Bentrokan yang terjadi pada 7 September 2023, antara aparat gabungan yang akan mengosongkan lahan untuk kawasan Rempang Eco City dan warga yang mempertahankan tanah yang sudah dihuni turun-temurun sejak 1834, menyisakan pertanyaan, apakah negara hadir dalam konflik perebutan wilayah kelola agraria yang tak seimbang itu?
Di satu pihak, Rempang Eco City (REC) yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) itu menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Keberadaannya membutuhkan ketersediaan tanah, termasuk yang dimiliki warga masyarakat kampung tua, dengan konsekuensi harus merelokasi 5.000-10.000 warga ke Pulau Galang.
Di lain pihak, warga tak menentang pembangunan, tetapi tak bersedia direlokasi. PSN untuk REC ini tergolong supercepat karena landasan hukumnya baru disahkan 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menko Bidang Perekonomian No 7/2023, tetapi lahan harus sudah dikosongkan akhir September 2023.
Perihal waktu yang terbatas ini, BP Batam menyatakan telah melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat, termasuk tentang relokasi, sejak April 2023. Namun, dalam kenyataannya, warga tampak tidak siap ketika berhadapan dengan tindakan pengosongan.
Beberapa hal yang kontradiktif itu perlu diklarifikasi dan ditangani secara obyektif mengingat ada benturan kepentingan antara warga yang ingin mempertahankan ruang hidupnya yang dijamin konstitusi dan korporasi yang telah memperoleh alokasi lahan yang berpotensi menggusur tanah warga.
Dari semua lingkaran konflik yang mungkin terjadi, kasus Rempang dengan jelas menunjukkan adanya konflik relasi sebagai dampak komunikasi satu arah tanpa pelibatan masyarakat terkait rencana proyek dan relokasi.
Sosialisasi seharusnya secara jujur menyampaikan dampak positif ataupun negatif ke masyarakat. Yang diperlukan adalah konsultasi publik untuk menjelaskan keseluruhan proyek, termasuk tentang urgensi memindahkan 5.000-10.000 warga, khususnya yang berlokasi di 16 kampung tua.
Menawarkan bentuk/fasilitas relokasi dan lain-lain serta menetapkan prioritas penerima, tanpa memberikan waktu bagi masyarakat untuk berpikir dan membuat pilihan atau keputusan, terkesan menjadikan relokasi sebagai satu-satunya jalan keluar.
Relokasi yang serba cepat itu mengabaikan prasyarat involuntary resettlement, yakni penilaian awal kondisi sosial, rencana relokasi yang rinci dan jangka waktunya, pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi warga, peluang kerja, langkah untuk mengatasi permasalahan yang timbul, pemantauan, dan evaluasi.
Dengan kata lain, relokasi tak bisa ditentukan secara sepihak dan harus melibatkan masyarakat, terutama masyarakat terdampak. Tawaran relokasi yang tidak partisipatif itu menyisakan permasalahan yang cukup besar karena tidak memperhitungkan kondisi psikologis warga, misalnya kekhawatiran kehilangan sejarah/identitas, tercerabut dari jejaring sosial yang ada, dan ketidakpastian untuk mengawali hidup di tempat yang baru.
Relokasi tanpa partisipasi akan sulit diterima warga terdampak.
Konflik nilai beririsan dengan konflik kepentingan. Pemerintah menyebutkan, REC yang disiapkan melalui kerja sama BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) bernilai investasi Rp 381 triliun sampai 2080 dan menyerap 306.000 tenaga kerja. Di dalam REC, PT Xinyi bekerja sama dengan PT MEG akan membangun pabrik kaca dan solar panel dengan nilai investasi Rp 174 triliun yang juga menyerap ribuan tenaga kerja.
Bagi warga, angka-angka itu abstrak. Yang nyata adalah perjuangan mempertahankan tanahnya sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup, yang secara tiba-tiba dipaksakan untuk mereka tinggalkan.
Konflik Rempang juga disebut sebagai konflik struktural, yang timbul sebagai akibat dari keputusan pejabat pemerintah pada suatu korporasi yang dampaknya menimbulkan konflik dengan warga masyarakat.
Wali Kota Batam sekaligus Kepala Badan Pengusahaan Batam Muhammad Rudi saat menyosialisasikan rencana pembangunan kawasan investasi terpadu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (22/8/2023).
Jika bermacam konflik di atas lebih cenderung diwarnai dengan aspek politik-ekonomi dan psikologis, konflik data itu di samping sisi negatifnya menjanjikan jalan keluar.
Berdasarkan penjelasan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN pada rapat kerja dengan Komisi II DPR, 12 September 2023, diperoleh data bahwa 17.000 hektar tanah di Pulau Rempang merupakan kawasan hutan dan bahwa terdapat pengajuan permohonan hak pengelolaan atas nama BP Batam pada areal penggunaan lain (APL) dengan luas 600 hektar.
Penjelasan pihak BP Batam adalah dari 17.000 hektar lahan yang tersedia, hanya 7.572 hektar yang akan dikelola PT MEG. Pertanyaannya, bagaimana status tanah warga 16 kampung tua itu? Seyogianya saat ini semua pihak perlu kembali ke titik awal yang menyangkut kejelasan tentang status tanah sehingga tak terjadi saling klaim atas tanah yang belum jelas status kepemilikannya.
