan, keterlaksanaan, keberlanjutan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Menurut pihak kontra, enam dari tujuh prinsip ini dilanggar. Salah satunya, tak adanya transparansi dan partisipasi publik yang cukup dalam pembuatannya. Draf awal RUU muncul Oktober 2022 tanpa ada penjelasan terkait pembuatnya. Saat itu, DPR dan Kemenkes sama-sama lepas tangan.

Penolakan lima organisasi profesi dan berbagai organisasi masyarakat memberi sinyal minimnya keterlibatan pemangku kepentingan. Padahal, kelima organisasi profesi ini diakui di UU sebagai representasi formal profesi dan sangat layak dilibatkan dalam pembuatannya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/L1YJPTE1LpPMCDOO4CNsKHXzDLc=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F28%2F2480e1e9-fd9e-4c8e-b8dd-d59414d6491d_jpg.jpg

Selain itu, salah satu prinsip penting yang sangat diperlukan dalam pembuatan UU, yaitu meaningful participation (partisipasi bermakna), juga diabaikan. Pihak kontra bernarasi, proses pengesahan UU mengabaikan tiga elemen penting partisipasi bermakna: hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapat yang diberikan.

DPR dan pemerintah tentu punya jawaban terhadap argumen di atas. Namun, jawaban mereka mesti sangat rasional, adekuat, dan berbasis bukti. Alasannya, uji formil terkait prosedur dan pemenuhan asas ini sangat krusial. Jika terdapat bukti adanya cacat prosedur dan asas, keseluruhan UU bisa dibatalkan.

Pihak kontra tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dan akan berusaha menyajikan argumen dan bukti terbaik tentang kecacatan ini. Beberapa bulan lalu, MK memutuskan status UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional karena dinilai cacat formil.

Kedua, ketiadaan pencantuman mandatory spending (pengeluaran wajib) dalam UU ini. Mandatory spending adalah persentase anggaran yang harus dialokasikan untuk bidang kesehatan; nilainya tak bisa diubah tanpa proses legislatif. Isu ini sangat penting karena terkait ketersediaan anggaran yang wajib disiapkan pemerintah.

Hilangnya mandatory spending dalam UU ini artinya tidak ada batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan.

Tak adanya mandatory spending menjadi alasan sejumlah fraksi DPR menolak UU ini. Bagi mereka, ketiadaan mandatory spending mencerminkan pengabaian perintah UUD yang mengamanahkan negara untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Ironisnya, mandatory spending ini disebutkan dalam UU sebelumnya. UU Kesehatan No 36/2009 mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk bidang kesehatan di luar gaji. Hilangnya mandatory spending dalam UU ini artinya tidak ada batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan.

Pemerintah bisa saja mengalokasikan hanya 1-2 persen dari dananya untuk kesehatan demi prioritas lainnya. Situasi ini berisiko terhadap pembiayaan kesehatan yang berujung pada terhambatnya ketersediaan akses pelayanan yang memadai serta menurunnya kuantitas dan kualitas program-program kesehatan.

Menkes berargumen, pencantuman mandatory spending dalam UU tak akan menghasilkan program dan hasil berkualitas dan efektif. Pencantuman ini bahkan akan memaksa penggunaan dana untuk program yang tak rasional dan relevan. Karena itu, anggaran mestinya didasarkan pada rencana induk kesehatan berbasis kerja, bukan mandatory spending.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/uWlq26n0SobcMBLn54YNsPO39ZA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F21%2F8a3fa19c-cc2c-438f-8dff-367e4e78c3bc_jpg.jpg

Argumen Menkes ini tak selaras dengan pandangan institusi internasional dan praktik terbaik di beberapa negara. Laporan WHO (2010) menyebutkan, capaian cakupan universal kesehatan sulit dilakukan dengan anggaran kesehatan kurang dari 4-5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Chatham House, McIntyre, Meheus, dan Røttingen juga menegaskan, pemerintah perlu menargetkan minimal 5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan. Faktanya, beberapa negara mencantumkan mandatory spending dalam UU mereka. UU di Korsel, Jepang, dan India masing-masing mencantumkan anggaran kesehatan minimal 5 persen, 6 persen, dan 7 persen dari total anggaran negara.

Ketiga, sentralisasi peran Kemenkes. Kemenkes kini jadi penentu segala program kesehatan, mulai dari hulu ke hilir. Mereka tak lagi hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi juga eksekutor dan operator. Kementerian ini menentukan standar pendidikan dokter, standar profesi, pelayanan kedokteran dan kesehatan, administrasi kesehatan, dan bahkan menjadi pelaksana berbagai program profesi, termasuk pendidikan profesi berkelanjutan.

