Demonstrasi warga yang menolak penggusuran perkampungan adat di Pulau Rempang berlangsung ricuh. Pemerintah diminta mengutamakan pendekatan humanis dalam penanganan konflik agraria di Pulau Rempang.

Oleh PANDU WIYOGA

BATAM, KOMPAS — Unjuk rasa ribuan warga Melayu yang menolak relokasi perkampungan adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, berlangsung ricuh. Sejumlah aparat terluka dalam peristiwa tersebut. Untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa, pemerintah diminta mengutamakan pendekatan humanis dalam penangangan konflik agraria di Pulau Rempang.

Demonstrasi terkait konflik agraria di Pulau Rempang itu berlangsung di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kota Batam, Kepri, Senin (11/9/2023).

Salah satu koordinator massa, Ariandi dari Puak Melayu Kepri, mengatakan, ada lebih dari 1.000 orang yang berunjuk rasa. Selain warga Melayu di Kepri, sebagian massa datang dari Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat.

”Ini bentuk solidaritas warga Melayu dengan warga Rempang untuk menolak relokasi kampung adat terkait proyek Rempang Eco City,” kata Ariandi. Demonstrasi itu merupakan yang kedua di BP Batam.

Demonstrasi yang dimulai sekitar pukul 09.00 itu awalnya berlangsung damai. Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi sempat berbicara untuk menenangkan massa.

”Saya sudah menawarkan mari perwakilan warga sama-sama berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi. Ini (Rempang Eco City) merupakan Program Strategis Nasional yang keputusannya ada di pemerintah pusat, wewenang saya tidak sampai ke situ,” ujar Rudi.

Namun, sekitar pukul 12.00, mulai terjadi kericuhan karena massa melempari kantor BP Batam dengan batu dan botol. Akibatnya, gedung BP Batam mengalami kerusakan dan sejumlah aparat terluka.

Menurut Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, sedikitnya ada 15 polisi yang terluka. Korban luka juga ada dari Direktorat Pengamanan BP Batam, tetapi jumlahnya belum dapat dipastikan.

”Kami, aparat, juga punya anak dan istri. Coba bayangkan apakah anak kami enggak sedih kalau lihat bapaknya bonyok kena batu,” ujar Nugroho.

Menolak relokasi

Tokoh Melayu dan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, menyesalkan tindakan massa yang merusak gedung BP Batam. Penyampaian aspirasi seharusnya dapat dilakukan secara damai.

Konflik agraria di Pulau Rempang bermula saat BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa. Relokasi dilakukan untuk mendukung pengembangan investasi di Pulau Rempang.

Menurut rencana, di sana akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Warga Rempang menolak rencana relokasi yang ditawarkan pemerintah karena di sana terdapat 16 kampung adat Melayu. Warga meminta pembangunan proyek Rempang Eco City dilakukan tanpa penggusuran karena 16 kampung adat hanya mengokupansi sekitar 10 persen dari total luas lahan di Pulau Rempang.

Pemerintah mengabaikan permintaan warga untuk melakukan pembangunan tanpa menggusur perkampungan adat. Sebelumnya, Kepala Polresta Barelang menyatakan Pulau Rempang harus segera clean and clear karena akan diserahkan kepada PT MEG pada 28 September 2023.

”Pemerintah bicara terus soal relokasi, padahal warga sudah menolak. Itu membuat warga merasa frustrasi sehingga demo dipilih menjadi satu-satunya cara untuk menekan pemerintah agar aspirasi mereka diperhatikan,” kata Syuzairi, yang juga pernah menjabat sebagai Asisten Pemerintahan dan Asisten Ekonomi Pembangungan Pemkot Batam itu.

Syuzairi menilai, pemerintah harus mengutamakan pendekatan yang humanis untuk menangani konflik di Rempang. Hal itu salah satunya dapat dilakukan dengan menunda rencana relokasi warga.

”Bagaimana warga dapat menerima rencana relokasi kalau satu pun rumah contoh belum ada. Soal relokasi, saat ini pemerintah baru sampai di tahap menyampaikan usulan ke Komisi VI DPR,” ujar Syuzairi.

Ia menilai, sesuai namanya, Rempang Eco City seharusnya dibangun tanpa menggusur warga. Kampung-kampung adat Melayu yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu seharusnya bisa dilestarikan dan menjadi bagian dari Rempang Eco City.

”Pemerintah harus memanusiakan manusia dalam pembangunan sebuah Eco City. Warga yang menolak relokasi jangan digusur secara paksa,” ujar Syuzairi.

Senada dengan hal itu, anggota Komisi IV DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, mengatakan, pembangunan ekonomi seharusnya berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Hak sosial dan budaya warga Rempang tidak serta-merta bisa diganti pemerintah dengan materi, seperti skema relokasi yang sudah ditawarkan (Kompas, 9/9/2023).