PROFESI PUSTAKAWAN

Kepustakawanan dan Antikuarianisme

Mental antikuarianisme, yaitu perhatian berlebihan terhadap fisik koleksi perpustakaan, dapat menghambat kemajuan para pustakawan. Seharusnya koleksi tersebut menjadi jembatan dalam memecahkan masalah nyata.

Tanggal 7 Juli dijadikan tonggak Hari Pustakawan Indonesia karena asosiasi profesi pustakawan yang bernama Ikatan Pustakawan Indonesia berdiri pada 7 Juli 1973. Para pustakawan di Indonesia boleh berbangga karena terdapat satu hari yang dirayakan atas keprofesian mereka.

Kendati demikian, kepustakawanan Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Sebelum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) berdiri, sudah ada para pustakawan Indonesia yang merintis profesi pustakawan. Mereka merupakan para profesional awal yang merintis jalan terjal dalam bidang kepustakawanan. Tidak banyak yang tahu.

Tentu saja nama Mastini Hardjoprakoso—didaulat sebagai pendiri Perpustakaan Nasional di Indonesia—lebih familiar di kalangan para pustakawan Indonesia. Namun, tidak banyak yang mengenal beberapa nama pustakawan, seperti Pak Patah, Pauline Sahertina Bakhoven, dan Salsjiah Ismawati. Mereka adalah para pustakawan di awal era kemerdekaan Indonesia. Tidak terlalu dikenal oleh khalayak umum, tetapi memiliki jasa yang besar. Pauline Sahertina Bakhoven, misalnya, dikenal sebagai pustakawan yang berjasa mengelola Bibliotecha Bogoriensis di Kota Bogor.

Baca juga : Eksistensi Pustakawan di Era Digital

Pemahaman yang sedikit mengenai tugas kepustakawanan sedikit banyak dipengaruhi oleh gambaran yang kurang tepat terhadap profesi pustakawan. Banyak yang berpikir pustakawan hanyalah penjaga buku yang hanya duduk menunggu pengunjung. Gambaran tersebut tidak salah di masa lalu. Namun, hari ini para pustakawan sudah banyak berubah. Banyak kemajuan dalam bidang kepustakawanan. Adanya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan sangat membantu kemajuan dari profesi ini.

Kendati demikian, dalam artikel ini saya ingin menyoroti beberapa hal yang dapat menghambat kemajuan para pustakawan di masa mendatang. Saya hanya membahas satu saja, yaitu antikuarianisme. Ya, antikuarianisme merupakan permasalahan yang sulit dideteksi oleh para pustakawan yang serius menekuni profesi ini.

Masalah ini juga jarang sekali—atau mungkin tidak pernah—dibicarakan di kalangan pustakawan Indonesia. Padahal, perpustakaan merupakan tempat di mana koleksi-koleksi pustaka bersejarah dapat ditemukan. Kecenderungan untuk jatuh pada mental antikuarianisme cukup besar jika para pustakawan tidak cermat melihat potensi yang dimilikinya.

Petugas memeriksa koleksi surat kabar lama yang telah direproduksi ke dalam mikrofilm di Layanan Audio Visual Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2020).

KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Petugas memeriksa koleksi surat kabar lama yang telah direproduksi ke dalam mikrofilm di Layanan Audio Visual Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2020).

Antikuarianisme

Ide antikuarianisme dapat dipahami sejauh abad ke-18 ketika Eropa berada dalam Era Pencerahan (Enlightenment). Pada era ini orang-orang Eropa sangat bergairah dan bersemangat untuk menggali warisan sejarah Eropa di masa lampau, khususnya era Yunani klasik, sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi (SM). Semangat Pencerahan mendorong para ”saintis”—pada era ini banyak yang mengaku saintis, tetapi sebenarnya mereka adalah para amatir—dan pemikir Eropa untuk memahami teks-teks kuno.

Masyarakat ketika itu sangat bersemangat menjadi bagian learned societies atau masyarakat pembelajar. Sebagai contoh, Edinburgh dan London merupakan dua kota di Inggris tempat berseminya para pemikir Era Pencerahan. Sebut saja beberapa nama, seperti Edmund Burke, Edward Gibbon, David Hume, Adam Smith, Lord Kames, dan Adam Ferguson.

Bahkan, semangat ini pun diimpor sampai ke koloni-koloni Eropa di Asia, seperti Kalkutta dan Batavia. Di sana didirikan sejenis komunitas ”ilmuwan”. Di Batavia, misalnya, didirikan Bataviiasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada akhir abad ke-18. Belakangan, saya membaca tulisan bahwa sejarah Perpustakaan Nasional dikaitkan dengan lembaga ini.

Antikuarianisme adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan benda-benda dan teks bersejarah tanpa memiliki tujuan untuk memecahkan suatu permasalahan.

Dengan demikian, antikuarianisme lahir dalam konteks Era Pencerahan abad ke-18. Ketika itu masyarakat yang bersemangat mencari pengetahuan menggali reruntuhan dan warisan Yunani dan Romawi. Para antikuarian lahir dalam konteks ini. Mereka tentu saja berbeda dari sejarawan profesional hari ini.

