Demi menghindari konflik Rempang ini menjadi berkepanjangan dan membesar karena rawan dipolitisasi, maka pemerintah perlu berempati pada para warga yang menuntut hak masyarakat adat mereka dan mengambil tindakan cepat.

Oleh TONY BUDIDJAJA

Belum lama ini terjadi bentrokan antara aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan Batam dengan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, akibat konflik lahan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa insiden itu ”bukanlah upaya penggusuran demi investor”, melainkan ”proses pengosongan lahan oleh pemegang hak kepengelolaan pulau”.

Sebelumnya, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam; sebelumnya disebut Otorita Batam) menerangkan bahwa pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. Hal itu dilakukan untuk mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.

Sebenarnya, rencana pembangunan Pulau Rempang ini bukan hal baru. Sejak BJ Habibie menjabat sebagai Ketua Otorita Batam pada tahun 1978, Pulau Rempang dan tetangganya, Pulau Galang, sudah dirancang masuk dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan konsep Barelang (Batam-Rempang-Galang). Tujuannya adalah supaya Batam menjadi lebih luas dari Singapura dan bisa lebih bersaing.

Di era Presiden Joko Widodo, rencana ini pun masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tanggal 28 Agustus 2023.

Sumber konflik

Entah apa sebenarnya yang memotivasi aksi kekerasan aparat saat itu, tetapi tampaknya ada usaha ”kejar tayang” guna mencapai target tertentu.

Dari pemberitaan sejumlah media massa, pihak aparat terkesan menggertak/mengintimidasi warga dan tidak siap dengan respons warga saat itu sehingga kemudian memicu bentrokan.

Sangat disayangkan upaya ”pengosongan lahan” itu tak didahului dengan persiapan dan pemeriksaan yang matang guna memahami situasi dan risiko yang dihadapi serta kepentingan dan harapan pihak-pihak yang terdampak.

Berdasarkan laporan dan pemberitaan media massa, ternyata warga yang tinggal di kampung tua Rempang merasa berhak menguasai dan memanfaatkan lahan yang mereka tinggali itu, karena itu merupakan warisan secara turun-temurun, yang konon leluhur mereka sudah tinggal dan mengelola lahan itu jauh sebelum kemerdekaan RI. Karena itu, mereka berharap hak masyarakat adat mereka dihargai dan dihormati oleh semua pihak.

Jadi, sebenarnya konflik yang dihadapi adalah konflik tenurial atau hak adat. Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, seharusnya Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa segera turun tangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang diperlukan.

Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan analisis sejarah kawasan di mana lahan itu berada, termasuk kronologi penggunaan lahan itu berikut dengan para pemangku kepentingannya. Selain itu, perlu dilakukan analisis regulasi dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang terkait dengan konflik tenurial yang sedang terjadi.

Rombongan Komnas HAM (atas tengah) mendengarkan aspirasi warga terkait konflik agraria dan bentrokan warga di Jembatan Barelang IV dengan aparat pada 7 September lalu, Kampung Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Sabtu (16/9/2023).

Pemilik dan penerima manfaat atas lahan

Mahfud MD menyebut bahwa negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa hak guna usaha (HGU), tetapi tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Jika pernyataan Menko Polhukam itu benar, konflik yang sedang terjadi di Rempang adalah antara si ”pemegang hak” dan warga Rempang yang merasa berhak untuk tetap tinggal di sana.

Untuk menjawab siapa sebenarnya si ”pemegang hak” itu, kita perlu memahami keunikan sistem hukum pertanahan di Batam. Hak pengelolaan (HPL) Batam diberikan langsung oleh Presiden kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (sekarang BP Batam) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, BP Batam adalah lembaga pemerintah yang sekarang diberikan tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan kawasan di Kota Batam sesuai fungsi-fungsi kawasan.

Sebagaimana sudah dipahami banyak orang, sebelum dan setelah terbentuknya BP Batam, kasus hukum pertanahan di Batam, termasuk kasus pidananya, cukup marak dan terus terjadi hingga sekarang. Salah satu sumber masalahnya adalah ketidakjelasan batas-batas lahan yang dikelola BP Batam berdasarkan HPL itu. Apalagi mengingat secara de facto masih cukup banyak lahan di Batam yang tidak atau belum sepenuhnya di bawah penguasaan negara, khususnya oleh BP Batam.

Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas untuk menguasai dan menjaga itu semua, serta kemudian mengelolanya dengan sebaik-baiknya agar rakyat mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.

Berdasarkan undang-undang, pemegang HGU bukanlah ”pemilik”, melainkan hanya pengusaha/pengelola atas lahan itu. Dalam hal ini, si pemegang HGU hanya berhak untuk mengusahakan lahan itu selama jangka waktu tertentu, yang mana lahan itu harus tetap dikuasai oleh negara selamanya.

Jadi, jika benar sejak 2001 telah diterbitkan HGU di atas lahan yang sekarang menjadi obyek konflik di Rempang, pemerintah (khususnya BP Batam) seharusnya sudah menguasai dan menjaga lahan itu.

Pendekatan yang seharusnya

Berdasarkan hal-hal tersebut, pemerintah tidak boleh menggunakan pendekatan berbasis kekuatan bersenjata atau kekerasan institusional terhadap warga Rempang.

Perlu diingat bahwa kedudukan pemerintah (termasuk BP Batam) dalam kasus ini adalah sebagai ”penjaga amanat” (trustee), yakni pemerintah seharusnya menghormati kepentingan warga Rempang, khususnya mereka yang sudah sekian generasi menguasai dan mengelola lahan itu.

Tugas pemerintah adalah membantu mereka menemukan keadilan dan kepastian hukum akan hak mereka. Sekiranya pemerintah ingin melakukan pendekatan berbasis hak terhadap para warga yang terdampak, perlu diadakan proses peradilan yang independen untuk menentukan besaran kompensasi yang adil bagi mereka.

Pendekatan yang terbaik adalah musyawarah bersama atas dasar kepentingan dan, apabila perlu, meminta jasa mediasi oleh pihak ketiga yang netral guna merumuskan suatu kesepakatan bersama. Pendekatan ini akan mendorong para pihak untuk berhenti bertikai atau menggunakan kekerasan paling tidak untuk sementara waktu.

Jika dijalankan dengan tepat, konflik ini bisa mendorong terjadinya kerja sama yang baik antara pemerintah dan warga untuk menjadikan Batam (termasuk Rempang) sebagai salah satu kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terbaik di Asia Tenggara.

Dalam konflik seperti ini, Polri dan pemerintah (termasuk Badan Pertanahan Nasional dan BP Batam) tidak bisa berperan sebagai mediator karena akan dianggap tidak netral. Komnas HAM dapat terus memediasi dan mendorong para pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama merancang masa depan Rempang dengan melibatkan masyarakat adat di sana.

Harus diakui bahwa terbatasnya perlindungan hukum atas hak masyarakat adat di Rempang menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya konflik ini.

Padahal, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Selanjutnya, Pasal 28I Ayat (3) menyebutkan, ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Oleh karena itu, demi menghindari konflik Rempang ini menjadi berkepanjangan dan membesar karena rentan dipolitisasi, pemerintah perlu berempati kepada para warga yang menuntut hak masyarakat adat mereka dan mengambil tindakan cepat. Mengingat pembahasan Rancangan UU Masyarakat Adat akan berproses lama, perlu ada kebijakan sementara untuk mengakui hak masyarakat adat di Rempang.

Kemampuan pemerintah pusat dan daerah untuk menangani dan menuntaskan konflik lahan di Pulau Rempang ini secara adil juga akan memberikan rasa aman bagi calon investor yang sudah akan masuk, serta menjadi acuan yang baik para calon investor lainnya.

Selain itu, perhatian pemerintah atas hak masyarakat adat di Rempang akan mengangkat derajat pemerintah di tengah-tengah masyarakat dunia yang sudah lebih dulu mengakui adanya hak-hak masyarakat adat berdasarkan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) tanggal 13 September 2007.

Tony BudidjajaKetua Akademi Mediator dan Arbiter Independen Indonesia (MedArbId)