Pertama, disebutkan bahwa di Pulau Rempang 17.000 hektar lahan merupakan kawasan hutan. Pertanyaannya, sejak kapan kawasan itu ditetapkan?
Dan, apakah dalam klaim kawasan hutan itu termasuk tanah warga 16 kampung tua? Yang jelas, warga secara turun-temurun telah bermukim sejak 1834, jauh sebelum RI merdeka, sehingga klaim kawasan hutan itu jelas tumpang tindih dengan tanah warga yang pemilikannya didasarkan pada penguasaan fisik, tetapi tanpa alat bukti hak.
Sebagai catatan, menurut arsip Belanda (1854), sejak 1848 sudah ada pabrik dan berbagai perkebunan di Galang, Rempang, dan Batam. Jika demikian halnya, seharusnya melalui Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Permasalahan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, tanah warga dapat dikeluarkan dari kawasan hutan.
Setelah itu, kemudian ditindaklanjuti dengan penyertifikatan tanahnya berdasarkan bukti penguasaan fisik secara terbuka dan beritikad baik sesuai peraturan perundang-undangan.
Kedua, terhadap permohonan 600 hektar hak pengelolaan lahan (HPL) atas nama BP Batam harus dijaga agar tidak tumpang tindih dengan tanah warga.
Status HPL diberikan pada Otorita Batam—yang melalui PP No 46/2007 berubah menjadi BP Batam—melalui Keputusan Mendagri No 41/1973. Sementara masyarakat sudah bermukim di Pulau Rempang sejak tahun 1834.
Untuk penyertifikatan tanah HPL, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon adalah bahwa status tanah yang dimohon clean and clear, artinya bebas dari penguasaan pihak lain.
Jika masih ada penguasaan dari warga, HPL tak dapat diterbitkan. Keterlanjuran penerbitan HPL yang ternyata tumpang tindih dengan tanah warga masyarakat dapat dikategorikan sebagai cacat administratif dengan akibat bahwa bidang tanah yang tumpang tindih harus dikoreksi. Jika hal itu yang terjadi, tanah warga yang dikeluarkan dari areal HPL BP Batam dapat disertifikatkan melalui ketentuan Pasal 24 Ayat (2) PP No 24/1997 dengan proses pengakuan hak berdasarkan penguasaan fisik.
Apakah lahan yang dialokasikan ke PT MEG tumpang tindih dengan tanah warga kampung tua? Jika demikian halnya, pengalokasian lahan harus ditinjau kembali. Mengingat bahwa dari total 17.000 hektar lahan di Pulau Rempang hanya sekitar 7.500 hektar yang dialokasikan untuk PT MEG, masih terdapat 50 persen sisa lahan untuk realokasi.
Pelurusan data berdampak pada penguatan hak masyarakat dan merupakan perwujudan pengakuan dari negara atas kepemilikan tanah masyarakat yang berawal sekitar 200 tahun lalu berdasarkan catatan sejarah dan peninggalan fisik.
Pengakuan awal secara formal terjadi pada 2004 melalui Surat Keputusan No 105/HR/III/2004 yang diterbitkan Wali Kota Batam tanggal 23 Maret 2004 yang, antara lain, menyebutkan bahwa kampung tua tidak direkomendasikan menjadi bagian dari HPL Otorita Batam.
Sayang sekali, SK ini tak ditindaklanjuti dengan pemberian sertifikat bagi warga kampung tua. Selanjutnya, pada 6 April 2019, calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, berjanji untuk menyelesaikan penyertifikatan tanah masyarakat kampung tua di Pulau Batam.
Pada 20 Desember 2019, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil membagikan 1.406 sertifikat di tiga lokasi kampung tua Kota Batam dan berjanji untuk menyelesaikan sertifikasi 34 kampung tua lain di Batam. Secara tidak langsung, pengakuan terhadap tanah warga kampung tua di Pulau Batam berlaku juga bagi warga kampung tua di lokasi lain.
Barangkali saat ini tepat untuk melanjutkan penyertifikatan hak milik (HM) bagi warga kampung tua di Pulau Rempang yang luasnya kurang dari 10 persen dari luas Pulau Rempang. Upaya ini, di satu pihak, memberikan penguatan kepada hak masyarakat yang menunjukkan bahwa negara hadir bagi warga kampung tua di Pulau Rempang.
Di pihak lain, ketika negara memberikan konsesi pada korporasi, obyek yang diberikan dijamin bebas dari tuntutan pihak lain sehingga tercipta rasa aman untuk berusaha.
Belajar dari konflik Rempang, seyogianya kemudahan yang diberikan untuk PSN tidak mengabaikan hak-hak masyarakat. Walaupun Perpres No 56/2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk PSN menyebutkan tentang pemindahan masyarakat (Pasal 1 angka 3), relokasi seyogianya tidak dijadikan satu-satunya opsi.
Perlu diberikan diskresi sesuai perundang-undangan yang berlaku kepada pelaksana untuk memperoleh tanah melalui berbagai opsi untuk minimalisasi konflik. Pada intinya, semua pembangunan harus didasarkan pada penghormatan pada hak asasi manusia.
Maria SW Sumardjono Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia