Kereta Cepat Jakarta Bandung sebentar lagi beroperasi. Ini merupakan lompatan teknologi bagi bangsa Indonesia, meski harus dibayar dengan ongkos yang mahal untuk menyelesaikan proyek ini.

 

Setelah dimulai konstruksi awal sejak 2016, proyek prestisius Indonesia, Kereta Cepat Jakarta Bandung atau KCJB, segera melayani publik secara komersial. Sudah terlambat sebenarnya dari target bahwa awal 2023 seharusnya beroperasi karena konstruksi selesai akhir 2022.

Betapa pun, terbukti sudah bahwa negara sedang berkembang sekelas Indonesia akhirnya mampu memiliki transportasi cepat sekelas negara-negara maju dunia. Negara terkenal dengan simbol kereta tentu saja Eropa, Amerika, Jepang, China, Singapura, dan Australia. Arab Saudi juga baru-baru saja mengoperasikan kereta cepatnya dan kini Indonesia. Dus, di ASEAN, Indonesia melompat dari sisi akuisisi teknologi tinggi ini.

Prestisius dan mahal

Sebetulnya hampir 80 persen proyek infrastruktur nasional terlambat dari target awal, dan dampaknya adalah eskalasi atau penyesuaian nilai proyek. Eskalasi nilai proyek memang sangat jamak karena basis biaya menggunakan kurs dollar AS memang tidak pernah turun. Sejak 2020 hingga 2023, misalnya, tingkat apresiasi dollar AS sudah 58,45 persen dari nilai tukar awal dan ini adalah dasar terjadinya eskalasi. Jika tidak ingin eskalasi tentu saja menggunakan dasar mata uang rupiah, tetapi adakah proyek infrastruktur yang 100 persen dari dalam negeri?

Proyek yang semula bernama Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini pun penuh huru-hara eskalasi biaya. Nilai kajian awal biaya proyek adalah 6,07 miliar dollar AS (Rp 86,67 triliun), kemudian berubah menjadi 8 miliar dollar AS (Rp 114,24 triliun), dan kemudian bertambah 1,2 miliar dollar AS lagi (Rp 18,2 triliun) atau total nilai proyek 9,2 miliar dollar AS (Rp 132,44 triliun).

Pada periode hampir sama sejak 2016, beberapa negara sedang berkembang juga membuat proyek serupa, yaitu Iran (165 km – 2,1 miliar dollar AS), Arab Saudi (453,8 km – 7,87 miliar dollar AS), Turki (76 km – 4,5 miliar dollar AS), dan Kenya (450 km – 5,2 miliar dollar AS). Meskipun demikian, negara maju juga tetap intensif memperpanjang jalur kereta cepatnya, yakni Jepang (280 km – 100 miliar dollar AS).

Jika dirata-rata, maka profil biaya proyek per km setiap negara berbeda, yakni Iran 12,73 juta dollar AS per km, Arab Saudi 17,34 juta dollar AS, Turki 59,21 juta dollar AS, Kenya 11,56 juta dollar AS, Jepang 357,14 juta dollar AS, dan Indonesia sebesar 64,65 juta dollar AS per km. Nilai proyek KCJB ternyata jauh melampaui Kenya, Iran, negara petrodollar Arab Saudi, dan Turki. Jepang yang mengalahkan Indonesia pun sebetulnya tidak bisa disejajarkan mengingat skala ekonomi Jepang 10 kali Indonesia. Jika disetarakan dengan Jepang, maka nilai proyek Indonesia sangat mahal, yaitu 646,52 juta dollar AS per km, sementara Jepang masih 357,14 juta dollar AS per km.

Tingginya nilai proyek menyebabkan waktu pengembalian investasi sangat panjang, yang dihitung penulis akan mencapai 57,09 tahun. Desain awal dengan frekuensi 100 perjalanan per hari dengan kapasitas 109.000 penumpang per hari memang realistis untuk pengembalian proyek, yakni 19,03 tahun. Namun, kini manajemen KCJB hanya optimistis 68 perjalanan per hari dengan 31.000 penumpang per hari. Jika perhitungan dimasukkan unsur operasional dan pemeliharaan, penulis sangat yakin nilai pengembalian proyek bakal tembus 100 tahun lebih.

Memang aneh kenapa feasibility study awal tidak bisa dilaksanakan, padahal eskalasi biaya proyek mencapai 166,39 persen dari nilai awal proyek 6,07 miliar dollar AS. Nilai eskalasi sampai dengan 66,39 persen tentu saja sudah melanggar Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Pasal 92. Pasal tersebut jelas-jelas memberikan batasan 15 persen maksimal. Risiko karena pelanggaran ini tentu saja potensial menjadi perkara pidana berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Pasal 49.

Manajemen risiko

Untuk proyek nasional dengan label proyek strategis nasional, kecermatan tampaknya dikalahkan dengan sikap emosional dan kekesalan karena lama sekali negeri ini tidak bisa maju, setidaknya dianggap tidak maju-maju setelah 78 tahun merdeka. Memang periode satu dekade lalu, keberanian memutuskan sungguh excellent ditampilkan. Berani membuat proyek-proyek infrastruktur prestisius, jalan tol dikebut, pelabuhan, bandara, ibu kota negara, bahkan kawasan industri yang ramai seperti insiden Rempang, Batam.

Masalah kompetensi diselesaikan dengan membuat mitra dengan China karena memang inilah cara tercepat agar teknologi melompat. Tenaga kerja asing berdatangan, mereka bekerja membuat smelter, mendatangkan barang, bahkan memberikan loan atau utangan. Tidak terbayangkan jika dilakukan sendiri, dengan tenaga kerja sendiri, keahlian sendiri, dana sendiri, dipastikan negeri ini mustahil untuk mendapatkan lompatan teknologi. Selagi sumber daya manusia kita belajar satu tingkat, negara lain sudah belajar tingkat lima dan seterusnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/sH6pFs1ampCyRsMk-_t7eyPMZNg=/1024x2219/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F14%2Fe7db8fcf-b536-48ab-a9ee-126ee63f63b5_png.png

Inilah kecermatan itu. Jika proyek-proyek ini untuk negara, maka perlu pemikiran semua elemen negara untuk memutuskan dan bertanggung jawab mengerjakan bersama-sama. Fasilitas dan teknologi ini tidak untuk generasi saat ini, tetapi untuk akselerasi kesejahteraan generasi penerus bangsa. Jika diperlukan eskalasi, seharusnya keputusan tersebut dikerjakan bersama-sama, dan bertanggung jawab semua. Jika yang ditampilkan adalah kebanggaan bangsa, maka nilai menjadi tidak utama karena negara akan membayar at any cost.

Tantangan pemerintahan Joko Widodo adalah manajemen risiko karena modal politik 55,5 persen memang tidak sangat aman. Ada 44,5 persen yang senantiasa tidak lelah mencari celah kelemahan manajemen risiko yang tidak hati-hati dimitigasi. Manajemen operasional proyek ini tentu saja berjibun celah karena begitu banyak persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan (poleksosbudkam) yang pelik. Sudah enam presiden menjalani tantangan tersebut dan begitu beratnya beban akhirnya menyerah pada protokol tata kelola. Pemerintahan ini berbeda karena inovasinya adalah perbaikan tata kelola, demikian pula perbaikan mekanisme teknisnya.

Tidak buruk, karena lintas raya terpadu (LRT) sudah beroperasi, tol, bandara, pelabuhan, dan sebentar lagi KCJB. Rakyat berharap semua beroperasi sesuai dengan studi yang sudah dilakukan agar pengembalian proyek menjadi lebih kecil. Terlepas kekurangan, kinerja ini patut diapresiasi.

Effnu SubiyantoDosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya