Kekisruhan dalam proses relokasi perkampungan adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menjadi catatan penting akan perlunya pendekatan humanis.

Unjuk rasa ribuan warga Melayu yang menolak relokasi perkampungan adat Pulau Rempang, seperti diberitakan Kompas, ricuh. Demonstrasi digelar di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kota Batam, Kepri, Senin (11/9/2023), dan menjadi unjuk rasa kedua di BP Batam.

Salah seorang koordinator massa, Ariandi dari Puak Melayu Kepri, mengatakan, lebih dari 1.000 orang berunjuk rasa. Selain warga Melayu di Kepri, sebagian massa datang dari Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat. ”Ini solidaritas warga Melayu dengan warga Rempang untuk menolak relokasi kampung adat,” kata Ariandi (Kompas, 12/9/2023).

Masalah ini bermula dari rencana pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi ke Batam hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Seiring rencana itu, BP Batam akan merelokasi sekitar 7.500 warga. Kepala BP Batam, sekaligus Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, menyampaikan, proyek ini bagian dari Program Strategis Nasional yang diputuskan pemerintah pusat. Seiring keterbatasan kewenangannya, Rudi mengajak perwakilan warga untuk bersama ke Jakarta guna menyuarakan aspirasi. Sayangnya, kerusuhan keburu terjadi.

Pembangunan fisik wilayah demi pertumbuhan ekonomi di mana-mana lazim terjadi. Modernitas sebuah kawasan atau negara kerap kali dianggap terwakili oleh megaproyek prestisius berupa gedung-gedung tinggi, menara pencakar langit dengan berbagai fasilitas, dan semacamnya.

Persaingan di tingkat regional Asia Tenggara tidak pernah mengendur. Demikian pula di belahan benua Asia lain, seperti Timur Tengah: Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, atau yang lain; juga di Asia Timur, di antara negara-negara ”macan Asia”, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China.

Indonesia mengembangkan Pulau Batam dan wilayah di sekitarnya, seperti Pulau Rempang, sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi potensial di bawah pengelolaan BP Batam. Rempang Eco City diharapkan membuat kawasan Batam lebih dinamis sehingga bisa lebih signifikan bersaing dengan Singapura dan Malaysia.

Rencana pemerintah terkait pembangunan Rempang Eco City sepatutnya dibarengi dengan komunikasi yang optimal dengan warga terdampak, dalam hal ini sekitar 7.500 warga yang akan direlokasi. Proses komunikasi yang tepat bisa membuat warga menyadari bahwa Rempang Eco City itu juga demi kepentingan mereka sehingga mengubah proyek tersebut menjadi bermula dari bawah (bottom up).

Sebaliknya, kemacetan komunikasi membuat publik berasumsi itu semata proyek dari atas (top down), dan jauh dari kepentingan kemakmuran rakyat. Pendekatan humanis mutlak perlu dalam penanganan konflik di Pulau Rempang.