Pada tahun 1950, sejarawan Italia bernama Arnaldo Momigliano membedakan sejarawan dan antikuarian. Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa seorang antikuarian biasanya mengoleksi semua items (dapat berupa benda atau teks) yang terkoneksi dengan subyek tertentu tanpa peduli apakah berniat untuk memecahkan suatu permasalahan atau tidak. Sementara para sejarawan melihat items tersebut untuk diberikan sebuah penjelasan.

Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa antikuarianisme adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan benda-benda dan teks bersejarah tanpa memiliki tujuan untuk memecahkan suatu permasalahan. Para antikuarian memang orang yang peduli terhadap kelestarian masa lalu, tetapi mereka tidak terlalu terobsesi untuk menjadikan masa lalu sebagai metodologi dalam memecahkan permasalahan.

Baca juga : Bukan Penjaga Akses, Pustakawan adalah Penjaga Informasi

Jadi, bisa saja mereka adalah orang-orang yang menyenangi benda kuno—lukisan, keramik, atau buku langka, misalnya—tetapi tidak menggunakannya sebagai sarana memecahkan permasalahan. Singkatnya, para antikuarian sangat terobsesi dengan fisik suatu benda kuno, tetapi tidak terlalu peduli pada ide di baliknya. Tentu saja ini berbeda dengan para sejarawan, arkeolog, filolog, atau sastrawan yang sangat dekat dengan perdebatan falsafah dan pemikiran dibandingkan hanya mengurus masalah kebendaan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/_jJR2mujm_BIj5Ntf3xBsiKsXHE=/1024x697/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F08%2F13%2F2021013-Ilustrasi-Opini-Pustakawan-dan-Tantangan-di-Era-Antroposen_1628851450_jpg.jpg

Mentalitas pustakawan

Antikuarianisme tentu saja bertentangan dengan semangat kepustakawanan. Kepustakawanan memiliki tujuan mendiseminasikan pengetahuan. Oleh karena itu, pustakawan tidak boleh hanya terobsesi pada benda secara fisik, misalnya buku, koran, atau majalah, tetapi harus bergulat dengan ide dan pemikiran yang dikandung dalam koleksi yang dimilikinya.

Kendati demikian, mental antikuarianisme cukup rentan bersemayam dalam jiwa para pustakawan. Hal tersebut disebabkan pustakawan bekerja lebih dekat dengan koleksi-koleksi bersejarah. Di Perpustakaan Nasional, misalnya, para pustakawan harus mengurus koleksi-koleksi bersejarah, seperti naskah kuno, surat kabar langka, majalah langka, buku langka, lukisan, foto, peta, bahkan lukisan.

Mental antikuarianisme cukup rentan bersemayam dalam jiwa para pustakawan. Hal tersebut disebabkan pustakawan bekerja lebih dekat dengan koleksi-koleksi bersejarah.

Perhatian yang berlebihan terhadap fisik dari koleksi perpustakaan tentu saja akan mendorong para pustakawan menjadi seorang antikuarian. Mereka bisa terlampau fokus pada fisik dan material, tetapi mengabaikan ide yang dikandung di dalam koleksi perpustakaan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa perhatian terhadap material fisik sangat perlu dilakukan oleh perpustakaan. Perpustakaan Nasional, misalnya, bertugas untuk melestarikan koleksi-koleksi perpustakaan. Itu sangat penting dilakukan. Koleksi-koleksi perpustakaan dijaga material fisiknya secara berkala dengan berbagai metode. Bahkan, digitalisasi juga dilakukan sebagai bagian dari pelestarian material dari koleksi perpustakaan.

Namun, itu saja tidak cukup. Jika para pustakawan lebih banyak fokus terhadap fisik koleksi saja, bukan tidak mungkin mereka jatuh ke dalam mentalitas antikuarianisme yang hanya fokus pada fisik koleksi perpustakaan. Kalau demikian, maka tidak ada bedanya pustakawan dengan para abdi dalem kerajaan di masa lalu yang terus-menerus mengelap benda-benda pusaka agar terus kinclong. Jika ini terjadi, jangan heran jika pengetahuan yang tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan Indonesia lebih banyak dimanfaatkan oleh para sarjana asing, dan lagi-lagi kita akan ”ketinggalan kereta” dalam hal kemajuan.

Baca juga : Perpustakaan Menghadapi Politik Pengetahuan

Untuk itu, saya mengajak para pustakawan menghindari mental antikuarianisme. Pustakawan harus dapat memecahkan masalah nyata di masyarakat melalui kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Koleksi perpustakaan jangan hanya dipandang sebagai onggokan barang-barang antik yang terus ditimang-timang, seperti bayi yang baru lahir. Koleksi tersebut harus menjadi jembatan dalam memecahkan masalah nyata. Di depan kita terdapat tumpukan masalah kebangsaan yang menanti untuk diselesaikan, mulai dari perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, rasisme, hingga politik pengetahuan.

Mengutip pesan Kepala Perpustakaan Nasional pada acara peluncuran buku Mastini Hardjoprakoso di Perpustakaan Nasional pada 7 Juli lalu, ”insan pustakawan dan perpustakaan Indonesia harus menjadi pencipta peradaban baru”. Pencipta, bukan hanya penjaga.

Frial Ramadhan SupratmanPustakawan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Frial Ramadhan Supratman

DOK. PRIBADI

Frial Ramadhan Supratman

 
Editor:
YOVITA ARIKA