Peran organisasi profesi diminimalkan; berbagai wewenang mereka yang tercantum dalam UU sebelumnya dihapus, termasuk pemberian surat rekomendasi praktik. Kolegium yang sebelumnya independen akan menjadi bagian konsil dan konsil sendiri akan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri. Padahal, sebelumnya konsil lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dengan peran sangat dominan ini, Kemenkes jadi institusi dengan kekuasaan sangat besar (superbody).

Baca juga: Pengesahan UU Kesehatan Menuai Kritik dari Masyarakat Sipil

Sentralisasi peran Kemenkes berpotensi menimbulkan konflik serius. Pengabaian organisasi profesi yang selama ini berkontribusi signifikan pada sektor kesehatan dapat memicu keengganan mematuhi kebijakan Kemenkes dan program-programnya. Pada situasi ekstrem, organisasi profesi bahkan bisa memilih untuk tak terlibat dalam program pemerintah. Kata kasarnya, mereka lepas tangan. Padahal, pentingnya dukungan dan partisipasi organisasi profesi tak dapat disangkal. Kemenkes akan kesulitan mencapai target-targetnya tanpa kolaborasi dan dukungan organisasi profesi. Kondisi ini bisa berdampak negatif pada ketahanan kesehatan bangsa.

Sentralisasi peran juga membuat pengambilan keputusan menjadi sentralistis dan tidak partisipatif. Hal ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau tindakan sewenang-wenang.

Hal seperti ini pernah terjadi puluhan tahun lalu saat Departemen Kesehatan menjadi penentu utama berbagai program dan proyek, termasuk penempatan tenaga profesional. Saat itu muncul praktik-praktik tidak etis dan bertentangan dengan kepentingan publik, yang populer diistilahkan sebagai ”Pojok Maut Depkes”. Ini momen di mana oknum Depkes menyalahgunakan wewenangnya untuk mendulang keuntungan pribadi.

Sentralisasi peran ini juga membuat para investor lebih tertarik memengaruhi atau memanfaatkan posisi Menkes daripada meyakinkan berbagai kelompok organisasi kesehatan yang bersifat plural, profesional, dan transparan. Hal ini berpotensi merusak integritas kebijakan kesehatan karena kepentingan bisnis dapat lebih mendominasi kepentingan masyarakat umum.

Lebih jauh lagi, dominasi kekuasaan Menkes bisa menjadi sasaran oligarki investor kesehatan yang ingin mengendalikan kebijakan kesehatan untuk keuntungan mereka. Masa depan posisi Menkes rentan jadi subyek pertarungan politik dan pengaruh dari berbagai pihak.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/8xx4lfPl-3s4lc_7eky0-Sjc2n4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F23%2F77203221-3348-42ca-94ff-9b601ceea28d_jpg.jpg

Akomodasi aturan turunan

Dari pihak kontra, pengajuan judicial review sepertinya menjadi keniscayaan. Judicial review merupakan saluran konstitusional penting yang bisa menunda atau menggagalkan UU ini. Hasil keputusan judicial review tak mudah diprediksi. Peluang untuk diterima atau ditolaknya gugatan terhadap UU ini, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sama besarnya. UU Cipta Kerja, yang sebelumnya mendapat dukungan kuat dari pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan, akhirnya dianggap inkonstitusional oleh MK.

Hal yang tak kalah penting, keputusan MK tak hanya mengikat pihak yang bersengketa (inter-parties), tetapi juga mengikat siapa pun dan berlaku umum (erga omnes). Artinya, keputusan MK akan menentukan jadi atau tidaknya UU ini. Ini adalah real battle antara pihak pro dan kontra.

Sekarang bola ada di tangan pemerintah, apakah mereka ingin membiarkan judicial review ini menggelinding atau melakukan upaya pencegahan. Sebab, hingga saat ini judicial review belum diajukan.

Jika mereka membiarkan judicial review terjadi, mereka harus mempersiapkan argumen rasional dan alat bukti adekuat untuk diuji di persidangan. Jika ingin mencegah diajukannya judicial review, mereka perlu segera membuka ruang dialog dengan pihak kontra.

Mendengarkan masukan dan keprihatinan mereka serta berusaha mencari solusi bersama dapat membantu mengurangi kemungkinan pengajuan judicial review dengan segala konsekuensinya. Jika masukan dan kritik dari pihak kontra beralasan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi usulan itu, termasuk di antaranya memutuskan penundaan masa berlaku UU ini atau memasukkan berbagai usulan relevan dalam peraturan turunan yang sementara digodok.

Pasca-pengesahan UU ini, terlihat jelas Kemenkes dan elemennya melakukan kampanye formal dan informal untuk memuluskan perjalanan UU ini.

Kampanye negatif dan asimetris, apalagi yang dilakukan secara berlebihan, hanya akan menimbulkan sikap antipati dari organisasi profesi, yang pada akhirnya bisa menciptakan atmosfer kesehatan yang semakin turbulen.

Iqbal MochtarPengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur-Tengah

Iqbal Mochtar

ARSIP PRIBADI

Iqbal Mochtar

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN