Sejumlah perwakilan masyarakat sipil menuntut Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) meningkatkan standar pelayanan minimal. Laporan evaluasi terkait hal itu juga diharapkan terbuka dan bisa diakses publik.

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

JAKARTA, KOMPAS — Hasil evaluasi terkait standar pelayanan minimal atau SPM jalan tol perlu dibuka untuk publik. Hal ini dapat membantu untuk memutuskan perubahan tarif tol secara berkala. Namun, kondisi di lapangan masih belum ideal.

Menurut anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Unsur Pemangku Kepentingan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Sony Sulaksono, pengelola jalan tol beberapa kali mendahulukan tarif ketimbang SPM. Padahal, pemenuhan SPM sifatnya wajib dilaksanakan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

”Saya berkali-kali ikut rapat tentang evaluasi tarif, mereka (BUJT) minta dulu diperhitungkan. Nanti SPM menyusul,” ujar Sony di Jakarta, Rabu (30/8/2023).

Setiap menjelang dua tahun, BUJT dapat mengajukan penyesuaian tarif. Namun, permintaan dapat dipertimbangkan ketika SPM terpenuhi. Evaluasi terhadap SPM terdiri atas sejumlah indikator. Indikator itu meliputi kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, lingkungan, tempat istirahat dan pelayanan, serta unit pertolongan/penyelamatan. Standar ini diatur dalam Peraturan Menteri PUPR No 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Anggota BPJT Unsur Masyarakat Kementerian PUPR, Tulus Abadi, mengakui, perubahan tarif tol selama ini lebih dititikberatkan pada aspek inflasi ketimbang SPM. Saat ini pihaknya juga mendorong adanya perbaikan indikator SPM. Beberapa di antaranya mencakup aspek lingkungan, sosial-budaya, dan jender.

”Tadinya tidak ada pada SPM yang lama. Namun, di dalam rancangan peraturan pemerintah, mudah-mudahan dalam beberapa bulan ke depan akan disahkan, mengakomodasi tuntutan-tuntutan aspek berkelanjutan,” kata Tulus.

Sementara itu, pengamat transportasi dan tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai bahwa SPM merupakan bentuk jaminan perlindungan terhadap pengguna jalan tol sebagai konsumen. BUJT yang tidak memenuhi SPM akan dikenai sanksi teguran tertulis hingga pembatalan perjanjian pengusahaan jalan tol.

”Selama ini (praktiknya) teguran tertulis, tidak pernah ada kata pembatalan”, kata Yayat.

Baca juga: Kenaikan Tarif Tol Perlu Diimbangi Peningkatan Layanan

Ketika statusnya tidak pernah dinaikkan, hal itu dinilai jadi celah BUJT tidak memperbaiki pelayanannya. Alhasil, masih kerap ditemui pelayanan dan fasilitas jalan tol yang di bawah standar.

Persoalan-persoalan kecil, seperti kendaraan dengan muatan melebihi kapasitas atau over dimension over load (ODOL), yang tidak ditindak tegas akhirnya merusak jalan tol. Kecepatan kendaraan-kendaraan yang melintas jadi berkurang. Dampaknya, pola perilaku masyarakat pun berubah. Mereka cenderung berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan.

”Ketegasan pemerintah bersama BUJT dengan program zero ODOL 2023 untuk pengendalian ODOL ditunggu ketegasannya,” ujar Yayat.

Guna mengurangi kepadatan sistem pembayaran dan mendeteksi awal pencegahan ODOL di jalan tol, BUJT dapat memanfaatkan teknologi. Salah satunya penyediaan aplikasi penggunaan jalan yang dapat diintegrasikan dengan peta Google. Sebab, selama ini mayoritas masyarakat mengecek peta untuk melihat kepadatan jalan. Standar ini perlu dievaluasi sebagai bentuk inovasi melayani masyarakat.

Laporan terkait SPM beserta evaluasinya diharapkan mudah diakses publik. Masyarakat pun bisa berperan mengawasi kinerja BUJT.

Perwakilan pengguna jalan tol, Ucok Sky Khadafi, menyayangkan pula BUJT yang tidak memenuhi SPM jalan tol. Setelah memantau ada atau tidaknya perbaikan SPM serta menemui sejumlah operator jalan tol, ia menemukan bahwa hanya segelintir program yang dijalankan BUJT.

”Kalau sudah mau naik tarif, anggaran ditingkatkan, tetapi (perbaikan) belum tentu dijalankan. Kalau dijalankan pun, paling enggak seberapa (maksimal),” kata Ucok.